Sri Mulyani Sebut Tarik Dana Investasi Besar Butuh Kebijakan Ambisius

Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyambut positif hasil asesmen Lembaga pemeringkat Standard and Poors (S&P) terkait peringkat utang Indonesia.

oleh Liputan6.com diperbarui 01 Jun 2019, 17:28 WIB
Diterbitkan 01 Jun 2019, 17:28 WIB
Sri Mulyani Mencatat, Defisit APBN pada Januari 2019 Capai Rp 45,8 TSri Mulyani Mencatat, Defisit APBN pada Januari 2019 Capai Rp 45,8 T
Menteri Keuangan Sri Mulyani saat konferensi pers APBN KiTa Edisi Feb 2019 di Jakarta, Rabu (20/2). Kemenkeu mencatat defisit APBN pada Januari 2019 mencapai Rp45,8 triliun atau 0,28 persen dari PDB. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyambut positif hasil asesmen Lembaga pemeringkat Standard and Poors (S&P) terkait peringkat utang Indonesia.

S&P meningkatkan Sovereign Credit Rating Republik Indonesia dari BBB-/Outlook Stabil menjadi BBB/Outlook Stabil pada 31 Mei 2019.

Meskipun demikian, dia mengatakan peringkat S&P saja tidak cukup untuk menarik investasi asing berupa FDI (foreign direct investment) ke Indonesia.

"Kalau dari reputasi iya, kalau capital inflow iya. FDI membutuhkan policy yang jauh lebih ambisius lagi," kata dia saat ditemui, di Kementerian Keuangan, Jakarta, Sabtu (1/6/2019).

Beberapa langkah yang mesti harus dilakukan adalah menciptakan iklim investasi yang baik. Hal tersebut dapat ditempuh lewat pemangkasan proses perizinan dan penyederhanaan aturan.

"Seperti yang disampaikan Presiden, kita membuat simplifikasi dari regulasi kita juga ingin memperbaiki iklim investasi kita. Ini merupakan suatu tantangan. Faktor-faktor seperti infrastruktur, SDM, produktivitas mereka dan regulasi yang tidak berbelit-belit, serta korupsi menjadi suatu yang harus terus kita perangi," ujar dia.

Dia menuturkan, pasca kenaikan peringkat utang, Indonesia masih perlu melakukan berbagai perbaikan. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan dunia terhadap ekonomi Indonesia.

"Tentu kita masih memiliki PR-PR yang harus kita selesaikan. Income per kapita kita mungkin termasuk perlu untuk diperbaiki. Karena kalau income per kapita kita masih di bawah USD 5.000, akan sulit untuk bisa meningkatkan rating kita, karena dianggap memiliki vulnerabilitas," kata dia.

"Jadi kita harus mampu menterjemahkan kemajuan pembangunan kita dalam bentuk income per kapita masyarakat secara rata-rata harus meningkat," imbuh dia.

Selain itu, tekanan ekonomi global masih harus terus diwaspadai. Pemerintah akan terus berupaya untuk menggenjot masuknya investasi ke Indonesia.

"Dalam situasi global yang volatile yang arus modal begitu mudah sekali mengalami perubahan, maka kita harus terus berjuang agar capital yang masuk adalah capital yang sifatnya long term. sehingga kita tidak mudah untuk terganggu oleh kondissi global yang mudah berubah," ujar dia.

 

Reporter: Wilfridus Setu Embu

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini

Sambut Positif

Sri Mulyani
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani saat memberi keterangan di Istana Negara, Jakarta, Rabu (23/5). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Menteri Keuangan, Sri Mulyani menyambut positif hasil asesmen Lembaga pemeringkat Standard and Poors (S&P) terkait peringkat utang Indonesia.

S&P meningkatkan sovereign credit rating Republik Indonesia dari BBB-/Outlook Stabil menjadi BBB/Outlook Stabil pada 31 Mei 2019.

"Alhamdulillah ada hal-hal yang cukup baik dari assessment-nya, bahwa S&P yang tadinya BBB- stable langsung meloncat menjadi BBB. Ini adalah suatu kenaikan yang cukup signifikan dari lembaga rating yang dikenal cukup konservatif," kata dia, saat ditemui, di Jakarta, Sabtu 1 Juni 2019.

Terkait peringkat tersebut, lanjut dia terdapat beberapa hal positif yang berhasil dicetak oleh Indonesia. Salah satunya pertumbuhan ekonomi yang lebih bagus dibandingkan negara peer.

"Memang selama beberapa tahun terakhir ini banyak negara mengalami tekanan yang luar biasa dalam perekonomiannya sehingga performance-nya tidak terlalu bagus dan kita dengan pertumbuhan yang relatif tinggi," ujar dia.

"Ini adalah suatu hal yang positif dan tentu mereka memiliki pandangan optimistik dengan selesainya pemilu komitmen melakukan reformasi sehingga kinerja pertumbuhan ekonomi akan menajdi lebih baik," imbuhnya.

Selain itu kata dia, Indonesia pun telah menjalankan kebijakan fiskal yang prudent. Hal tersebut tampak dari defisit APBN di bawah tiga persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

"Rasio dari utang juga dijaga, itu memberikan suatu reputasi dan track record cukup bagus sehingga kepercayaan terhadap track record ini positif," tandasnya.

 

Kata BI

Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK)
Menteri Keuangan Sri Mulyani, (kedua kiri) didampingi Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, Gubernur BI Perry Warjiyo dan Ketua Dewan Komisioner LPS Halim Alamsyah saat konpers hasil rapat KSSK, Jakarta Selasa (31/7). (Merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Sebelumnya, Lembaga pemeringkat Standard and Poor’s (S&P) meningkatkan sovereign credit rating Republik Indonesia dari BBB-/outlook stabil menjadi BBB/outlook stabil pada 31 Mei 2019.

Gubernur Bank Indonesia (BI), Perry Warjiyo menuturkan, Indonesia menyambut baik hasil asesmen S&P yang positif. Indonesia kini memperoleh status investment grade dengan level sama dari ketiga lembaga rating utama yaitu S&P, Moody’s dan Fitch.

Hal ini menunjukkan lembaga rating itu memiliki kepercayaan tinggi terhadap prospek perekonomian Indonesia, didukung oleh sinergi kebijakan moneter, sektor keuangan, dan fiskal yang diarahkan untuk menjaga stabilitas makroekonomi dengan tetap mendorong momentum pertumbuhan ekonomi.

"Ke depan, BI dan pemerintah tetap berkomitmen untuk melanjutkan reformasi struktural untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang kuat, berkelanjutan, berimbang dan inklusif," ujar Perry, seperti dikutip dari laman BI, Jumat, 31 Mei 2019.

S&P sebelumnya mempertahankan peringkat Indonesia pada level BBB-/outlook Stabil (Investment Grade) pada 31 Mei 2018

Dalam laporannya, S&P menegaskan bahwa salah satu faktor kunci yang mendukung keputusan tersebut adalah prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia yang kuat dan dukungan kebijakan otoritas yang diyakini akan tetap berlanjut pasca-terpilihnya kembali Presiden Joko Widodo.

Selain itu, perbaikan sovereign credit rating Indonesia juga didukung oleh utang pemerintah yang relatif rendah dan kinerja fiskal yang cukup baik.

Selanjutnya

BI Prediksi Ekonomi RI Tumbuh 5,4 Persen di 2019
Pemandangan gedung bertingkat di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Kamis (14/3). Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2019 akan berada di kisaran 5-5,4 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Ekonomi Indonesia tumbuh lebih baik dibandingkan negara-negara lain yang memiliki tingkat pendapatan yang sama (peers).

Hal ini menunjukkan, kebijakan pemerintah telah efektif mendukung pembiayaan publik yang berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi yang berimbang.

Secara rata-rata dalam 10 tahun terakhir, pendapatan riil per kapita Indonesia tumbuh meyakinkan sebesar 4,1 persen, jauh lebih tinggi daripada negara peers yang tercatat rata-rata sebesar 2,2 persen. Hal ini menunjukkan dinamika ekonomi Indonesia yang konstruktif di tengah lingkungan eksternal yang penuh tantangan dalam beberapa tahun terakhir.

Lebih lanjut, konsumsi merupakan kontributor utama terhadap pertumbuhan PDB diikuti oleh investasi sebagai kontributor yang cukup besar selama lima tahun terakhir.

Tren ini dinilai akan terus berlanjut jika pemerintahan Presiden Joko Widodo melanjutkan komitmennya untuk meningkatkan investasi di bidang infrastruktur dan sumber daya manusia.

Di sisi fiskal, rasio utang Pemerintah diperkirakan stabil selama beberapa tahun ke depan sebagai cerminan dari proyeksi keseimbangan fiskal yang juga stabil. Rasio utang pemerintah terhadap PDB diperkirakan tetap sehat di bawah 30 persen seiring dengan terjaganya defisit fiskal dan pertumbuhan PDB.

Di sisi eksternal, keputusan Bank Indonesia menaikkan suku bunga kebijakan sebesar 175 bps dianggap sebagai kebijakan yang proactive sehingga Indonesia mampu mengatasi risiko yang bersumber dari kerentanan eksternal.

Selain itu, S&P juga meyakini, Indonesia tidak menghadapi extraordinary risk terhadap pemburukan pembiayaan eksternal karena didukung oleh akses terhadap pasar keuangan yang kuat dan berkelanjutan serta arus masuk PMA dalam beberapa tahun terakhir di tengah volatilitas eksternal yang cukup tajam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya