Liputan6.com, Jakarta Badan Anggaran (Banggar) DPR bersama Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menyetujui perubahan asumsi makro Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Salah satunya mengenai perubahan nilai tukar Rupiah menjadi Rp 15.000 per Dolar Amerika Serikat (AS).
Kesepakatan ini diambil usai digelar rapat kerja yang berlangsung selama tiga jam. Rapat kerja antara Banggar bersama dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, dan Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro, di Ruang Rapat Banggar DPR RI, Jakarta, Selasa (16/10).
Pimpinan Banggar DPR RI, Said Abdullah secara tegas mengambil alih jalannya rapat kerja yang berlangsung alot ini.
Advertisement
Dia mengingatkan, pembahasan APBN ini harus tuntas sebelum akhir Oktober 2018. Sehingga tidak adalagi pembahasan yang berbelit terkait perubahan nilai tukar Rupiah.
"Batas pembahasan APBN harus tuntas 29 Oktober nanti. Pekan depan kita harus kembali ke komisi untuk membahas detail," tegas dia.
"Kita sudah setujui asumsi dasar ekonomi makro 2019 sudah selesai. Rapat saya skors sampai besok jam 10 khusus postur sementara," tambah Said.
Dengan persetujuan tersebut, maka perubahan asumsi ekonomi makro 2019 yang telah disepakati Banggar DPR bersama pemerintah yakni:
- Pertumbuhan Ekonomi : 5,3 persen
- Inflasi : 3,5 persen
- Tingkat Suku Bunga SPN 3 Bulan : 5,3 persen
- Nilai Tukar Rupiah (Rp/USD) : 15.000
- Harga Minyak Mentah (USD/Barel) : 70
- Lifting Minyak (Ribu Barel per Hari) : 775
- Lifting Gas (Ribu Barel Per Hari) : 1.250
- Cost Recovery (miliar dolar) : 10,22
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Rupiah Dipatok 15.000 per Dolar AS, Ekonomi Bisa Tumbuh 5,12 Persen
Badan Anggaran (Banggar) DPR menggelar rapat kerja (raker) bersama dengan pemerintah membahas Rancangan Undang Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019. Raker kali ini merupakan rapat lanjutan dari agenda yang dilangsungkan kemarin.
Hadir dalam rapat ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, dan Menteri PPN/Bappenas Bambang Brodjonegoro.
Dalam kesempatan ini, Pimpinan Banggar DPR Said Abdullah mempersilahkan kembali Sri Mulyani untuk menjelaskan mengenai perubahan asumsi dasar makro APBN 2019 pada nilai tukar Rupiah.
Baca Juga
"Skors kami cabut, rapat kembali saya lanjutkan. Saya persilahkan Menteri Keuangan memberikan jawaban," kata Said di Ruang rapat Banggar DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa (15/10/2018).
Sri Mulyani menjelaskan, alasan pemerintah kembali menaikkan asumsi nilai tukar Rupiah karena pengaruh dari tekanan perekonomian global. Bahkan proyeksi dari lembaga keuangan mengenai rata-rata nilai tukar Rupiah untuk 2019 bervariasi yaitu antara Rp 15.000 hingga di level Rp 15.500.
Angka tersebut dipatok mengingat rata-rata nilai tukar di 2018 saja naik menjadi Rp 15.000 per USD. "Namun tentu dalam tiga bulan ke depan range-nya antara Rp 14.800 hingga 15.200, sehingga keseluruhan kurs untuk tahun 2018 kurs rata-rata adalah Rp 15.000," jelas dia.
Sri Mulyani melanjutkan dengan asumsi sebesar Rp 15.000 per USD, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga akan turun. Pertumbuhan ekonomi bakal merosot menjadi 5,12 persen dari perkiraan awal yang mencapai 5,30 persen.
"Inilah yang membedakan untuk tahun depan growth kita, kita proyeksikan ada di 5,12 persen," kata Sri Mulyani.
Tak hanya itu, dengan asumsi Rupiah Rp 15.000 per USD, maka kompoen investasi juga akan mengalami perubahan.
Bila dalam proyeksi awal pemerintah dipatok sebesar 6,95 persen Kemudian dengan perubahan asumsi nilai tukar menjadi Rp 15.000, levelnya diproyeksikan turun menjadi 6,51 persen.
Berlanjut kepada komponen konsumsi rumah tangga yang juga ikut turun dari proyeksi awal sebesar 5,08 persen menjadi 5,07 persen di 2019. Sementara itu, kinerja ekspor diteropong akan stagnan meski punya keunggulan komparatif dari pelemahan Rupiah.
Proyeksi awal pemerintah untuk ekspor di 2019 tercatat tumbuh sebesar 6,28 persen. Melalui penyesuaian nilai tukar, outlook kemudian naik tipis menjadi 6,73 persen.
"Untuk tahun depan diperkirakan melemah karena adanya potensi perang dagang sehingga ekspor sepertinya tidak akan melonjak di atas 7 persen tetap tetap di kisaran 6,28 persen," terangnya.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Advertisement