Liputan6.com, Jakarta Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengungkapkan regulasi kebijakan pinjaman online (fintech) belum mengatur secara adil antara regulator dan pelaku usaha.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menuturkan, masyarakat perlu meningkatkan kesadaran akan keberadaan fintech ilegal yang masih marak beredar.
"Waspada pinjaman online. Ini harus dilakukan melihat lemahnya pengawasan regulator. Terkesan ada pembiaran. Ada pengaburan antara pinjaman online legal dan ilegal," tuturnya di Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Advertisement
Baca Juga
Di sisi lain, Tulus juga menyoroti masalah pencurian data pribadi digital yang dimanfaatkan oleh sejumlah pelaku di industri fincteh yang masih tinggi.
"Regulasi kebijakan belum adil, antara regulator belum sinergi kuat untuk penegakan hukum. Rendahnya itikad baik pelaku usaha pinjaman online menjadikan konsumen sebagai sapi perah," ujarnya.
Sementara itu, dia menjelaskan, belum adanya undang-undang yang mengatur persoalan fintech dari pemerintah menyebabkan kasus di sektor ini sulit untuk ditindak tegas.
"Pinjaman online menduduki ranking ketiga yang dikeluhan masyarakat di 2018. Keluhan utama penyedotan data pribadi. Kemudian belum punya undang-undang perlindungam data pribadi," terang dia.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
OJK: Nasabah Pinjaman Online Juga Harus Punya Etika
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengungkapkan keberadaan perusahaanĀ fintech ilegalĀ masih menjadi musuh besar yang perlu diberantas.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Wimboh Santoso menyamakan fintech ilegal dengan rentenir. Namun, menurutnya, kesadaran masyarakat akan perusahaan fintech yang resmi juga perlu ditingkatkan.
"Rentenir itu sudah ada sejak lama. Tapi masyarakat memang merasa kehadiranya bermanfaat, misal di pasar banyak pedagang ujungnya ke rentenir. Siapa yang perlu disitu boleh minjem, nggak perlu jaminan, KTP. Pinjam Rp100 ribu pagi, pulangin Rp150 ribu sorenya," tuturnya di Jakarta, Selasa (16/7/2019).
Wimboh menjelaskan, konsumen pada dasarnya juga perlu mengetahui pentingnya meminjam dana segar dari fintech yang terdaftar diĀ OJK.
"Nah rentenir ini apa yang mau disalahkan? Apa menyalahi aturan? Nggak ada yang melanggar, hanya etika yang melanggar. Nah ini sama dengan teknologi sekarang ini khususnya fintech. Mau dilarang (fintech ilegal)? Itu siapa, kita nggak tahu. Itu dunia virtual. Kita bisa tutup platform mereka paginya, sore hari buka lagi," ujarnya.
Advertisement
Nasabah Harus Punya Etika
Wimboh menggambarkan, OJK kerapkali telah menutup sejumlah akun fintech bodong. Namun pihaknya mendapati para nasabah fintech yang juga tidak memiliki etika dalam meminjam dana.
"Satu orang bisa pinjem 20 kali lewat online. Jadi yang nggak punya etika bukan fintechnya saja, tapi yang minjem juga nggak punya etika. Itulah fenomenanya," terangnya.
Dia pun menghimbau, baik pelaku (fintech) dan konsumen atau masyarakat sama-sama membangun ekosistem yang baik di industri keuangan digital sehingga kedunya dapat saling menguntungkan.
"Untuk pinjaman online atau fintech resmi sudah bisa dilihat atau di cek di website resmi OJK," paparnya