Kemenkeu Terus Awasi Barang Bawaan dari Luar Negeri Senilai USD 500

Ditjen Bea Cukai hingga kini terus mengawasi aturan terkait tarif batas atas bea masuk barang bawaan dari luar negeri sebesar USD 500

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 17 Sep 2018, 20:09 WIB
Diterbitkan 17 Sep 2018, 20:09 WIB
Capaian Ekspor - Impor 2018 Masih Tergolong Sehat
Aktivitas bongkar muat peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Jumat (25/5). Ekspor April sebesar 14,47 miliar dolar AS lebih rendah ketimbang Maret 2018 yang mencapai 15,59 miliar dolar AS. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui Direktorat Jenderal Bea dan Cukai hingga saat ini terus mengawasi aturan terkait tarif batas atas (Threshold) bea masuk barang bawaan dari luar negeri sebesar USD 500. 

Hal itu dilakukan demi mengantisipasi kecurangan dari oknum pengimpor yang memisahkan transaksi atau splitting dalam gerak bisnisnya.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kemenkeu Heru Pambudi menyampaikan, aturan tersebut sengaja ditegakkan seraya mengimbau kepada pelaku bisnis dalam negeri untuk melakukan kegiatan impor secara legal.

"Bea cukai juga secara konsisten memberikan pembebasan atas barang-barang yang ditenteng sampai dengan USD 500. Di atas itu, kita minta mereka membayar sesuai dengan ketentuannya," ujar Heru di Jakarta, Senin (17/9/2018).

Dia pun meminta, agar para WNI yang baru saja pulang dari luar negeri dengan barang bawaan baru bernilai di atas USD 500 untuk segera melaporkannya kepada aparat yang berwenang, yakni Ditjen Bea dan Cukai. 

Sebab, ia menyatakan sering mendapati adanya barang-barang mewah seperti jam dan tas diselundupkan dengan cara mengabaikan kewajiban lapor. 

"Tapi, tentunya kita masih melihat ada beberapa warga negara kita yang sebenarnya dia mampu sekali membayar pajak tetapi mereka sengaja menghindari dan mengelabui petugas. Ternyata, mereka membawa barang-barang dengan harga yang fantastis," tambah dia.

Adapun aturan terkait bea masuk ini tertuang dalam revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 188 Tahun 2010 tentang impor barang yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman.

PMK baru yang mulai digulirkan pada akhir tahun lalu tersebut mengubah pengkategorian treshold soal barang bawaan, dari USD 1.000 untuk satu keluarga menjadi USD 500 untuk satu individu.

Heru menilai, beberapa pelanggaran terkait aturan tersebut seolah memang sengaja dilakukan sebagai sebuah upaya bisnis dari pelaku retail dalam negeri.

"Sebenarnya kita melihat ini sebagai sebuah usaha bisnis. Kita melihatnya mereka harus mengikuti aturan bisnis yang ada, supaya tidak mengacaukan orang yang memang benar-benar ke luar negeri sebagai penumpang biasa," ujar dia.

 

Aturan Baru Impor Barang Kiriman Bikin Persaingan Usaha Lebih Sehat

Rupiah Melemah, Harga Barang Elektronik Berpotensi Naik
Pekerja merapikan barang elektronik yang dijual di pusat perbelanjaan di Jakarta, Rabu (5/9). Kenaikan harga barang elektronik karena produk ini sangat bergantung pada impor. (Liputan6.com/Immanuel Antonius)

Sebelumnya, Asosiasi Peritel lndonesia (Aprindo) menyatakan dukungannya terhadap aturan terbaru soal ketentuan impor barang kiriman yang tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.04/2018 (PMK 112).

Seperti diketahui, kebijakan tersebut akan memperkecil nominal ketentuan nilai bebas bea masuk dari USD 100 menjadi USD 75 per hari.

"Terkait PMK 112, kami lihat langkah tersebut sangat strategis dan melindungi. Kami juga melihat itu turut mendorong industri dalam negeri tumbuh," ucap Wakil Ketua Umum Aprindo Tutum Rahanta di Gedung Kementerian Keuangan, Jakarta, Senin 17 September 2018.

Dia juga menekankan, dengan diterapkannya perubahan aturan ini akan menciptakan persaingan usaha yang sehat bagi para pelaku industri negeri, baik untuk retailer offline maupun online.

"Selain itu PMK ini ditujukan untuk menekan modus importasi barang yang tidak membayar Bea Masuk dan PDRI (pajak dalam rangka impor), menciptakan persaingan sehat antara retailer offline dan retailer online, mendorong penggunaan produk dalam negeri, dan menciptakan keadilan sesama pelaku usaha," paparnya.

Sebagai perbandingan, ia coba merujuk pada temuan Ditjen Bea Cukai Kementerian Keuangan perihal transaksi 400 barang impor yang dilakukan secara splitting dalam waktu satu hari untuk menghindari bea masuk.

Menurutnya, jumlah sebanyak itu bukan dilakukan untuk konsumsi pribadi salah satu pihak, melainkan barang yang nantinya akan kembali diperdagangkan.

"Kalau dilihat secara presentasi 400 kiriman per hari, itu bukan online untuk pribadi. Secara logika, itu betul-betul barang dagangan," ungkap dia.

"Saya kira pelaku usaha yang tidak melakukan perdagangan dengan benar maka akan mencari jalan keluar seperti tadi," tambahnya.

Namun begitu, dia percaya, aturan baru ini merupakan sebuah bentuk keadilan dan tak akan mencegah retailer melakukan impor. Bila kebijakan ini tak dibuat, lanjutnya, maka hanya tersisa ada dua pilihan bagi para retailer, yakni mengelabui aturan agar bisa bertahan atau menjadi lemah lantaran berusaha manut terhadap regulasi.

"Jika ini tidak dilaksanakan, pasti banyak pelaku yang banyak melakukan splitting seperti tadi. Kita harapkan dengan adanya pencegahan lewat PMK 112, industri dalam negeri akan berlomba lomba untuk bersaing," tutur dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya