Harga Minyak Naik Meski Arab Saudi Bakal Dongkrak Produksi

Harga minyak berjangka naik tipis meski Arab Saudi berjanji untuk meningkatkan produksi ke rekor tertinggi.

oleh Nurseffi Dwi Wahyuni diperbarui 23 Okt 2018, 05:30 WIB
Diterbitkan 23 Okt 2018, 05:30 WIB
Ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Liputan6.com, New York - Harga minyak berjangka naik tipis pada hari Senin meski Arab Saudi berjanji untuk meningkatkan produksi minyak mentah ke rekor tertinggi, dua minggu sebelum sanksi AS berpotensi mencekik pasokan Iran.

Dilansir dari Reuters, Selasa (23/10/2018), Menteri Energi Saudi, Khalid al-Falih mengatakan kepada kantor berita Rusia, TASS, bahwa negaranya tidak berniat melepaskan embargo minyak tahun 1973 pada konsumen Barat, tetapi lebih difokuskan pada peningkatan produksi untuk mengkompensasi turunnya pasokan di tempat lain, seperti Iran.

Falih menuturkan Arab Saudi akan segera meningkatkan produksi menjadi 11 juta barel per hari (bpd) dari 10,7 juta saat ini. Dia menambahkan, Riyadh memiliki kapasitas untuk meningkatkan produksi hingga 12 juta bph.

“Harga minyak seimbang dalam sesi perdagangan hari ini meskipun Saudi berjanji untuk meningkatkan produksi. Jadi kita masih belum bisa menyimpulkan peningkatan produksi kerajaan akan cukup untuk mengkompensasi hilangnya produksi potensial dari Iran dan Venezuela, ” kata Abhishek Kumar, analis energi senior di Interfax Energy di London.

Harga minyak mentah jenis Brent untuk pengiriman Desember naik USD 5 sen menjadi USD 79,83 per barel. Sementara West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman November juga naik USD 5 sen menjadi USD 69,17 per baarel.

Dalam perdagangan intraday, WTI jatuh ke USD 68,27 per barel, terendah sejak 14 September. Beberapa anggota parlemen AS telah menyarankan menjatuhkan sanksi terhadap Arab Saudi atas pembunuhan jurnalis Jamal Khashoggi.

Kerajaan, pengekspor minyak terbesar dunia, berjanji untuk membalas sanksi apa pun dengan tindakan yang lebih besar. "Ada keresahan di Gedung Putih menyoroti keengganan Administrasi Trump untuk mengambil tindakan yang berarti terhadap Riyadh, hanya beberapa minggu sebelum sanksi AS mulai berlaku," kata Fiona Cincotta, Analis senior pasar di City Index, dalam sebuah catatan.

Sanksi AS terhadap sektor perminyakan Iran dimulai pada 4 November dan analis yakin pengurangan pasokan hingga 1,5 juta barel per hari bisa berisiko.

Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) sepakat pada Juni untuk meningkatkan pasokan untuk menutupi gangguan terhadap ekspor Iran. Sebuah dokumen internal yang diperoleh Reuters menyatakan bahwa OPEC sedang berjuang untuk menambah produksi untuk menutupi penurunan di tempat lain, termasuk Iran dan Venezuela. 

Sementara itu prospek permintaan minyak tahun depan memburuk. OPEC memperkirakan permintaan minyak akan jatuh ke rata-rata 31,8 juta bph tahun depan, dari rata-rata 32,8 juta bph tahun ini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya