Liputan6.com, Jakarta - Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI), Dody A.S Dalimunthe mengatakan mahalnya harga tiket pesawat terbang dapat berdampak pada industri asuransi. Harga tiket mahal dapat menyebabkan turunnya permintaan terhadap asuransi, terutama jenis asuransi yang berkaitan dengan penumpang.
Menurut dia, harga tiket yang mahal tentu akan berpengaruh kepada turunnya jumlah penumpang. Dengan demikian premi asuransi akan menurun, sebab turunnya permintaan.
"Harga tiket itu mungkin kaitan langsung dengan penumpang, jadi penumpang berkurang maka permintaan untuk asuransi untuk penumpangnya itu juga turun, seperti itu," kata dia, di Kantornya, Jakarta, Kamis (23/5).
Advertisement
Baca Juga
Sementara Ketua Bidang Statistik, Riset, Analisa TI & Aktuaria AAUI, Trinita Situmeang menjelaskan terdapat tiga jenis asuransi bagi penumpang pesawat terbang. Ketiga asuransi dimaksud, yakni kecelakaan diri (personal accident), liability, dan travel insurance.
"Asuransi aviasi ini, memang betul meng-cover semua risiko dalam penerbangan. Bisa masuk di personal accident dan liability. Juga travel insurance," ujarnya.
Terkait dampak mahalnya harga tiket ke premi asuransi personal accident maupun liability, kata dia, belum dapat dilihat pada kuartal I 2019. "Untuk kuartal I harga tiket belum berdampak. Mungkin untuk jangka panjang. Personal accident dan liability itu kan annual contract, kontrak periode satu tahun. Nanti waktu ketemu annual baru ketahuan," jelas dia.
"Tapi mungkin akan berpengaruh, tapi tidak banyak ke travel insurance. Ketika kita beli tiket, kita kan klik 'mau beli proteksi sebesar premi X'. Mungkin dengan jumlah penumpang turun, nggak ada yang klik juga," tandasnya.
Terkait kinerja asuransi di lini usaha aviasi pada kuartal I/2019, AAUI mencatat jumlah premi bruto asuransi lini usaha Aviasi sebesar Rp 97,75 miliar. Angka ini turun sebesar 45,2 persen atau terdapat selisih Rp 80,63 miliar jika dibanding dengan kuartal I/2018 yang sebesar Rp 178,38 miliar.
Sementara klaim bruto lini asuransi umum untuk lini usaha aviasi pada kuartal I 2019 tercatat sebesar Rp 53,61 miliar. Angka ini tumbuh 14,7 persen atau senilai Rp 6,87 miliar jika dibandingkan dengan kuartal I 2019 yang sebesar Rp 46,74 miliar.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Tiket Pesawat Mahal, Jumlah Penumpang Damri Meningkat
Mahalnya tiket pesawat membuat banyak orang beralih menggunakan transportasi darat, yaitu bus. Jumlah penumpang bus mengalami peningkatan yang cukup signifikan, terutama untuk rute antarkota dan antarprovinsi.
Direktur Utama Perum DAMRI, Setia N Milatia Moemin mengakui adanya kenaikan jumlah penumpang bus. Namun belum terlalu terlihat sebab periode mudik dan arus balik belum dimulai.
"Tiket pesawat yang melonjak iya memang ada sedikit lonjakan (penumpang bus), tapi belum banyak karena ini lebarannya belum," kata dia dalam sebuah acara diskusi di kawasan Matraman, Jakarta, Kamis (23/5/2019).
Untuk hari biasa, dia mengungkapkan kenaikan penumpang sekitar 10 persen. Angka tersebut dipastikan akan meningkat semakin pesat jelang periode mudik lebaran dan arus balik tahun ini.
"Ada sedikit lonjakan pada permintaan antarkota dan antarprovinsi ada sekitar 10 persen sudah terjadi kenaikan tapi kami harapkan lebih tinggi lagi krena makin dekati lebaran orang Indonesia kan sukanya last minute lebaran," ujarnya.
Akan tetapi, dia mengungkapkan menurunnya jumlah penumpang pesawat juga membawa dampak buruk bagi perusahaannya. Sebab jumlah penumpang bus damri rute ke bandara anjlok hampir setengahnya.
"Tapi sejak tiket (pesawat) naik kami mengalami sedikit penurunan di angkutan ke bandara. Penjualannya agak turun," keluhnya.
Advertisement
Dirut Garuda Ungkap Sulitnya Bersaing dengan Maskapai Asing
PT Garuda Indonesia (Persero) merupakan salah satu maskapai terbesar di Indonesia. Namun ternyata, maskapai plat merah ini harus bekerja ekstra keras jika harus bersaing dengan maskapai asing untuk penerbangan internasional.
Direktur Utama Garuda Indonesia I Gusti Ngurah Askhara Danadiputra atau Ari Askhara menjelaskan, banyak faktor yang menyebabkan maskapai Indonesia sulit bersaing dengan maskapai asing.
"Di Indonesia sendiri harga rata-rata per jam dalam rupiah paling rendah dibanding Jepang Rp 2,3 juta, China Rp 1,5 juta, kita paling rendah yaitu Rp 718.575. Ini kalau sekarang Tarif Batas Atas turun, berarti lebih rendah lagi. Padahal komponen biaya peswat di dunia sama saja," kata Ari seperti ditulis, Rabu (22/5/2019).
Tidak hanya itu, selama ini maskapai di Indonesia dihadapkan tingginya harga avtur. Namun di sisi lain, maskapai tidak bisa langsung begitu saja menaikkan harga tiket pesawat. Hal ini menyebabkan manajemen harus melakukan berbagai efisiensi.
Belum lagi, dijelaskan Ari, setiap pembelian avtur di Indonesia, maskapai dikenakan PPn sebesar 10 persen.
"Jadi kita tidak bisa kalau bersiang di luar negeri. Bersyukur kita punya pasar tradisional seperti ke Singapura, Jeddah, Madinah. Bagaimana bisa bersaing kalau komposisi harga rata-rata saja jauh di bawah," Ari menambahkan.
Diceritakannya, pada bulan April, Garuda Indonesia pernah diminta menurunkan harga tiket mencapai 35 persen. Dengan kebijakan ini, hanya dalam waktu dua minggu, Garuda Indonesia menelan kerugian USD 12 juta.
"Tapi kalau cuma penurunan 15 persen, jika sekarang masih bisa BEP lah," pungkas dia.
Garuda Belum Alami Lonjakan Pembelian Tiket Mudik
Garuda Indonesia mencatat belum ada lonjakan pembelian tiket pesawat untuk arus mudik Lebaran 2019. Hal ini bisa dilihat dari belum lakunya jumlah kursi tambahan yang disipakan Garuda Indonesia.
Pada mudik tahun ini, Garuda Indonesia menyiapkan kursi tambahan sebanyak 50 ribu.
"Kita standby 50 ribu kursi tambahan. Namun hingga kini belum ada lonjakan booking pesawat," tegas Direktur Utama Garuda Indonesia Ari Askhara di DPR RI, Selasa (21/5/2019).
Dia berharap, dengan adanya kebijakan baru yaitu penurunan Tarif Batas Atas (TBA) kisaram 12-16 persen, maka bisa menarik para pemudik untuk kembali menggunakan pesawat.
Mengenai angkutan mudik, Ari mengaku sebenarnya tak terlalu berpengaruh terhadap pendapatan Garuda Indonesia. Hal ini dikarenakan pola pergerakan penumpang hanya satu arah.
"Walaupun penuh dari sini (Jakarta) ke Jogja, orang baliknya kosong. Jadi tingkat keterisiannya 50-60 persen. Dengan kondisi harga diturunkan 15 persen maka harusnya tingkat keterisian kita minimum di 78 persen. Jadi kita sekarang harus pintar cari travel agent lagi yang kumpulkan orang datang ke Jakarta," tegasnya.
Advertisement