Liputan6.com, Jakarta - Anggota Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari fraksi Golkar M Sarmuji mengatakan pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja di DPR akan segera dibahas, salah satunya mengenai bonus pekerja yang akan dikaji lebih mendalam.
“Masalah pemberian bonus pekerja akan dibicarakan lebih dalam. Intinya melindungi hak pekerja tetapi juga tetap memperhatikan kemampuan perusahaan,” kata Sarmuji di Jakarta (30/6).
Seperti diketahui sebelumnya, DPR kembali melaksanakan Rapat Paripurna pembukaan masa persidangan IV yang digelar secara virtual pada 15 Juni 2020 dan menyoroti sejumlah RUU salah satunya RUU Cipta Kerja yang masuk dalam agenda strategis DPR RI.
Advertisement
Dalam pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, salah satu klausul yang masih menuai pro dan kontra saat ini adalah ketentuan mengenai bonus pekerja.
Pemberian bonus tersebut diatur dalam Pasal 92 Bab IV tentang Ketenagakerjaan. Klausul pada draft menyebutkan, perusahaan wajib memberikan bonus atau penghargaan sebesar lima kali upah kepada pekerja yang telah bekerja minimal 12 tahun.
Ketentuan ini dinilai sejumlah pihak akan sangat membebani biaya operasional perusahaan yang kini masih sangat terpukul akibat pandemi.
Sarmuji menambahkan dari sisi urgensi, RUU Cipta Kerja harus cepat diselesaikan tanpa menghilangkan aspek kecermatan.
“RUU ini dibutuhkan agar Indonesia punya landasan kokoh untuk melompat terutama pascapandemi yang telah mengakibatkan kemerosotan lapangan kerja dan meningkatkan pengangguran,” ungkapnya.
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Klausul RUU Omnibus Law
Sebelumnya, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Maulana Yusran meminta pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memperhatikan berbagai aspek saat menyusun klausul-klausul dalam RUU Omnibus Law Ciptaker. Dia berharap pembuat undang-undang juga memperhatikan aspirasi pelaku industri.
Menurut Maulana, salah satu yang membebani adalah ketentuan mengenai kewajiban perusahaan memberikan bonus hingga 5 kali upah bagi mereka yang telah bekerja minimal 12 tahun. PHRI menilai kewajiban ini akan memberikan beban operasional perusahaan yang sangat besar. Padahal, situasi bisnis saat ini dan ke depan masih akan sulit.
“Bonus pekerja yang dinilai sebagai pemanis (sweetener) ini arahnya ke mana? Dalam kondisi sekarang bisnis susah bersaing dan tumbuh di Indonesia karena adanya aturan upah minimum dan sebagainya,” ujar Maulana.
Seperti diketahui saat ini sektor industri di Indonesia terpukul akibat pandemi Coronavirus Diseases 2019 (COVID-19). Sejak pembatasan sosial berskala besar dilakukan di berbagai wilayah di Tanah Air, berbagai sektor industri proses produksinya tidak optimal, ditambah lagi permintaan konsumen tengah melemah Kondisi ini diprediksi tidak akan sepenuhnya bisa pulih apabila pandemi masih belum teratasi lewat obat maupun vaksin, sekalipun normal baru telah diterapkan.
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) sempat mengungkapkan data per 1 Mei bahwa jumlah pekerja sektor formal yang telah dirumahkan akibat pandemi Covid-19 sebanyak 1.032.960 orang.
Sementara pekerja sektor formal yang di-PHK sebanyak 375.165 orang, sedangkan pekerja sektor informal yang terdampak Covid-19 sebanyak 314.833 orang. Dengan demikian, total pekerja sektor formal dan informal yang terdampak Covid-19 sebanyak 1.722.958 orang.
Omnibus Law Cipta Kerja digadang-gadang sebagai solusi percepatan pemulihan ekonomi. Namun beban operasional yang muncul tanpa mengukur tingkat kesanggupan pihak yang terdampak akan memberikan beban operasional yang luar biasa. Akibatnya tujuan pembuatan kebijakan malah makin sulit tercapai bahkan dapat mengancam keberadaan lapangan pekerjaan yang ada saat ini.
Advertisement