Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan(Menkeu)Sri Mulyani mengakui jika Undang-Undang (UU) Devisa di Indonesia masih bersifat bebas sehingga lalu lintas devisa masih belum terkendali. Kendati demikian dia tetap meminta para pengusaha untuk membawa dan menyimpan Devisa Hasil Ekspor (DHE) ke dalam negeri.
"Indonesia termasuk yang masih sangat bebas di dalam rezim karena UU menyampaikan itu, namun untuk kebutuhan ekonomi kita sendiri, maka pentingnya membawa devisa kembali," kata Menkeu Sri Mulyani di Jakarta, Senin (13/8/2018).
Advertisement
Baca Juga
Dia menjelaskan, membawa pulang DHE sangat penting untuk meningkatkan suplai Dolar. Ini tentu sangat berpengaruh untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah. "Itu adalah menggunakan moral solution dan monitoring yang kita lakukan," ujarnya.
Selain itu, pemerintah juga memberikan insentif terhadap eksportir dengan syarat mereka membawa pulang Devisa Hasil Ekspor ke Tanah Air dan menyimpannya.
"Kita juga sudah bicara dengan pihak swasta para eksportir kita untuk membawa Dolarnya ke dalam negeri, tidak hanya masuk di bank dalam negeri untuk membawa devisa tetapi juga untuk stay di dalam negeri lebih lama," tambah dia.
Pengamat ekonomi, Aviliani menyatakan aturan devisa di Indonesia masih lemah. Hanya masuk sehari, Dolar Hasil Ekspor (DHE) sudah bisa dibawa keluar lagi dari Indonesia.
Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan negara tetangga di mana valas yang masuk wajib disimpan dulu di Bank dalam beberapa waktu sebelum ditarik keluar.
Di Malaysia, valas yang masuk minimal harus disimpan di Bank selama 6 bulan. Sementara di Thailand, DHE diwajibkan dikonversi ke Thai Bhat. Kedua hal tersebut belum diberlakukan Indonesia.
Di Indonesia, valas maupun yang baru masuk dari hasil ekspor bisa langsung dikeluarkan sebab tidak ada aturan yang melarangnya. Undang-Undang hanya mengatur valas wajib masuk, namun tidak ada batasan waktu untuk menyimpannya.
"Sekarang ini kan sehari bisa keluar lagi. Saya bilang tadi, Thailand tuh berusaha menjaga 6 bulan. Jadi kalaupun masuk, 6 bulan lah," kata Aviliani, Selasa (7/8/2018).
Hal yang sama berlaku di pasar surat berharga atau portofolio. Aviliani menjelaskan saat ini asing ke Indonesia hanya mengeruk untung saja tanpa menaruh uangnya dalam waktu lama.
"Sekarang ini kan kita keluar masuk nggak karuan. Bahkan asing masuk tuh bisa seenaknya, misalnya dalam portofolio diatur aja dulu 3 bulan dulu boleh keluar lagi. Ini kan enggak, pagi dia ambil untung dia keluar lagi. Jadi dia ngambil keuntungan terus tapi tidak stay uangnya di sini kan," ujar dia.
Kendati demikian, Pemerintah juga diminta untuk tidak mempersulit saat eksportir membutuhkan Dolar saat dana yang mereka simpan belum jatuh tempo. "Kalaupum harus keluar gak apa-apa, asalkan benar-benar untuk ekspor," dia menandaskan.
Alasan Pengusaha Enggan Konversi Devisa Hasil Ekspor ke Rupiah
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) tengah gencar merayu para pengusaha untuk mengkonversikan Devisa Hasil Ekspor (DHE) ke dalam rupiah.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia (GPEI), Benny Sutrisno mengungkapkan, insentif yang diberikan pada pengusaha harus menarik. Meski tidak menguntungkan, asal jangan sampai merugikan.
"Kita dirayu dong supaya tukar dolar Amerika Serikat ke rupiah. Bukan gratis , tetap bayar tapi caranya dipermudah, syaratnya, lalu ongkosnya jangan mahal-mahal," kata Benny dalam sebuah acara diskusi di Jakarta, Rabu (8/8/2018).
Benny menjelaskan, jika biaya konversi dipatok terlalu tinggi imbasnya perusahaan akan rugi. Pemerintah pun akan terkena dampak sebab pajak yang dibayarkan otomatis akan berkurang jika perusahaan tersebut merugi.
Baca Juga
"Toh sama saja kalau kita bayar mahal lalu perusahaan rugi, nanti pemerintah tidak dapat pajaknya, sama saja. Ini hukum alam. Kalau bank diuntungkan, perusahaan dirugikan, pajaknya yang dibayarkan juga kecil," ujar dia.
Benny menyatakan, seharusnya hanya eksportir yang tidak banyak belanja impor bahan baku yang diwajibkan untuk konversi DHE ke rupiah.
Sebab, bagi eksportir yang masih harus melakukan impor kebijakan tersebut akan menyulitkan ketika eksportir membutuhkan mata uang dalam bentuk dolar Amerika Serikat untuk berbelanja ke luar negeri.
"Sebaiknya eksportir yang berbahan baku Sumber Daya Alam (SDA) yang dikasih Tuhan ke Republik kita mereka tinggal cangkul saja, harusnya diwajibkan (konversi). Kalau yang gunakan bahan baku impor, karena di sini bahan bakunya tidak ada, harusnya diringankan," ujar dia.
Benny mengungkapkan, saat ini biaya transaksi swap lindung nilai (hedging)  cukup tinggi yaitu 4 sampai 5 persen. Swap adalah transaksi pertukaran dua valas melalui pembelian tunai dengan penjualan kembali secara berjangka, atau penjualan tunai dengan pembelian kembali secara berjangka.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan kepastian kurs (kurs bersifat tetap selama kontrak), sehingga dapat menghindari kerugian selisih kurs.
"Mending dipermudah dan dipermurah (swap nya). Swap 5 persen masih mahal, 4 persen saja mahal gimana 5 persen. Mahal," Â ujar dia.
Â
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement