UU Cipta Kerja Bawa Rupiah Menguat Meski Resesi di Depan Mata

Ditekennya Undang-Undang (UU) Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut andil pada penguatan nilai tukar rupiah.

oleh Maulandy Rizki Bayu Kencana diperbarui 03 Nov 2020, 16:48 WIB
Diterbitkan 03 Nov 2020, 16:45 WIB
FOTO: Bank Indonesia Yakin Rupiah Terus Menguat
Tumpukan mata uang Rupiah, Jakarta, Kamis (16/7/2020). Bank Indonesia mencatat nilai tukar Rupiah tetap terkendali sesuai dengan fundamental. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah di pasar spot pada Selasa, 3 November 2020 hari ini berhasil ditutup menguat di level Rp 14.585 per dollar Amerika Serikat (AS). Rupiah sukses menguat 0,38 persen dibanding penutupan Senin (2/11/2020) kemarin di level Rp 14.639 per dollar AS.

Direktur PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuaibi menilai, pergerakan inflasi di Indonesia pada Oktober 2020 lalu turut berperan pada penguatan rupiah.

Sebagai catatan, Badan Pusat Statistik (BPS) pada Oktober 2020 mengumumkan terjadi inflasi 0,07 persen secara bulanan (month to month). Capaian ini memutus rantai deflasi selama tiga bulan berturut-turut.

"Dengan kabar Inflasi di bulan Oktober tentunya menjadi kabar bagus. Artinya roda perekonomian sudah mulai berjalan kembali," kata Ibrahim, Selasa (3/11/2020).

Ibrahim mengatakan, penandatanganan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun turut andil pada penguatan ini. UU sapu jagat ini juga telah resmi diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM yaitu Yassona Laoly sebagai Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020.

Pemerintah pun mengklaim, UU Cipta Kerja ini akan menarik investasi masuk ke Indonesia. Sehingga nantinya akan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan jadi awal bagi kemajuan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

Menurut Ibrahim, informasi positif tersebut membuat pelaku pasar kembali optimistis terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Walaupun kuartal ketiga terjadi kontraksi dan Indonesia masuk fase resesi, namun modal asing kembali masuk ke pasar finansial. Apalagi di akhir tahun Bank Indonesia akan kembali menurunkan suku bunga sebesar 25 basis point menjadi 3,75 persen, dibarengi dengan penurunan suku bunga kredit," tuturnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:


Indonesia Resesi, Rizal Ramli Sebut Tim Ekonomi Jokowi Tak Punya Terobosan

Penyebab Resesi
Ilustrasi Grafik Pandemi Covid-19 Credit: pexels.com/MarkusSpiske

Ekonom senior Rizal Ramli turut mengomentari pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) tentang pertumbuhan ekonomi pada kuartal III 2020 yang diperkirakan masih negatif dan membuat Indonesia resmi terkena resesi. Menurutnya, itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan.

Pasalnya, sejak awal tim ekonomi tidak memiliki terobosan dalam membangkitkan perekonomian yang tengah terpuruk.

"Tidak ada surprise sudah diperkirakan sejak awal tahun 2020 karena kebijakan ekonomi super-konservatif dan neoliberal yang sudah gagal. Pertanyaan yang lebih penting, apa yang akan dilakukan Jokowi, mengulangi cara yang sama yang telah berulang gagal? Atau ubah strategi dan pecat Menteri Neoliberal dan KKN?" ujar Rizal Ramli dalam keterangannya, Selasa (3/11/2020).

Rizal sendiri telah menyatakan, perekonomian Indonesia sudah masuk dalam resesi sejak kuartal II tahun 2020. Penilaian Menko Ekuin pemerintahan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur itu didasarkan pada rumusan yang lazim di dunia internasional.

Menurutnya, hal itu tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2020 yang sebesar 2,97 persen sudah mengalami kontraksi 2 persen dibandingkan dengan kuartal IV 2019 yang tumbuh 4,97 persen.

"Kemudian pada kuartal II, pertumbuhan ekonomi lagi-lagi terkontraksi -5,32 persen atau minus 4,19 persen ketimbang kuartal I 2020. Kalau berdasarkan rumusan dunia internasional bila ekonomi terus merosot selama dua kuartal ya berarti resesi," tutur Rizal.

Terkait resesi, sambung Rizal Ramli, sebenarnya sejak tahun lalu sudah banyak indikator yang menunjukkan bahwa kondisi ekonomi di Indonesia melemah terlepas ada atau tidaknya pandemi Covid-19.

"Sejak satu setengah tahun yang lalu, kami sudah ingatkan bahwa ada indikator-indikator yang menunjukkan ekonomi Indonesia mengalami perlambatan baik secara makro eknomi dengan menggunakan indikator misalnya trade surplusnya makin mengecil," kata Rizal Ramli.

Indikator lain yang menunjukkan ekonomi Indonesia melemah adalah transaksi berjalan defisitnya semakin lebar. Kemudian primary balance yang negatif, artinya untuk bayar bunga bank saja Indonesia harus utang.

"Kalau primary balance-nya positif itu tidak, tapi kalau satu negara hanya untuk bayar utang juga mesti ngutang itu negatif primary balance-nya dan ini adalah faktor perlambatan ekonomi," ujar Rizal Ramli.


Tax Ratio

Kemudian, lanjut Rizal, tax ratio (penerimaan pajak dibanding PDB) sejak tahun lalu hanya 10 persen dan saat ini bahkan negatif. Ini menunjukkan otoritas fiskal tidak efektif.

"Karena doyannya nguber (mengejar) yang kecil-kecil doang, sama yang gede-gede tidak berani justru dikasih tax holiday dan pembebasan pajak 20 tahun, dan sebagainya," tuturnya.

Jadi, menurut Rizal, strategi Menteri Keuangan terbalik karena hanya fokus mengejar pajak kalangan menengah ke bawah atau yang kecil. Alhasil, tidak aneh jika penerimaan pajak menjadi kecil karena tidak fokus dengan yang besar.

"Sehingga sejak satu setangah tahun yang lalu, semua indikator makro Indonesia sudah merosot dan ekonomi akan melambat," tandas Rizal. 

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya