Liputan6.com, Jakarta - Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatat utang BUMN sebesar Rp 5.217 triliun per kuartal III 2018. Utang ini naik drastis jika dibandingkan dengan posisi utang pada 2016 sebesar Rp 2.263 triliun.
Anggota Komisi VI DPR, Mohammad Hatta menilai dengan meningkatnya utang ini menandakan BUMN sangat suka berutang. Padahal, sejak 2013 sudah ada aturan yang melarang BUMN untuk menambah utang.
"Saya mau bicara waktu itu sempat ada surat edaran dari Menteri BUMN, kalau tidak salah SE01/MBU/2013, apakah surat itu sudah dicabut? Isinya, sesuai dengan surat dari Setneg, arahan Presiden dalam rapat agar jangan ada tambahan utang luar negeri, termasuk ditujukan kepada BUMN," ujarnya di Gedung DPR, Jakarta, Senin (3/12/2018).
Advertisement
Baca Juga
Hatta mengingatkan, jangan sampai berutang menjadi kebiasaan. Untuk menghindari utang sebaiknya BUMN menggandeng swasta dalam pembiayaan sehingga tidak selalu mengandalkan utang.
"Jangan sampai utang ini jadi habit, apalagi utang valas itu mengkhawatirkan. Banyak yang mau joint venture tawarkan bunga murah dan skema fleksibel, tapi tidak ditarik, kenapa kok senengnya utang? Habit ini bahaya," ujar dia.
Reporter: Anggun P.Situmorang
Sumber: Merdeka.com
Kementerian BUMN Pastikan Utang Perusahaan Masih Aman
Sebelumnya, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencatat utang BUMN sebesar Rp 5.217 triliun per kuartal III 2018. Utang ini naik drastis jika dibandingkan dengan posisi utang pada 2016 sebesar Rp 2.263 triliun.
Deputi Bidang Restrukturisasi Kementerian BUMN Aloysius Kiik Ro mengatakan, posisi utang ini masih dalam batas aman. Kesanggupan membayar diklaim aman baik untuk jangka panjang maupun jangka pendek.
"Dapat disimpulkan relatif menunjukkan kesanggupan membayar utang jangka panjang dan pendek serta dapat dikatakan aman," ujar Aloysius saat memberi paparan di Gedung DPR, Jakarta, Senin 3 Desember 2018.
Utang BUMN dalam batas aman karena utang ini masih lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata utang industri di sektor yang sama jika dilihat dari DER. DER atau Debt to Equity Ratio yaitu rasio yang membandingkan jumlah utang terhadap ekuitas perusahaan.
"DER yang kita bandingkan terhadap 5 sektor industri. Data ini kami peroleh dari Bursa Efek Indonesia (BEI). Selain perbandingan DER BUMN, sekaligus kami bandingkan dengan industrinya," jelas Aloysius.
Adapun BUMN tersebut digolongkan menjadi 5 sektor industri, yaitu transportasi, properti dan konstruksi, energi, telekomunikasi, serta perbankan. Pada sektor transportasi, rasio utang BUMN terhadap ekuitas adalah 1,59 persen, sementara pada industri lain 1,96 persen.
Kemudian, untuk sektor energi, BUMN sebesar 0,71 persen, pada industri sejenis 1,12 persen. Lalu untuk sektor BUMN telekomunikasi memiliki DER sebesar 0,77 persen, sementara industri sejenis memiliki DER sebesar 1,29 persen.
Meski demikian, ada dua DER BUMN yang lebih tinggi dibanding dengan sektor sejenis. Pertama, DER bank lebih tinggi yaitu 6 persen, sedangkan industri sejenis 5,66 persen. Kedua BUMN properti dan konstruksi 2,99 persen, sedangkan industri sejenis 1,03 persen.
"Berikutnya properti dan konstruksi mengindikasikan besaran gimana ekspansi infrastruktur," ujar dia.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement