Liputan6.com, Jakarta - Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirus), Budi Santoso, mengkritik formulasi Harga Batubara Acuan (HBA) yang ditetapkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dia menuturkan, Indonesia sebagai salah satu produsen batu bara terbesar di dunia bisa menjualnya dengan harga miring kepada pihak dalam negeri.
"Masa batu bara kita harganya indeks internasional, yang benar saja. Artinya apa, kita yang tidur di batu bara membayar harga yang sama dengan yang di Malaysia, Jepang, China," keluh dia dalam sesi diskusi di Jakarta, Selasa (11/12/2018).
Advertisement
Baca Juga
Seperti diketahui, Kementerian ESDM meramu formulasi HBA dengan mengacu kepada empat indeks pasar internasional, yakni Indonesia Coal Index (ICI), Newcastle Global Coal (GCNC), Newcastle Export Index (NEI), dan Platss 5900.
Lebih lanjut, Budi Santoso menyampaikan, Pemerintah RI dalam hal ini Kementerian ESDM seharusnya punya kebijakan tersendiri yang dapat menjual batu bara dengan harga lebih rendah ke pasar lokal.
"Harusnya pemerintah punya policy sendiri, harusnya lebih murah. Kayak di Rusia, negara-negara Arab, harga minyak dalam negeri mereka ya mereka seenaknya saja, bagaimana rakyatnya mampu. Karena yang dilihat adalah bagaimana energi bisa murah," urainya.
Sebagai contoh, ia menyebutkan, China sebagai produsen batu bara di dunia tidak pernah mengambil keuntungan terhadap kegiatan tambangnya.
"Bahkan ada beberapa tambang batu bara yang underground malah disubsidi, karena mereka memilih untuk mensubsidi tambang yang ada di bawah tanah dibanding mendatangkan batu bara dari pesisir," tegasnya.
"Itu negara yang punya policy yang konsisten terhadap energi. Karena China memerlukan energi murah untuk mendorong daya saing industrinya," pungkas dia.
Alokasi Produksi Batu Bara Tahun Depan Masih Dikaji
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum menetapkan alokasi produksi batu bara untuk 2019. Ini karena belum semua perusahaan mengusulkan alokasi produksinya.
Ini diungkapkan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot. Seluruh perusahaan batu bara belum mengusulkan alokasi produksinya, sebab itu penetapan alokasi produksi belum bisa dilakukan.
"Belum karena belum masuk, jadi belum bisa (alokasi produksi)," kata Bambang, di Jakarta, Senin 26 November 2018.
Menurut Bambang, alokasi produksi batu bara tahun depan akan ditetapkan dalam Rencana Kerja Anggaran Bersama (RKAB).
Saat ini RKAB sedang disusun bersamaan dengan pengumpulan usulan produksi batu bara. "Belum bisa diputuskan, nanti tunggu mereka masuk semua," tutur dia.
Untuk tahun ini, pemerintah telah membuka penambahan kuota produksi batu bara sebesar 100 juta ton, dari kuota produksi pada tahun ini yang ditetapkan 485 juta ton sehingga menjadi 585 juta ton.
Sebelumnya, Menteri ESDM Ignasius Jonan menyatakan, penambahan kuota produksi batu bara menjadi 100 juta ton pada tahun ini, dapat meningkatkan ekspor.
Menurut Jonan, jika harga batu bara USD 60 per ton, dikalikan kuota produksi batu bara 100 juta ton maka menghasilkan pendapatan USD 60 miliar. Maka pendapatan tersebut dapat menutupi defisit neraca perdagang.
"Kalau itu terealisasi nilai ekspor USD 60 kali 100 juta itu USD 6 miliar, itu bisa menutupi malah lebih," tandasnya.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Advertisement