Lonjakan Kasus Covid-19, Anak Buah Menteri BUMN Erick Thohir WFH hingga 25 Juni 2021

Surat Edaran Nomor SE-12/S.MBU/06/2021 Tentang Kebijakan Menjalankan Tugas Kedinasan Dari Rumah di lingkungan Kementerian BUMN ditetapkan pada Rabu 16 Juni 2021.

oleh Liputan6.com diperbarui 18 Jun 2021, 10:55 WIB
Diterbitkan 18 Jun 2021, 10:55 WIB
20160725-Gedung Kementrian BUMN-AY
Gedung Kementrian BUMN. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir perintahkan kepada pegawai Kementerian BUMN untuk bekerja dari rumah atau Work From Home (WFH) mulai 17 Juni sampai 25 Juni 2021. Perintah ini  setelah melihat tren lonjakan kasus Covid-19.

"Terhitung mulai tanggal 17 Juni 2021 sampai dengan 25 Juni 2021, aktivitas kedinasan fisik di lingkungan Kementerian BUMN dibatasi dan seluruh pegawai diwajibkan untuk melakukan pekerjaan dari rumah (WFH)," demikian kutipan dari Surat Edaran Nomor SE-12/S.MBU/06/2021 Tentang Kebijakan Menjalankan Tugas Kedinasan Dari Rumah yang diterima di Jakarta, Jumat.

Kebijakan WFH kepada seluruh pegawai Kementerian BUMN tersebut sebagai langkah antisipasi peningkatan trend kasus positif Covid-19 di lingkungankementerian tersebut.

Kemudian instruksi WFH bagi seluruh pegawai Kementerian BUMN itu dalam rangka memprioritaskan kesehatan dan keselamatan pegawai, maka dipandang perlu untuk menetapkan kebijakan menjalankan WFH.

Maksud dan tujuan kebijakan WFH di lingkungan Kementerian BUMN tersebut untuk mengantisipasi dan menghambat peningkatan trend kasus positif COVID-19 di lingkungan Kementerian BUMN.

Di samping itu memberikan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan bagi pegawai di lingkungan Kementerian BUMN dan masyarakat dari risiko terpapar Covid-19.

Ruang lingkup SE tersebut juga memuat pengaturan kebijakan menjalankan tugas kedinasan dari rumah dengan tetap menjaga produktifitas kerja.

Surat Edaran Nomor SE-12/S.MBU/06/2021 Tentang Kebijakan Menjalankan Tugas Kedinasan Dari Rumah tersebut ditetapkan pada Rabu 16 Juni 2021 oleh Sekretaris Kementerian BUMN Susyanto.

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Kasus Baru COVID-19 di Indonesia Tembus 12.624, Pembatasan Sosial Mutlak Dilakukan

Antrean Ambulans di Wisma Atlet Imbas Melonjaknya Pasien COVID-19
Tenaga kesehatan berbincang saat menunggu antrean untuk mengantarkan pasien di RSD Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Kamis (10/6/2021). Kepala Penerangan Kogabwilhan I Kolonel Marinir Aris Mudian mengungkapkan, pasien rawat inap bertambah 405 orang dalam waktu 24 jam. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Sebelumnya, mengetahui kasus baru COVID-19 di Indonesia yang tembus 12.624 pada Kamis, 17 Juni 2021, pembatasan sosial menjadi hal mutlak yang diperlukan saat ini, kata Tjandra Yoga Aditama.

Menurut pria dengan gelar Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), kenaikan kasus harian COVID-19 di Indonesia perlu dikendalikan dan diturunkan secara maksimal, tidak cukup hanya optimal saja.

Pembatasan sosial bisa saja hanya amat terbatas atau sedikit lebih luas, bahkan dapat meluas sampai kepada lockdown total.  

"Yang pasti, dengan perkembangan sekarang, tidak mungkin lagi hanya meneruskan program yang sudah ada, sekarang harus ada peningkatan pembatasan sosial secara nyata dan jelas," kata Tjandra melalui pesan singkat yang diterima Health Liputan6.com, Jumat (18/6/2021).

Upaya selanjutnya, pelaksanaan tes dan telusur COVID-19 (test and tracing) harus ditingkatkan. Kedua hal ini, angka indikator targetnya jelas, hanya tinggal dipastikan pelaksanaannya di semua Kabupaten/Kota secara merata dengan komitmen yang jelas," dia menambahkan.

Kasus baru COVID-19 yang sudah tinggi, menurut Tjandra Yoga Aditama, perlu kesiapan fasilitas pelayanan kesehatan, baik di rumah sakit maupun pelayanan kesehatan primer.

"Yang disiapkan bukan hanya ruang isolasi dan ICU, alat dan obat, sarana dan prasarana lain, tetapi yang paling penting adalah SDM petugas kesehatan yang harus terjamin bekerja secara aman," lanjutnya.

"Tidaklah tepat kalau hanya menambah ruang rawat tanpa diiringi penambahan petugas kesehatan."

Selain itu, kepastian tersedianya data yang akurat dan selalu diperbarui. Analisa data juga harus dilakukan dengan dasar ilmu pengetahuan yang baik dan bijak.

"Hal ini sangat diperlukan agar penentu kebijakan publik dapat membuat keputusan yang berbasis bukti ilmiah yang tetap, evidence-based decision making process," imbuh Tjandra, yang pernah menjabat sebagai Direktur WHO SEARO.

 
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya