Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Tambah Beban Pengusaha

Ketua umum HIPPI Sarman Simanjorang menyatakan, keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan tentu akan menambah beban pengusaha.

oleh Athika Rahma diperbarui 31 Okt 2019, 09:00 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2019, 09:00 WIB
Iuran BPJS Kesehatan Naik
Suasana pelayanan BPJS Kesehatan di Jakarta, Rabu (28/8/2019). Sedangkan, peserta kelas mandiri III dinaikkan dari iuran awal sebesar Rp 25.500 menjadi Rp 42.000 per bulan. Hal itu dilakukan agar BPJS Kesehatan tidak mengalami defisit hingga 2021. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia DKI Jakarta (HIPPI) Sarman Simanjorang menyatakan, keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan tentu akan menambah beban pengusaha.

Apalagi, belum lama telah terbit aturan kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) tahun 2020 sebesar 8,51 persen.

"Dalam kondisi ekonomi begini sudah pasti menambah beban pengusaha, apalagi tahun depan pengusaha menanggung kenaikan UMP, jika ditambah kenaikan iuran BPJS tentu akan semakin berat," ujar Sarman kepada Liputan6.com, seperti dikutip Kamis (31/10/2019).

Sarman menambahkan, ke depannya pengusaha mungkin akan melakukan perundingan dengan serikat pekerja untuk mencari solusi terbaik, jika beban kenaikan iuran ini dirasa terlalu berat.

Namun demikian, dirinya menganjurkan agar pemerintah menunda kenaikan iuran ini dan mencari alternatif solusi.

"Direksi BPJS harus mampu mencari strategi bagaimana agar masyarakat memiliki kesadaran yang tinggi membayar iuran BPJS, supaya yang menunggak tidak terlalu banyak," tuturnya.

Sanksi Buat Penunggak Iuran BPJS Kesehatan Tak Manusiawi

Iuran BPJS Kesehatan Naik
Petugas BPJS Kesehatan melayani warga di kawasan Matraman, Jakarta, Rabu (28/8/2019). Menkeu Sri Mulyani mengusulkan iuran peserta kelas I BPJS Kesehatan naik 2 kali lipat yang semula Rp 80.000 jadi Rp 160.000 per bulan untuk JKN kelas II naik dari Rp 51.000 menjadi Rp110.000 per bulan. (merdeka.com

Pengamat asuransi Hotbonar Sinaga menilai sanksi administratif berupa tidak mendapat pelayanan publik tertentu bagi yang menunggak iuran BPJS Kesehatan tidak manusiawi.

Seperti diketahui, BPJS Kesehatan tengah menggodok aturan yang akan memberikan sanksi administratif kepada peserta yang menunggak iuran. Sanksi tersebut berupa tak mendapatkan layanan publik meliputi seperti Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Surat Izin Mengemudi (SIM), sertifikat tanah, paspor, dan Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK).

"Itu sih cara yang kurang manusiawi walau mungkin efektif. Direksi mesti cari cara lain yang inovatif dong. Sekalian aja pakai debt collector yang bertentangan dengan Pancasila. Kalau untuk perusahaan yang nunggak, bukan individu bolehlah ngancem seperti itu," tuturnya kepada Liputan6.com, seperti ditulis Jumat (11/10/2019).

Senada, Ketua Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menuturkan BPJS Kesehatan sebaiknya meningkatkan mutu pelayanan terlebih dahulu untuk menggugah masyarakat disiplin membayar iuran.

"Saya mendukung adanya sanksi tidak dapat layanan publik, tapi sebelum memberikan sanksi tersebut hendaknya BPJS kesehatan meningkatkan pelayanannya kepada peserta sehingga masyarakat tergugah untuk disiplin membayar iuran," ujarnya.

"Ini yang utama, karena sustainability kesadaran membayar iuran akan terjadi. Kalau hanya mengandalkan sanksi PP 86 saja maka tidak menjamin keberlanjutan kesadaran membayar iuran. Bisa saja ketika mau ngurus SIM dibayar dulu tunggakannya, tapi setelah itu menunggak lagi karena SIM kan 5 tahun sekali," tambah dia.

Pihaknya pun berharap, pemerintah serius dalam menangani masalah yang membelenggu BPJS Kesehatan.

"Saya berharap Presiden memberikan evaluasi atas kinerja lembaga, kementerian dan pemda terkait dengan dukungan mereka kepada JKN," kata dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya