Sri Mulyani: Tepat Waktu untuk Membicarakan Climate Change Saat Ini

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjadi pembicara dalam Climate Change Challenge dengan tema Preparing for Indonesia's Green and Sustainable Future.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Jun 2021, 11:11 WIB
Diterbitkan 11 Jun 2021, 11:10 WIB
DPR Gelar Rapat Paripurna Bahas Kebijakan Fiskal RAPBN Tahun 2022
Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kanan) dan Menteri PPN/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa menghadiri Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/5/2021). (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjadi pembicara dalam Climate Change Challenge dengan tema Preparing for Indonesia's Green and Sustainable Future. Menurutnya, tema ini sangat penting di tengah pandemi Covid-19 yang menunjukkan pemulihan positif.

"Tema ini begitu sangat mengena dan sangat penting dan tepat waktu, meskipun demikian seperti yang dikatakan oleh Prof Ari (Rektor UI) bahwa kita juga pada saat yang sama sedang menghadapi sebuah tantangan Global yang nyata yaitu Covid-19," ujar Sri Mulyani, Jakarta, Jumat (11/6/2021).

Meski suatu prioritas, pembahasan climate change terhalang oleh Covid-19 yang menyedot seluruh perhatian negara di dunia. "Oleh karena itu seluruh sumber daya perhatian ekonomi politik kita atau policy secara umum ditujukan kepada bagaimana menangani sebuah tantangan yang luar biasa saat ini," katanya.

Sri Mulyani melanjutkan, perjalanan Covid-19 saat ini sudah menunjukkan pemulihan positif. Berbagai negara didunia secara perlahan mulai melakukan vaksinasi masyarakatnya, tidak hanya itu kepatuhan terhadap protokol kesehatan juga terus menerus ditingkatkan.

"Sampai hari ini diberbagai negara menunjukkan tanda-tanda yang positif yaitu mereka yang sudah berhasil melakukan vaksinasi dan pengendalian terus diupayakan. Negara yang melakukan ini maka ekonominya mulai tumbuh dan ekonominya mulai recover secara cepat," kata Sri Mulyani.

Berbeda dengan negara lain di dunia, Indonesia sendiri kinu mengalami peningkatan kasus. Hal tersebut menjadi satu kewaspadaan bagi pemerintah.

"Indonesia menunjukkan adanya gelombang kenaikan. Kita perlu melakukan kewaspadaaan yang cukup tinggi karena kita berharap sebetulnya 2021 ini dengan adanya vaksinasi dan tetap menerapkan protokol kesehatan, kita berharap pemulihan ekonomi rebound dan recovery yang berlanjit pada kuartal II dan kuartal selanjutnya," tandasnya.

 

Reporter: Anggun P. Situmorang

Sumber: Merdeka.com

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Seberapa Besar Kesadaran Anak Muda Indonesia pada Isu Krisis Iklim?

Ilustrasi Perubahan Iklim
Ilustrasi perubahan iklim. (dok. Unsplash.com/Lucas Marcomini/@lucasmarcomini)

Sebelumnya, problematika dampak krisis iklim kian hari tak luput dari sorotan berbagai pihak. Bertepatan dengan Hari Aksi Sedunia untuk Perubahan Iklim yang diperingati setiap 25 September, Yayasan Indonesia Cerah dan Change.org Indonesia merilis hasil survei daring terkait hal tersebut.

Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah Adhityani Putri menyebut, dalam kegiatan sebagai nirlaba yang memiliki agenda untuk mewartakan transisi energi dalam konteks perubahan iklim, pihaknya kerap dihadapkan dengan asumsi orang Indonesia tidak peduli krisis iklim. Berawal dari hal itu, Cerah ingin menggali lebih dalam lewat survei.

"Yang disurvei kelompok anak muda aktif dan ini bukan merupakan refleksi dari populasi Indonesia keseluruhan, tapi kami rasa ini modal yang baik karena anak muda aktif ini yang akan menjadi lokomotif dari apapun upaya yang ingin kita lakukan untuk menaikkan awareness soal pentingnya krisis iklim," kata Adhityani dalam konferensi pers daring, Jumat (25/9/2020).

Adhityani melanjutkan, ada lebih dari delapan ribu orang yang merespons survei yang berlangsung selama dua bulan dengan responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Yang paling banyak merespons adalah mereka yang berusia 21--30 tahun.

"88 persen menyatakan mereka sangat khawatir terhadap dampak-dampak krisis iklim. Ini merupakan angka yang menarik, berarti 88 persen dari 8 ribu itu cukup tinggi," lanjutnya.

Adapun persentase ini adalah gabungan antara mereka yang khawatir dan sangat khawatir akan dampak krisis iklim. Hanya 0,6 persen dari responden yang tidak khawatir dan ada satu persen yang tidak tahu atau tidak percaya, di mana berdasarkan jumlah responden ini berarti hanya lima orang yang tidak percaya.

"Karena berada di krisis Covid-19 yang mendominasi kehidupan kita, sekarang kita mencoba mengaitkan satu pertanyaan dengan Covid-19, karena banyak sekali narasi yang bermunculan yang berusaha menunjukkan Covid-19 ini ada kaitan dengan dampak manusia terhadap alam," jelas Adhityani.

Dikatakan dia, hasil survei menunjukkan 97 persen responden setuju dampak krisis iklim dapat lebih parah atau sama parahnya dengan dampak Covid-19. "Mayoritas warga muda aktif yaitu 65 persen merasa dampak krisis iklim lebih parah dari wabah Covid-19, sedangkan 32 persen lainnya merasa dampak krisis iklim setidaknya akan sama dengan dampak Covid-19," ungkapnya.

Terkait andil manusia dalam krisis iklim, disebutkan tiga dari lima yang disurvei berpendapat krisis iklim adalah ulah manusia. "Jadi sesuai dengan kesimpulan IPCC, ini menunjukkan pemahaman yang baik," katanya.

"Kami juga mencoba melihat dampak yang dikhawatirkan karena kita memberi pilihan banyak, sebenarnya kita hanya ingin menjaring dari semua pilih, apakah ada awareness krisis iklim punya dampak yang begitu banyak dan berdampak pada banyak sektor dan aspek kehidupan," tambahnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya