Liputan6.com, Jakarta - Ketua Lembaga Pengkajian, Penelitian dan Pengembangan Ekonomi (LP3E) Kadin Indonesia, Didik Rachbini mengakui bahwa ketahanan ekonomi nasional saat ini tengah dalam keadaan rapuh. Hal ini ditandai dari beberapa indikator yang belum menunjukan signifikan.
Misalnya saja, transaksi berjalan RI saat ini dipandangnya masih di bawah. Di mana defisit neraca transaksi berjalan pada kuartal I 2019 tercatat sebesar USD 7 miliar dolar atau 2,6 persen dari produk domestik bruto (PDB). Dengan, posisi CAD yang defisit secara otomatis berdampak pada nilai tukar rupiah.
Advertisement
Baca Juga
"Ketahanan (ekonomi) kita itu rapuh. Transaksi berjalan, selama di sini (bawah) jangan harap kita rupiah baik," katanya saat ditemui di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (7/8).
Didik mengatakan rendahnya neraca berjalan tersebut juga dikarenakan transaksi ekspor dan impor tidak seimbang. Di tambah lagi, transaksi jasa yang ada di Indonesia belum cukup menunjukan peranan yang optimal berdampak pada ekonomi.
"Kita tidak belajar, padahal zaman Pak Harto itu tidak ada (seperti ini) (transaksi) jasa gede tapi itu dikompensasi oleh barang eskpor dan jasa," katanya.
Kondisi ini kemudian berbalik, di mana untuk mengejar transaksi jasa pemerintah baru mulai gencar dengan menggandeng beberapa start up seperti Traveloka. Dengan dilibatkannya Traveloka pemerintah berharap dapat mendongkrak sektor jasa di bidang pariwisata.
"Tapi pemerintah udah telat antisipasi. Misal Traveloka, diberi tugas masukan neraca jasa, sekarang (kita) mati-matian di pariwsata," pungkasnya
Â
Reporter: Dwi Aditya Putra
Sumber: Merdeka.com
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Jokowi Dorong Peran Swasta untuk Pertumbuhan Ekonomi 2020
Presiden Joko Widodo atau Jokowi ingin agar sektor swasta ikut berperan dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia 2020. Hal ini mengingat minimnya kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terhadap produk domesti broto (PDB) sekitar 14,5 persen.
Hal ini disampaikan Jokowi saat memimpin sidang kabinet paripurna dengan topik Rancangan Undang-undang (RUU) beserta Nota Keuangan RAPBN tahun 2020 di Istana Negara Jakarta, Senin (5/8/2019).
"Terakhir perlu saya tekankan bahwa APBN hanya berkontribusi 14,5 persen PDB kita. Sehingga yang paling penting adalah menciptakan ekosistem yang baik agar sektor swasta bisa bertumbuh dan berkembang," ujar Jokowi.
"Poinya di situ, sehingga kita harus mendorong besar-besaran investasi bisa tumbuh dengan baik, sehingga lapangan kerja terbuka sebanyak-banyaknya," sambungnya.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu melihat kondisi perekonomian global pada 2020 masih penuh dengan ketidakpastian. Untuk itu, dia menekankan bahwa RAPBN 2020 harus menggambarkan kekuatan serta daya tahan ekonomi nasional dalam menghadapi gejolak eksternal.
"Kita harapkan nanti juga arah penggunaan APBN ini sebagai instrumen utama akselerasi daya saing ekonomi negara ini. Terutama daya saing di bidang ekspor dan investasi," jelasnya.
Selain itu, Jokowi meminta agar RAPBN 2020 difokuskan untuk investasi pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang lebih berkualitas. Sehingga, APBN tahun depan dapat meningkatkan daya saing Indonesia di bidang investasi.
"Seperti yang sudah saya sering katakan, saya ingin dipastikan bahwa RAPBN 2020 dikelola secara fokus, terarah, bisa tepat sasaran, dan manfaat bisa dirasakan oleh masyarakat," kata Jokowi.
Advertisement
Bos Bappenas Beberkan Faktor Penghambat Pertumbuhan Ekonomi RI
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pernah berada dalam puncak kejayaannya yakni sebesar 7,5 persen pada era 1960-an. Namun, kondisi ini berbalik di mana pertumbuhan ekonomi pada saat ini sedang mengalami perlambatan atau stagnan di kisaran 5 persen.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas, Bambang Brodjonegoro, mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi Indonesia terhambat. Salah satunya adalah mengenai regulasi dibidang ketenagakerjaan.Â
Menteri Bambang menyebut, perosalan yang hadir di ketenagakerjaan sering kali datang dari tingginya biaya pesangon. Sehingga itu menjadikan beban bagi perusahaan atau pemberi kerja, yang kemudian berdampak pada perekrutan tenaga kerja kontrak atau outsourcing.
"Terlihat bahwa regulasi tenaga kerja belum membuat perusahaan tertarik untuk upgrade tenaga kerja dengan durasi lebih pasti dan panjang," katanya saat ditemui di Jakarta, Rabu (24/7).
Menteri Bambang menyebut selama ini persoalan tenaga kerja di Indonesia masih cukup rumit. Sebab, hanya ada di bawah 10 persen perusahaan yang memberikan pelatihan formal terhadap tenaga kerjanya.
Kondisi ini jauh apabila dibandingkan dengan negara Vietnam yang sebagian besar 20 persen perusahaannya telah memberikan pelatihan formal. Selain Vietnam, Filipina dan China juga masing-masing berada di 60 persen dan 80 persen perusahaannya memberikan pelatihan formal.
"Kalau tidak dilatih, bagaimana berdaya saing. kualitas seadanya, ganggu produktivitas perusahaan sendiri," imbuhnya.Â