Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir November 2018 sebesar USD 372,9 miliar atau setara Rp 5.258 triliun (USD 1=Rp 14.101). Rasio utang tersebut 34 persen terhadap PDB. Pemerintah pun selalu menegaskan, bertambahnya utang karena gencar melakukan pembangunan infrastruktur.
Lalu bisakah Indonesia membangun infrastruktur tanpa mengandalkan utang?
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, pembangunan infrastruktur masif di era Jokowi-JK untuk mengejar ketertinggalan yang terjadi selama berpuluh-puluh tahun. Akibatnya, untuk mencari pembiayaan, pemerintah berupaya mencari cara cepat.
Advertisement
"Salah satunya kan karena memang misi atau ambisi Pak Jokowi untuk membangun infrastruktur pengennya ngebut nih. Karena kita memang tertinggal cukup lama. Pak Harto 30 tahun berkuasa dengan segala kekurangannya dia bangun jalan tol memang sudah ada tuh Jagorawi segala macam tapi lambat banget," ujarnya dalam sebuah diskusi di Kawasan Tebet, Jakarta, Sabtu (19/1/2019).
Bhima melanjutkan, pembiayaan cepat yang dikaji tentu bukan mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebab APBN adalah instrumen yang digunakan untuk membiayai kebutuhan operasional dalam negeri baik belanja pegawai, belanja modal, pendidikan, kesehatan dan beberapa hal lain.
Baca Juga
"Problemnya kalau kita lihat dari nafsu atau mimpi besar Jokowi untuk membangun infrastruktur itu APBN tidak cukup. Pastinya tidak akan cukup. Apbn itu sebagian besar sudah habis 23 persen habis untuk belanja pegawai, sebagian lagi untuk belanja operasional dalam bentuk belanja barang, pengadaan itu sifatnya konsumtif," jelasnya.
Setelah mempertimbangkan kondisi APBN, pemerintah tentu mengandalkan pos-pos lain untuk mencari pendanaan dalam rangka mewujudkan terhubungnya Indonesia dari Sabang hingga Merauke melalui pembangunan infrastruktur. Salah satu yang diandalkan adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan swasta.
Namun, karena satu dan lain hal maka swasta seiring berjalannya waktu tidak tertarik melakukan investasi. Dengan kondisi ini, maka BUMN menjadi korban untuk mencari sebanyak-banyaknya pendanaan yang tentunya dijamin oleh negara.
"Swasta bilang saya tertarik untuk masuk ke proyek infrastruktur. Problemmnya itu adalah bukan pendanaan, swasta bisa nyari dana dari bank, dana dari saham, dari utang pinjaman lain. Swasta bisa cari banyak mekanisme itu. Yang jadi pertanyaan sekarang ini kenapa swasta tidak masuk dan porsinya itu cenderung mengalami penurunan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Masalah adalah pembebasan lahan. Pembebasan lahan itu butuh waktu 10 sampai 20 tahun," tandasnya.
Reporter: Yayu Agustini Rahayu
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Utang Indonesia Terus Naik dalam 10 Tahun
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada akhir November 2018 sebesar USD 372,9 miliar atau setara Rp 5.258 triliun (USD 1=Rp 14.101), rasio utang tersebut 34 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Menilik posisi 10 tahun lalu, utang Indonesia ternyata naik. Pada 2008, Indonesia memiliki utang sekitar Rp 1.636,7 triliun atau USD 149,5 miliar dengan rasio utang hampir mirip yaitu 33 persen terhadap PDB.
BACA JUGA
Kenaikan ini bukan tanpa alasan, mengutip data Kementerian Keuangan, Kamis (17/1/2019), utang digunakan untuk menggenjot pembangunan infrastruktur, pembiayaan pendidikan, pembiayaan kesehatan, perlindungan sosial dan pembiyaan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa.
Adapun kenaikan signifikan terjadi pada 2015 hingga 2017, dengan penambahan utang sekitar Rp 1.166 triliun.
"Apabila kita bandingkan dalam kurun waktu 2012-2014 dan 2015-2017, utang pemerintah bertambah dari Rp 609,5 triliun menjadi Rp 1.166 triliun yang mengalami kenaikan sebesar 191 persen," demikian dikutip dari laman kemenkeu.go.id, Jakarta.
Kemenkeu menegaskan, walaupun akhir-akhir ini utang pemerintah meningkat, namun tidak melanggar amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dimana defisit APBN masih terjaga kurang dari 3 persen terhadap PDB dan rasio utang kurang dari 60 persen dari PDB.
Terdapat 3 indikator risiko yang menunjukkan bahwa utang pemerintah dikelola dengan baik. Pertama, penurunan porsi kepemilikan asing dalam utang pemerintah.
Data menunjukkan bahwa rasio utang dalam valuta asing, terhadap total utang pemerintah terus menurun contohnya dari 2015 sebesar 44,5 persen ke 38,6 persen di 2018.
"Hal ini menunjukkan risiko utang yang berasal dari nilai tukar Rupiah terhadap mata uang asing dapat ditekan. Artinya utang Indonesia tidak terdampak apabila ada pengaruh dari luar negeri atau global," tulis Kemenkeu.
Kedua, kenaikan rasio utang dengan tingkat bunga tetap terhadap total utang pemerintah. Hal ini berarti risiko utang pemerintah tidak terlalu terpengaruh oleh situasi pasar yang tidak stabil (floating). Ketiga, kenaikan rasio utang yang jatuh tempo lebih dari 3 tahun terhadap total utang pemerintah.
"Data menunjukkan bahwa dalam 4 tahun terakhir rasio ini meningkat dari 21,4 persen ke 26,5 persen. Hal ini berarti risiko beban pembayaran utang pemerintah dalam jangka pendek memiliki tren menurun, artinya alokasi pembayaran utang dalam APBN akan mengecil, seiring dengan meningkatnya porsi utang yang memiliki jatuh tempo menengah/panjang, sehingga setiap tahunnya APBN tidak akan terbebani oleh cicilan utang dan dapat dialokasikan untuk belanja produktif lainnya," mengutip penjelasan Kemenkeu.
Advertisement