Energi Baru Terbarukan Bakal Jadi Andalan RI

Wamen ESDM Arcandra Tahar menegaskan, potensi sumber daya energi terbarukan di Indonesia cukup besar dikembangkan.

oleh Bawono Yadika diperbarui 26 Mei 2018, 16:00 WIB
Diterbitkan 26 Mei 2018, 16:00 WIB
(Foto: Liputan6.com/Abelda Gunawan)
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah mencanangkan target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23 persen melalui Kebijakan Energi Nasional (KEN).

Hal ini dalam rangka memanfaatkan EBT sebagai sumber energi sekaligus mengingat Indonesia bukanlah negara yang kaya akan minyak dan gas bumi. "Kira-kira di sini siapa yang mengatakan Indonesia sebagai negara yang kaya akan minyak bumi?" tutur Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar seperti dikutip dari keterangan resmi, Sabtu (26/5/2018)

Arcandra menambahkan, berdasarkan rekapitulasi data Kementerian ESDM, Indonesia hanya memiliki cadangan terbukti (proven reserved) untuk minyak bumi sekitar 3,2 miliar hingga 3,3 miliar barel. 

"Dibandingkan dengan cadangan minyak dunia, kita ini hanya 0,2 persen. Sementara, untuk cadangan gas terbukti 1,5 persen dari total cadangan dunia," ujar dia.

Melihat hal ini, keputusan Indonesia untuk sementara waktu mencabut keanggotaan dari Organisasi Negara Pengekspor Minyak Dunia/OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries) dipandang tepat merespons pemanfaatan EBT ke depan. Adapun keputusan ini diambil saat sidang OPEC ke-171 di Wina, Austria pada 2016.

"Kalau cadangan minyak kita cuma sedikit, andalan kita apa sesudah ini? Itu yang dinamakan Energi Baru Terbarukan. Insyaallah enggak habis kalau dipakai," kata dia.

Arcandra lebih jauh menilai, potensi sumber daya energi EBT di Indonesia cukup besar dikembangkan. "Panas bumi misalnya, Indonesia memiliki potensi sekitar 11 giga watt (GW). Sedangkan, potensi air bisa mencapai sekitar 75 GW," kata dia.

Sementara itu, Program Manager for Sustainable Energy Partnership IESR, Marlistya Citraningrum mengungkapkan saat ini Indonesia memang sudah harus beralih ke energi baru terbarukan.

"Salah satu risiko ekonomi bila kita tidak memprioritaskan renewable sekarang dan memilih pembangkit fosil skala besar adalah aset yang terbengkalai (stranded assets)," ujar Citra.

Citra menyebutkan dengan usia operasional pembangkit fosil seperti PLTU yang mencapai 30 tahun, risiko ini akan menjadi kerugian di masa mendatang. 

"Selain risiko stranded assets, juga berkaitan dengan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi GRK yang mensyaratkan pengurangan penggunaan energi fosil pada bauran energi nasional," ujar dia.

Dari 70 Komitmen Pembangunan EBT, Baru 3 Pembangkit yang Beroperasi

PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) optimis Proyek PLTP Karaha yang berada di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, akan beroperasi komersial akhir bulan ini. (Dok PGE)
PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) optimis Proyek PLTP Karaha yang berada di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, akan beroperasi komersial akhir bulan ini. (Dok PGE)

Sebelumnya, PT PLN (Persero) telah menandatangani kontrak jual beli listrik atau Power Purchase Agreement (PPA) dengan 70 kontraktor Pembangkit energi baru terbarukan (EBT) pada 2017. Dari puluhan komitmen tersebut, baru ada tiga pembangkit yang beroperasi secara penuh.

Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar bercerita, belum banyak kemajuan dari kontrak jual beli listrik yang telah ditandatangani pada tahun lalu. Ia menjabarkan, dari 70 kontrak baru baru ada tiga pembangkit yang sudah beroperasi.

Adapun sisanya masih melalui beberapa tahapan penyelesaian. Contohnya, enam pembangkit masih dalam tahap kontruksi, sebanyak 14 pembangkit masih dalam proses penyelesaian pembiayaan.

"Jadi yang sudah selesai baru tiga pembangkit dan yang sudah mulai kontruksi ada enam pembangkit," kata Arcandra, dalam workshop Peluang Investasi Energi Baru Terbarukan, di Jakarta, Selasa 24 April 2018.

Namun memang, Arcandra melanjutkan, jumlah pembangkit energi baru terbarukan yang melakukan penandatanganan jual beli listrik pada 2017 meningkat jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Tercatat, pada 2014 terdapat 23 pembangkit, pada 2015 ada 14 pembangkit, dan pada 2016 tercatat 14 pembangkit.

Kondisi ini menunjukkan, Peraturan Menteri ESDM Nomor 10 dan 12 Tahun 2017 yang mengatur tarif listrik dari pembangkit energi baru terbarukan menarik bagi pengusaha untuk melakukan investasi.

‎"Jadi memang kiranya dari 70 pembangkit itu workable. Masih ada lainnya yang belum memang tapi sedang kami usahakan," ujarnya.

Meningkatnya jumlah pembangkit yang melakukan kesepakatan jual beli listrik pada 2017 harus diapresiasi. Untuk yang belum mengalami perkembangan, akan ditinjau perkembangannya.

"Sudah bagus sekali. Untuk itu lihat datanya, kalau belum jalan kita lihat nanti masalahnya di mana,"‎ ujarnya.

Dari 70 pembangkit tersebut akan menghasilkan listrik sebesar 1.214 mega watt (MW).

Rinciannya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) 754 MW dan Pembangkit Listrik Tenaga Biomass (PLTBm) 32,5 MW.

Selain itu juga ‎PLTBgas 9,8 MW, Pembangkit Listrik Tenaga Mini hydro (PLTMh) 286,8 MW dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) 86 MW.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya