Liputan6.com, Jakarta - Tingkat inflasi pada Juli 2018 diprediksi berada pada kisaran 0,26 persen atau secara tahunan sebesar 3,11 persen. Inflasi ini disebabkan oleh kenaikan harga bahan pangan, khususnya ayam dan telur akibat pakan ternaknya mahal.
Pengamat Ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira mengatakan, 30 persen komposisi pakan ternak diperoleh dari bahan impor, yaitu gandum, kedelai dan jagung.
Saat rupiah melemah Rp 1.100 per dolar Amerika Serikat (AS), atau dari Rp 13.300 ke Rp 14.400 sejak Januari hingga Juli langsung berdampak pada tekanan biaya produksi ayam.
Advertisement
Baca Juga
"Jadi ancaman imported inflation masih menghantui komponen volatile food (harga pangan) di semester kedua ini," ujar dia saat berbincang dengan Liputan6.com di Jakarta, Rabu (1/8/2018).
Selain itu, kata Bhima, tekanan inflasi juga datang dari sumber lain, yaitu kenaikan harga BBM nonsubsidi seiring harga minyak mentah di posisi USD 70 per barel.
Di sektor transportasi udara, harga tiket juga terbilang masih tinggi meskipun periode Lebaran sudah selesai.
"Tiket pesawat dipengaruhi mahalnya bahan bakar avtur serta kenaikan biaya suku cadang impor," kata dia.
Terakhir, kata Bhima, penyumbang inflasi secara musiman adalah masuknya tahun ajaran baru sekolah. "Inflasi di sektor pendidikan bisa berlangsung hingga Agustus nanti," tandas dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Jurus BI dan Pemerintah Tekan Inflasi di Sektor Pangan
Bank Indonesia (BI) menyatakan ada empat hal yang akan menjadi bahasan utama dalam Rakornas Tim Pemantauan dan Pengendali Inflasi Daerah (TPID) 2018.
Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo mengatakan, empat hal tersebut perlu dilakukan untuk menekan inflasi dari sektor pangan.
Perry mengungkapkan, hal pertama yang harus dilakukan adalah menjaga pasokan mengenai pangan strategis melalui pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas utama pemerintah yang akan terus dilakukan dan dipercepat baik di pusat maupun di daerah.
BACA JUGA
"Bukan hanya infrastruktur jalan, tetapi juga irigasi, bendungan, kemudian embung sampai irigasinya. Infrastruktur ini yang dapat meningkatkan ketersediaan pasokan," kata Perry di Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (26/7/2018).
Selanjutnya, langkah kedua yang harus dilakukan adalah menjaga ketersediaan atau kelancaran distribusi dari produsen, yaitu petani sampai konsumen.
"Perlunya pembentukan pedagang atau pengumpul yang dekat dengan petani, demikian juga masalah logistik, demikian juga untu kelancaran distribusi. Ini adalah penting untuk meningkatkan dan memperkuat perdagangan antar-daerah," ujar dia.
Dengan demikian, kata dia, ketika ada satu daerah yang surplus di suatu bahan makanan, misalnya beras, wilayah itu secara langsung bisa memperdagangkan berasnya kepada daerah lain yang sedang mengalami kekurangan pasokan.
"Perdagangan antar-daerah itu sudah terjadi antar-provinsi, tidak hanya Jakarta tetapi juga dari kawasan Timur, Jawa Timur dengan Kalimantan dan berbagai daerah. Ini yang perdagangan antar-daerah perlu kita lancarkan untuk distribusinya," ujar dia.
Ketiga, TPID harus memperkuat masalah kelembagaannya antara daerah dan pusat. "Makanya rakornas ini adalah puncak koordinasi kelembagaan tadi, demikian juga rakor koordinasi wilayah maupun rakor di daerah itu adalah memperkuat kelembagaan."
Terakhir, adalah masalah sistem informasi, yaitu Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) yang dinilai masih perlu dikembangkan lagi.
"Perlu kita perluas PIHPS dengan informasi data produksi sehingga bisa menjadi pusat informasi yang terintegrasi tidak hanya harga pangan tetapi juga produksi perdagangan,” ujar dia.
Advertisement