Harga Minyak Terpuruk di 2018, Apa yang Salah?

harga minyak Brent yang menjadi pastokan internasional beradaa di kisaran USD 54 per barel, turun hampir 20 persen sepanjang 2018.

oleh Arthur Gideon diperbarui 02 Jan 2019, 05:30 WIB
Diterbitkan 02 Jan 2019, 05:30 WIB
ilustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Liputan6.com, Jakarta - Di awal 2018, para analis dan ekonom memperkirakan harga minyak bisa melampaui USD 100 per barel untuk pertama kalinya dalam empat tahun. Namun pada kenyataannya, harga minyak justru mengalmi kerugian terparah sejak 2015.

Kemunculan sentimen secara tiba-tiba yang menekan harga minyak di kuartal keempat 2018 telah mengakhiri pemulihan yang telah berjalan hampir tiga tahun.

Analis dan ekonom harga minyak akan kembali berjaya di 2019 ini, tetapi risiko keopolitik yang telah membebani pasar selama 2018 akan tetap menjadi variabel yang besar di 2019.

Mengutip CNBC, Rabu (2/1/2018), harga minyak mentah AS di perdagangan terakhir 2018 berakhir di USD 45,41 per barel. Angka tersebut turun hampir 245 persen.

Sedangkan harga minyak Brent yang menjadi pastokan internasional beradaa di kisaran USD 54 per barel, turun hampir 20 persen sepanjang 2018.

Ini merupakan penurunan terpuruk pertama setelah yang terjadi pada 2015. Saat itu harga minyak anjlok lebih dari 30 persen.

Hanya dalam 3 bulan, harga minyak diperdagangkan dari level tertinggi dalam empat tahun langsung anjlok ke level terendah dalam periode yang sama juga.

 

 

 

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Apa yang mempengaruhinya?

lustrasi tambang migas
Ilustrasi tambang migas (iStockPhoto)

Jika melihat ke belakang, mudah untuk menjelaskan kejatuhan pasar minyak dunia. Alasan pertama adalah Pada Mei lalu, Pemerintahan Trump mengembalikan sanksi terhadap Iran produsen terbesar ketiga di OPEC, memingkatkan kekhawatiran tentang tekanan pasokan minyak di pasar.

Alasan kedua pada bulan berikutnya, OPEC dan sekelompok produsen yang dipimpin oleh Rusia membatalkan perjanjian yang dibuat pada 2016 untuk membatasi pasokan.

Alasan ketiga adalah atas desakan Presiden AS Donald Trump dan pelanggan, ,Arab Saudi secara khusus menyalakan keran menambah 1 juga barel per hahri ke pasar pada Juni hingga November.

Sebenarnya, pada Oktober para analis sudah memperingatkan bahwa permintaan minyak akan tumbuh lebih lambat dari yang diperkirakan sebelumnya. Pada bulan yang sama, pasar saham anjlok, terpukul oleh aksi jual atas sahams-saham teknologi, sengketa perdagangan AS dan China yang sedang berlangsung dan kenaikan suku bunga.

Investor pun mulai membuang aset berisiko, dan pada akhir bulan, minyak telah jatuh sekitar USD 11 per barel dari level tertinggi 3 Oktober. Perdagangan momentum dan rotasi dari merosotnya minyak mentah berjangka dan meningkatnya kontrak gas alam juga memperdalam kerugian minyak, kata para analis.

Yang membuat keadaan menjadi lebih buruk, ketika sanksi secara resmi kembali diterapkan di Iran pada 5 November, Presiden Donald Trump mengejutkan pasar dengan memberikan pengecualian yang murah hati kepada pelanggan terbesar Republik Islam itu.

Itu berarti Arab Saudi, Rusia, dan beberapa produsen lain telah menaikkan pasokan ke pasar di mana pertumbuhan permintaan moderat.

Pada akhir tahun, perselisihan perdagangan AS-Tiongkok masih belum terselesaikan, dan pasar tetap khawatir bahwa perang dagang penuh antara dua ekonomi terbesar dunia akan mengurangi permintaan bahan bakar.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya