Liputan6.com, Jakarta - Tren suku bunga rendah telah berakhir usai Bank Indonesia (BNI) menaikkan suku bunga acuan beberapa kali. saat ini industri perbankan nasional telah masuk ke rezim suku bunga tinggi.
Biro Riset Infobank (birI) mencatat periode 2014-2016 merupakan masa konsolidasi bagi perbankan dengan terjadinya penurunan kinerja yang sangat signifikan.
Â
Advertisement
Baca Juga
Direktur Biro Riset Infobank Eko B Supriyanto mengatakan, tak bisa dipungkiri bahwa penghentian kebijakan quantitative easing dan naiknya Fed Fund Rate oleh The Federal Reserve (The Fed) memberikan tekanan ke perekonomian dunia, tak terkecuali Indonesia.
"Bank Indonesia (BI) pun mengambil langkah menaikkan suku bunga acuan untuk mempertahankan daya tarik suku bunga bagi para investor di Indonesia," kata Eko dalam sebuah acara diskusi di kawasan Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa (28/8/2018).
Dia mengungkapkan, sebelum berganti dengan BI 7-day (Reverse) Repo Rate pada 2016, suku bunga acuan BI atau BI rate naik 200 bps pada periode Juni 2013 hingga Januari 2015 dengan posisi tertinggi di level 7,75 persen.
Â
* Update Terkini Jadwal Asian Games 2018, Perolehan Medali hingga Informasi Terbaru dari Arena Asian Games 2018 dengan lihat di Sini
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Berdampak ke Simpanan dan Pinjaman
Kenaikan suku bunga memberikan tekanan ke bisnis perbankan terutama dari sisi pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) dan kredit, pun rasio kredit bermasalah (NPL).
Biro Riset Infobank mencatat, pertumbuhan DPK perbankan yang masih tumbuh 13,60 persen pada 2013 terus anjlok menjadi cuma tumbuh 12,29 persen pada 2014, bahkan sampai ke pertumbuhan satu digit 7,26 persen pada 2015 dan 9,60 persen pada 2016.
Sementara itu, dari sisi pertumbuhan kredit terjun bebas dari sebelumnya bisa mencapai 21,80 persen pada 2013, menjadi hanya 11,65 persen pada 2014, kembali turun jadi hanya tumbuh 10,40 persen pada tahun berikutnya. Pada 2016, pertumbuhan kredit bahkan anjlok ke satu digit menjadi 7,85 persen.
Sedangkan dari kualitas kredit, birI mencatat terjadi penurunan di mana NPL gross yang sebelumnya di level 1,77 persen pada 2013, meningkat menjadi 2,16 persen pada 2014. Pada dua tahun berikutnya, NPL kembali membengkak menjadi 2,49 persen dan 2,93 persen.
Penurunan kinerja membuat raihan laba bersih perbankan Cuma tumbuh 5,16 persen pada 2014, bahkan sempat turun 6,76 persen pada 2015 di mana industri ramai-ramai meningkatkan pencadangan seiring dengan terjadinya kenaikan NPL.
Masuk tahun 2017, kinerja perbankan mulai kembali stabil, kendati pada periode Januari hingga Mei NPL tembus level 3 persen. Namun pada akhir tahun kualitas kredit membaik ke tingkat 2,59 persen. Sementara dari sisi pertumbuhan kredit membaik dibanding tahun sebelumnya ke level 8,35 persen.
Â
Advertisement
Masuk 2018
Pada tahun 2018, daya tahan industri perbankan kembali diuji dengan rencana kenaikan suku bunga The Fed yang telah diantisipasi BI dengan menaikkan BI 7-day (Reverse) Repo Rate sebesar 125 bps sepanjang Mei-Agustus ke level 5,50 persen. Dari sisi DPK, pertumbuhannya baru mencapai 6,99 persen dalam setahunan per Juni 2018.
Kinerja perkreditan masih oke dengan pertumbuhan 11,10 persen dengan tingkat NPL 2,67 persen. Namun dari sisi permodalan, industri perbankan masih sangat kuat dengan rasio kecukupan modal (CAR) di level 21,97 persen.
"Bank-bank akan menaikkan suku bunga sebagai antisipasi untuk mempertahankan NIM. Tapi, tentu akan menaikkan risiko kredit bermasalah. Saya yakin credit at risk bank akan naik," kata dia.Â
"Risiko terbesar ada di nasabah karena nilai tukar dan pukulan suku bunga tinggi. Salah satu cara termudah adalah meningkatkan dana murah dan meningkatan efisiensi operasional," lanjut Eko.
Â
Siapkan Strategi
Dalam kesempatan serupa, Direktur BTN, R. Mahelan Prabantarikso menyatakan industri perbankan harus mulai lihai mencari cara dan menyiapkan strategi dalam menjalankan bisnisnya.
"Era suku bunga tinggi mendorong bank untuk meningkatkan efisiensi sekaligus governance agar tetap dapat mencetak keuntungan," ujarnya.
Sedangkan Executive Director & CEO IPMI International Business School, Jimmy Gani menilai tingginya suku bunga kredit perbankan yang mencapai dua digit mendongkrak biaya produksi perusahaan sehingga akan menurunkan daya saing produk lokal di perdagangan international.
"Tingginya suku bunga kredit membuat biaya pendanaan usaha juga meningkat. Sementara, suku bunga kredit yang ada saat ini sudah relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara lainnya." tutup dia.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Advertisement