Harga Emas Melambung Dekati Level Tertinggi dalam 8 Tahun

Harga emas terus menunjukkan penguatan dan pasar terus mendorongnya menuju ke level USD 1.800 per ounce dalam waktu singkat.

oleh Arthur Gideon diperbarui 01 Jul 2020, 07:40 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2020, 07:40 WIB
20151109-Ilustrasi-Logam-Mulia
Ilustrasi Logam Mulia (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Harga emas melonjak ke level tertinggi dalam hampir 8 tahun pada penutupan perdagangan Selasa (Rabu pagi waktu Jakarta). Pendorong kenaikan harga emas adalah meningkatnya kekhawatiran akan timbulnya gelombang kedua lonjakan virus Corona.

Para investor banyak memindahkan portofolio investasi mereka ke aset-aet safe haven seperti emas. Hal ini membuat logam mulia tersebut masuk ke jalur kenaikan kuartalan terbesar sejak Maret 2016.

Mengutip CNBC, Rabu (1/7/2020), harga emas di pasar spot melonjak 0,5 persen menjadi USD 1.779,44 per ounce. Sesi tertinggi pada perdagangan Selasa mencapai USD 1.785,46 per ounce, tertinggi sejak Oktober 2012.

Sedangkan untuk harga emas berjangka AS naik 1,1 persen ke level USD 1.800,5 per ounce.

Kepala perdagangan derivatif logam mulia BMO Tai Wong mengatakan, berdasrkan hitungan dari para analis, harga emas bisa mencapai level tertinggi di USD 1.780 per ounce.

Harga emas terus menunjukkan penguatan dan pasar terus mendorongnya menuju ke level USD 1.800 per ounce dalam waktu singkat.

Emas, dianggap sebagai lindung nilai terhadap inflasi dan penurunan nilai mata uang. Sejauh ini harga emas telah menuju kenaikan bulan ketiga, didorong oleh pengucuran stimulus untuk mendukung ekonomi yang telah dihancurkan oleh pandemi Corona.

"Secara fundamental emas akan tetap bullish karena covis-19 mendorong permintaan instrumen safe-haven. Stimulus bank sentral juga menjadi mendorong harga emas hingga bisa mencetak rekor," jelas analis senior Kitco Jim Wyckoff.

Beberapa negara bagian AS mempertimbangkan untuk menutup kembali perekonomian setelah terjadi lonjakan penderita virus Corona Covid-19 .

Ketua Federal Reserve AS Jerome Powell pada hari Senin mengatakan prospek ekonomi di Amerika Serikat (AS) sangat tidak pasti sehingga mendorong pelaku pasar untuk memborong logam mulia sehingga harga emas naik.

Harga Emas Diprediksi Tembus USD 1.800 per Ons

20151109-Ilustrasi-Logam-Mulia
Ilustrasi Logam Mulia (iStockphoto)

Sebelumnya, analis melihat harga emas akan lebih fluktuatif di perdagangan pada pekan ini dengan upaya untuk menembus level USD 1.800 per ons.

Harga emas berjangka naik pada akhir perdagangan Jumat pekan lalu berada di atas USD 1.770 dengan perdagangan Comex untuk pengiriman Agustus yang naik 0,54 persen, dan ditutup pada USD 1.780,10 per ons, setelah sebelumnya sempat mengalami konsolidasi.

Sentimen risk-off di pasar telah membantu emas mempertahankan momentum bullish, tetapi dolar AS yang lebih tinggi telah mencuri perhatian safe-haven dari emas.

"Dolar AS kembali, yang mempengaruhi harga komoditas," kata Pakar Emas Gainesville, Everett Millman dilansir dari laman Kitco, Senin (29/6/2020). 

Naiknya harga emas ini seiring dengan lonjakan angka kasus Covid-19 baru di Amerika Serikat yang naik setidaknya 39.818 pada Kamis (25/6) lalu, dan menjadi kenaikan satu hari tertinggi di AS hingga saat ini.

Kekhawatiran tentang bagaimana ini akan berdampak pada pemulihan ekonomi AS, telah menyebabkan aksi jual di pasar saham utama lainnya pada hari Jumat, menyeret Dow turun 500 poin setelah Gubernur Texas, Greg Abbott menarik kembali beberapa kebijakan pelonggaran pembatasan sosial.

"Pada saat ini, jelas bahwa peningkatan kasus sebagian besar didorong oleh jenis kegiatan tertentu, termasuk warga Texas yang berkumpul di bar," kata Abbott.

Sementara itu, kepala strategi global TD Securities, Bart Melek menjelaskan bahwa entimen risk-off baik untuk emas, tetapi eskalasi yang signifikan dalam kasus baru Covid-19 berpotensi menghambat reli emas, karena pada akhirnya semuanya kembali ke ekspektasi inflasi.

"Upaya harga emas untuk menembus ke USD 1.800-an terganggu oleh kekhawatiran virus baru, yang telah menghentikan kenaikan ekspektasi inflasi jangka panjang yang telah kita lihat selama beberapa sesi perdagangan terakhir," kata Malek.

 
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya