Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memprediksi pertumbuhan investasi semester I 2019 bakal berada di kisaran angka 5 persen. Dirinya pun berharap laju investasi di semester selanjutnya akan tumbuh lebih baik.
"Semester I (diperkirakan) menurun lagi di 5 persen, jadi kita akan tingkatkan di semester II diharapkan momentum naik," katanya saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Senin (22/7/2019).
Sri Mulyani mengatakan, dengan capaian sebesar 5 persen tersebut maka investasi di semester II ditargetkan mampu tumbuh di angka 6 persen.
Advertisement
"Kalo target kita tidak akan liat tapi saya harapkan semester II akan lebih baik dari kondisi semester I, Jadi kita bisa-bisa berharap bisa meningkat di 6 persen," katanya.
Baca Juga
Seperti diketahui, berdasarkan catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) investasi pada kuartal pertama 2019 atau periode Januari-Maret, realisasi investasi tercatat mencapai Rp 195,1 triliun atau naik 5,3 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu alias year on year (yoy).
Di mana realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) tercatat sebesar Rp 87,2 triliun. Realisasi tersebut naik 14,1 persen dari sebelumnya Rp76,4 triliun pada kuartal I 2018.
Sementara, realisasi penanaman modal asing (PMA) mencapai Rp 107,9 triliun. Realisasi PMA kuartal I 2019 turun 0,9 persen dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp 108,9 triliun.
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Faisal Basri Sebut Investasi RI Tertinggi di ASEAN
Sebelumnya, Ekonom Faisal Basri mengaku heran dengan pernyataan pemerintah yang menyatakan investasi di Indonesia bermasalah. Karena itu harus terus didorong. Salah satunya dengan kebijakan anyar super deductible tax untuk vokasi.
Dia menjelaskan, tidak ada persoalan dengan kinerja investasi di Indonesia. Investasi Indonesia bahkan termasuk yang tertinggi dibandingkan negara-negara lain di ASEAN.
"Apa yang salah dengan investasi kita? Tidak ada yang salah. Investasi per PDB ya, 32,3 persen dari PDB. Negara ASEAN lain, semua di bawah 30 persen," kata dia, dalam diskusi, di Jakarta, [ada Rabu (17/7/2019).Â
BACA JUGA
"Investasi kita hanya dikalahkan Cina, 40 persen lebih dari PDB," ujarnya.
Karena itu, mengaku cemas bahwa setiap kebijakan yang diarahkan untuk mendorong investasi, didasarkan pada pemikiran dan diagnosa masalah yang tidak tepat.
"Kemudian kalau kita lihat kredit perbankan 12 bulan terakhir itu double digit terus, 11 persen. Investasi asing tahun 2018 itu kita nomor 16 terbesar di dunia. Naik dari 2017 urutan 18. Enggak ada yang salah dengan investasi. Diagnosis ini yang saya takut salah," tegasnya.
Menurut dia masalah yang sebenarnya yang terjadi di Indonesia adalah tinggi nilai ICOR (Incremental Capital output Ratio). Skor ICOR Indonesia saat ini jauh lebih rendah dibandingkan zaman orde baru. Makin tinggi nilai ICOR menunjukkan makin tidak efisiennya investasi di suatu negara.
"Yang salah, investasi banyak hasil sedikit. Jadi ada masalah dengan efisien investasi. ICOR-nya tinggi. Untuk menambah satu unit output di Indonesia sekarang dibutuhkan modal 6,2. Zaman orde baru bisa tumbuh double digit karena ICOR-nya 4 persen. Jadi 32 bagi 4 ya 8 persen pertumbuhannya. Sekarang 32 dibagi 6,2 ya 5,17. Kenapa ICOR tinggi. Tapi tiba-tiba super deduction tax," jelas dia.
Karena itu, dia berharap para pejabat negara, terutama para Menteri dapat membuat kajian atau diagnosa yang tepat terkait persoalan dalam perekonomian.
"Saya takut semua kebijakan ini datang dari mulut Presiden. Sidang kabinet, presiden bilang investasi tidak nendang. Presiden datang ke sidang kabinet bilang ekspor tidak nendang. Oleh karena itu mau bikin Kementerian Investasi, Kementerian Ekspor terus semua mengiyakan tanpa mendiagnosis," tandasnya. Â
Advertisement