Rhenald Kasali: Marak Transaksi Nontunai, Mesin ATM Bakal Punah

Guru Besar Manajemen UI Rhenald Kasali mengungkapkan, salah satu yang terdampak besar akibat revolusi industri 4.0 ialah sektor keuangan.

oleh Bawono Yadika diperbarui 19 Nov 2018, 18:30 WIB
Diterbitkan 19 Nov 2018, 18:30 WIB
Mesin Kartu ATM
Ilustrasi Foto Mesin ATM (Anjungan Tunai Mandiri) (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Revolusi industri 4.0 membawa dampak besar terhadap perekonomian dunia. Terutama membawa pergeseran drastis terhadap industri tertentu. 

Guru Besar Manajemen Universitas Indonesia (UI) Rhenald Kasali mengungkapkan, salah satu yang terdampak besar akibat revolusi industri 4.0 ialah sektor keuangan. Industri perbankan dinilai harus menyesuaikan dengan perkembangan teknologi yang kini pertumbuhannya semakin pesat.

"Tahun depan yang akan berdarah-darah adalah sektor keuangan, karena sekarang sudah ada 200 fintech baru yang terdaftar. Mereka sudah mulai kumpulkan uang dari masyarakat," tutur dia di Gedung Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), Senin (19/11/2018).

Rhenald melanjutkan, ke depannya, keberadaan teller suatu bank semakin tidak dibutuhkan. Masyarakat pun semakin banyak yang tidak mengunjungi kantor cabang perbankan.

"Bank sekarang sudah tidak mulai buka kantor cabang, teller sudah tidak diperlukan, orang ke kantor cabang sudah jarang. Bank tidak lagi perlu tenaga kerja yang besar seperti dulu, tapi bank akan membuat anak usaha, akan rangkul fintech," terangnya.

Rhenald melanjutkan, lapangan kerja di industri perbankan akan berkurang. Laporan keuangan pun dipandang akan berubah menyesuaikan perkembangan yang terjadi.

"Tahap awal, bank tidak kurangi karyawan, tapi perlahan akan menjadi kurang efisien, laporan keuangannya pun akan mengalami perubahan. Dalam jangka pendek, fintech akan naik, sampai fintech mulai optimal, lapangan kerja di bank akan mulai berkurang," kata dia.

Rhenald menekankan, kultur transaksi pembayaran yang kini semakin digalakkan untuk cashless (tanpa uang kertas) akan menggeser keberadaan anjungan tunai mandiri (ATM) ke depannya.

"Sekarang belum sepenuhnya bank kurangi pekerja, tapi tidak ekspansi juga. Tidak buka kantor cabang baru, tidak ada gunakan, jadi nanti mesin ATM ke depan juga akan hilang," ujar dia.

 

YLKI Terima 200 Aduan Terkait Fintech

20161110-Kompetisi-Startup-Fintech-AY5
Sebuah iklan saat event penyelenggaraan Finspire di Jakarta, Rabu (9/11). Finspire ini diselenggarakan dalam 2 aktivitas yaitu Finspire frontrunner dan Finspire summit yang diikuti oleh 32 startup di bidang fintech. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi mengatakan,  pihaknya telah menerima lebih dari 200 aduan konsumen terkait layanan Financial Technology alias Fintech hingga saat ini. 

"Ada 200-an terakhir ini. Ya bulan lalu seratusan, ini dua ratusan lebih. Kalau di LBH (Lembaga Bantuan Hukum) mereka mengatakan ada 700-an, (pengaduan)," kata Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, saat ditemui di Bakoel Koffie Cikini, Jakarta, Jumat 16 November 2018.

Tulus menuturkan, pengaduan tersebut berasal dari berbagai kalangan masyarakat. Aduan yang disampaikan masyarakat sebagian besar terkait tingginya suku bunga fintech.

"Semuanya mengaku dua hal, konsumen mengaku diteror karena oleh pengelola fintech kedua bunganya terlalu tinggi. Ini yang menjadi sorotan saya adalah bunga yang terlalu tinggi," ujar dia.

Selain itu, aduan lain yang masuk adalah terkait cara-cara penagihan fintech tertentu yang tidak etis. Salah satu bentuknya berupa mengobral data-data pribadi konsumen. 

"Ada itikad tidak baik juga dari pihak fintechnya, karena pengaduan yang saya terima mereka bisa menyadap data termasuk foto. Ada pengaduan konsumen dia punya foto pribadi, cewek berbaju minim, itu disebar ke mitranya sebagai bentuk tekanan psikologis ini agar dia mengembalikan (pinjaman)," urai Tulus.

Dia mengatakan, terjadi pelanggaran yang merugikan konsumen disebabkan masih rendahnya pemahaman konsumen tentang fintech.  Hal inilah yang menyebabkan konsumen tidak memperhatikan syarat dan ketentuan ketika mengakses pinjaman dari fintech.

"Literasi konsumen terkait digital itu masih rendah sehingga ketidakpahaman literasi konsumen tidak memahami persoalan-persoalan teknis di dalam masalah itu. Ini harusnya masyarakat lebih cerdas karena berinteraksi dengan digital dan finansial," kata dia.

"Rata-rata hanya tahu di mengeklik next, next, dan terjebak pada aturan itu. Padahal dia harusnya membaca tata aturan berapa persen mengembalikan, berapa persen dendanya. Mestinya dia tahu," ujar dia.

 

 Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya