Hadapi Diskriminasi Sawit oleh UE, Pengusaha Usul Genjot Konsumsi di Indonesia

Pengusaha ingin kondisi win-win solution atas perseteruan antara Indonesia dengan Uni Eropa terkait kelapa sawit

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Mar 2019, 19:49 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2019, 19:49 WIB
20160308-Ilustrasi-Kelapa-Sawit-iStockphoto
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah Indonesia memberi sinyal akan melarang produk-produk asal Uni Eropa. Rencana ini merupakan imbas dari kampanye negatif terhadap kelapa sawit asal Indonesia oleh Uni Eropa.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi), MP Tumanggor mengatakan, pihaknya menginginkan kondisi win-win solution atas perseteruan antara Indonesia dengan Uni Eropa terkait kelapa sawit. Sebab kedua negara masih saling membutuhkan ekspor-impor.

"Kami tentu maunya win-win solution. Retaliasi bukan hal bagus. Tapi kalau pun harus dilakukan ya berarti tergantung semangat nasionalisme. Untuk NKRI kita kadang perlu menderita," kata dia, di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (20/3/2019).

Dia pun mengharapkan larangan tidak sampai terjadi. Sebab akan berakibat negatif, baik bagi Uni Eropa maupun Indonesia.

"Kalau kita tidak ekspor dan impor yang rugi kedua belah pihak. Industri di sana tidak dapat bahan baku dan konsumen mereka dapat bahan yang lebih mahal. Itu aja," imbuhnya.

Terkait upaya menghadapi kampanye negatif kelapa sawit, dia menyarankan agar konsumsi domestik diperbesar. Indonesia pun dapat mulai mengkaji lagi produk-produk Uni Eropa yang masuk.

"Kita harus mulai mengkritis produk yang masuk ke indonesia. Tapi jangan sampai embargo. Kita sudah katakan kita ISPO dan perizinan baru. Hutan masih 40 juta (hektare)," ujar dia.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

 

Menko Darmin Nilai Ada Maksud Terselubung Uni Eropa Kampanye Hitam Sawit Indonesia

20160304-Kelapa Sawit-istock
Ilustrasi Kelapa Sawit (iStockphoto)

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution mengatakan, Uni Eropa (UE) memang secara sengaja ingin menghambat produk CPO Indonesia.

Hal itu terlihat dari kriteria indirect land use change alias ILUC yang dipakai oleh Uni Eropa sebagai standar dalam menilai minyak nabati mana yang lebih berdampak negatif bagi lingkungan.

"Kalau kita lihat kebijakan uni Eropa RED 2 itu jelas sekali ada scientific-nya lewat ILUC, tapi belum apa-apa mereka bilang soybean-nya amerika itu low risk. Belom apa-apa kok sudah bilang low risk," kata dia, di Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu 20 Maret 2019.

"Itu buat kita sangat terang benderang. Ini langkah untuk dipersiapkan untuk meng-exclude CPO dari pasar Eropa," lanjut dia.

Salah satu alasan CPO dihambat, menurut Darmin adalah karena produk-produk Eropa seperti grape seed oil dan minyak biji bunga matahari tidak dapat bersaing dengan CPO.

"Kenapa? karena kalah bersaing produk mereka dari CPO. Produktivitasnya minyak yang dihasilkan CPO 6-12 kali yang dihasilkan setiap hektar grape seed oil atau minyak bunga matahari. Dihitung seperti apapun itu kalah," ungkap Darmin.

Indonesia, tegas Mantan Gubernur BI ini, tentu tidak ingin dirugikan dengan cara-cara langkah-langkah proteksionisme seperti itu.

"Kita tidak mau ini diganggu gugat apalagi dengan cara cara proteksionisme terselubung lalu di-transform menjadi terminologi yang ujungnya diskrimiatif. Tidak ada keraguan, ini diskriminasi. Ini alasan yang dibungkus dengan alasan ilmiah," tutur dia.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya