Data Ekonomi AS Membaik Tekan Nilai Tukar Rupiah

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.862 hingga 14.882 per dolar AS.

oleh Arthur Gideon diperbarui 17 Sep 2018, 11:39 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2018, 11:39 WIB
Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS
Petugas melayani nasabah di gerai penukaran mata uang di Ayu Masagung, Jakarta, Senin (13/8). Pada perdagangan jadwal pekan, senin (13/08). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh posisi tertingginya Rp 14.600. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) bergerak melemah pada perdagangan di awal pekan ini. Data ekonomi AS yang membaik mendorong penguatan dolar AS. 

Mengutip Bloomberg, Senin (17/9/2018), rupiah dibuka di angka 14.862 per dolar AS, melemah jika dibandingkan penutupan perdagangan sebelumnya yang ada di angka 14.806 per dolar AS.

Sejak pagi hingga siang hari ini, rupiah bergerak di kisaran 14.862 hingga 14.882 per dolar AS. Jika dihitung dari awal tahun, rupiah melemah 9,79 persen.

Adapun berdasarkan Kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate )Jisdor) Bank Indonesia (BI), rupiah dipatok di angka 14.859 per dolar AS, melemah jika dibandingkan dengan patokan pada Jumat lalu yang ada di angka 14.835 per dolar AS.

Analis mengatakan nilai tukar rupiah yang tertekan pada Senin pagi akibat penguatan dolar AS terhadap mata uang lainnya di dunia, dan dikhawatirkan akan terus melemah di tengah ancaman defisit neraca perdagangan.

"Data ekonomi Amerika Serikat yang positif menopang dolar AS cenderung menguat terhadap beberapa mata uang kuat utama dunia, termasuk rupiah," kata Ekonom Samuel Sekuritas, seperti dikutip dari Antara.

Ia mengemukakan data penjualan ritel AS pada Agustus 2018 sebesar 6,6 persen, lebih tinggi dibandingkan estimasi analis 4,8 persen. Industrial production index (IPI) AS pada periode itu sebesar 4,9 persen juga lebih tinggi dibanding estimasi analis, yakni 3,6 persen.

"Kuatnya kedua data itu menjadi indikasi awal kuatnya pertumbuhan konsumsi Amerika Serikat di triwulan ketiga 2018," katanya.

Sementara itu, sentimen dari dalam negeri, Ahmad Mikail, mengatakan, pelaku pasar akan mencermati data neraca perdagangan Indonesia pada Agustus yang sedianya akan rilis pada hari ini.

"Diperkirakan kembali defisit, namun dengan defisit yang lebih kecil. Konsensus analis memperkirakan data neraca perdagangan akan defisit sebesar 450 juta dolar AS, atau lebih rendah dibandingkan defisit Juli," katanya.

Menurut dia, neraca perdagangan yang masih defisit itu dapat menambah sentimen negatif bagi rupiah di tengah penguatan dolar AS terhadap mata uang dunia.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Perlu Ada Pembenahan Struktural buat Kuatkan Rupiah

Rupiah Tembus 14.600 per Dolar AS
Petugas menunjukkan uang dolar AS di gerai penukaran mata uang di Ayu Masagung, Jakarta, Senin (13/8). Pada perdagangan jadwal pekan, senin (13/08). Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS menyentuh posisi tertingginya Rp 14.600. (Merdeka.com/Arie Basuki)

Meski mata uang rupiah sempat kembali menguat di posisi 14.800 per dolar AS, sentimen eksternal dinilai masih tetap akan membayangi mata uang Garuda untuk beberapa bulan ke depan. Perlu adanya pembenahan secara struktural untuk menahan pelemahan rupiah.

"Beberapa hari terakhir rupiah sempat menguat karena memang tensi perang dagang sudah mulai mereda. Tapi kan masih ada potensi kenaikan suku bunga Bank Sentral AS itu masih 2 kali. Jadi pelaku pasar masih menunggu realisasi The Federal Funds Rate (FFR) US ini," tutur Pengamat Ekonom Asian Development Bank Eric Sugandi saat dihubungi Liputan6.com.

Eric menambahkan, perbaikan dari segi defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit(CAD) harus cukup signifikan dirasakan oleh Indonesia pada tahun depan. Itu karena posisi mata uang rupiah sangat bergantung pada perkembangan CAD RI sendiri.

"Tahun depan jika masih belum ada perbaikan pada masalah CAD maka dipastikan rupiah ini bakal tertekan terus," ujarnya.

Sementara itu, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov berpendapat, pemerintah memang perlu melakukan pembenahan struktural atau jangka panjang untuk melindungi posisi mata uang garuda dari ketidakpastian global.

"Pelemahan ini kan karena kemampuan kita menghasilkan dolar AS lebih rendah dibanding penggunaan dolar AS. Kebijakan menaikkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) untuk barang konsumsi impor sebetulnya kontribusinya juga kecil sekali dibanding transaksi impor kita sendiri," ungkapnya.

Oleh karena itu, kata Albra, depresiasi mata uang rupiah merupakan proses yang sangat sistemik. Itu merupakan serangkaian proses panjang yang bisa diprediksi pergerakanya.

"Jadi melemah ini tidak ucuk-ucuk dalam sehari. Ini sebenarnya sudah bisa diprediksi dari 2011 silam. Kenapa bisa sampai pada posisi ini ya karena dari internalnya sendiri kita sudah dilemah, ditambah momentum sentimen eksternal yang parah saat ini. Makanya mata uang rupiah bisa anjlok seperti sekarang. Jadi bisa saja perang dagang ini aksesnya bukan hanya ke China tapi negara-negara lainnya," tutur dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya