Pandemi Covid-19 Bakal Jadi Endemi, Simak Persiapan Kebijakan Sri Mulyani

Prediksi pandemi Covid-19 jadi endemi pada 2022 telah disepakati oleh 89 persen ilmuwan dan ahli virus dari 23 negara.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 18 Agu 2021, 17:30 WIB
Diterbitkan 18 Agu 2021, 17:30 WIB
Pemeriksaan Sampel Tes PCR Covid-19 di Labkesda DKI Jakarta
Tim medis melakukan pengujian sampel dengan metode PCR di laboratorium pemeriksaan Covid-19 di Labkesda DKI Jakarta, Selasa (4/8/2020). Labkesda DKI yang berjejaring dengan 47 lab se-Jakarta dalam sehari mampu menguji hampir 10.000 spesimen Covid-19 dengan metode PCR. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan, 2022 akan menjadi tahun berubahnya pandemi Covid-19 menjadi endemi. Pernyataan ini didukung pandangan dari berbagai ilmuwan serta Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO.

"Kita mungkin melihat di 2022 adalah masa dimana pandemi menjadi endemi. Jadi sekarang ini disiapkan langkah-langkah bagaimana Indonesia melakukan persiapan terhadap pandemi menuju endemi," kata Sri Mulyani dalam konferensi pers Nota Keuangan dan RUU APBN 2022, Senin 16 Agustus 2021.

Menurut Sri Mulyani, proyeksi tersebut sesuai dengan perkiraan dari berbagai ilmuwan dunia terkait situasi pandemi di masa depan. WHO pada 15 Juli 2021 juga telah mengungkapkan, terlepas dari berbagai upaya nasional dan global, pandemi Covid-19 belum usai.

"Ini yang harus kita siapkan, karena bapak Presiden (Jokowi) bilang kita harus melakukan respons kebijakan berdasarkan data, fakta, dan tentu dari pandangan ilmuwan," tuturnya.

Pemerintah disebutnya juga tengah melakukan berbagai persiapan untuk menghadapi endemi pada tahun depan. Salah satunya dalam penguatan program vaksinasi dan sistem kesehatan.

"Jadi menuju kebiasaan baru atau living with endemi, berarti vaksin tetap harus dan diakses seluas-luasnya, harus tetap disiplin kesehatan, implementasi tracing, tracing dan treatment, serta sistem kesehatan yang andal," imbuhnya. 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.


Harus Bersiap

Pemeriksaan Sampel Tes PCR Covid-19 di Labkesda DKI Jakarta
Tim medis mengenakan APD di ruang ganti sebelum memasuki laboratorium pemeriksaan Covid-19 di Labkesda DKI Jakarta, Selasa (4/8/2020). Labkesda DKI yang berjejaring dengan 47 lab se-Jakarta dalam sehari tercatat mampu menguji hampir 10.000 spesimen Covid-19 dengan metode PCR. (merdeka.com/Iqbal Nugr

Menimpali ucapan Sri Mulyani, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu menyampaikan, prediksi pandemi jadi endemi pada 2022 mendatang telah disepakati oleh 89 persen ilmuwan dan ahli virus dari 23 negara.

Oleh karenanya, Febrio meminta masyarakat mau tidak mau harus bersiap hidup berdampingan dengan endemi Covid-19 di tahun depan.

"Inilah kemudian yang harus kita antisipasi. Indonesia bersama dengan seluruh negara di dunia, kita harus melihat kemungkinan bahwa kita akan menuju ke kebiasaan baru. Katakanlah kita living with endemic," ujar Febrio dalam sesi bincang-bincang bersama wartawan, Rabu (18/8/2021).

Febrio menilai, dalam konteks ini mungkin tidak akan ada hal yang terlalu baru dibandingkan 2020/2021. Namun, ia mengingatkan agar pemerintah dan segenap komponen masyarakat benar-benar siap menghadapi pandemi yang berevolusi jadi endemi.

"Ini lah cara berpikir yang kemudian akan mewarnai masyarakat kita, perekonomian kita, dan juga dalam konteks saat ini kita berbicara soal budget, soal APBN kita," seru Febrio.

 


Persiapan APBN

Pemeriksaan Sampel Tes PCR Covid-19 di Labkesda DKI Jakarta
Tim medis menerima sampel Swab Test dari pihak Puskesmas di Laboratorium Kesehatan Daerah (Labkesda) DKI Jakarta, Selasa (4/8/2020). Labkesda DKI yang berjejaring dengan 47 lab se-Jakarta dalam sehari mampu menguji hampir 10.000 spesimen Covid-19 dengan metode PCR. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Sebagai persiapan, Febrio menambahkan, pemerintah telah merancang APBN 2022 agar antisipatif, responsif dan fleksibel sebagai instrumen pemulihan ekonomi dalam menghadapi berbagai ketidakpastian ke depan.

Meski ekonomi diprediksi membaik tahun depan, ia menekankan, pemerintah tetap akan terus berhati-hati terhadap risiko ketidakpastian yang masih tinggi, baik yang berasal dari tidak meratanya pemulihan ekonomi secara global maupun risiko ketidakpastian penanganan pandemi Covid-19.

"Hal ini tercermin dari kebijakan fiskal 2022 yang countercyclical untuk mendorong kesiapan sistem kesehatan, pemulihan ekonomi masyarakat dan melanjutkan reformasi struktural. Di saat yang sama, pemerintah akan mengendalikan risiko fiskal agar keberlanjutan fiskal jangka panjang tetap dapat dijaga," paparnya.

Selain itu, agenda reformasi struktural untuk peningkatan produktivitas, daya saing investasi dan ekspor, penciptaan lapangan kerja yang berkualitas, serta pemulihan ekonomi yang berkelanjutan terus dilakukan.

Hal ini telah dimulai dengan implementasi UU Cipta Kerja yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas SDM, pembangunan infrastruktur konektivitas dan untuk mendorong industrialisasi, serta penciptaan ekosistem hukum dan birokrasi yang kondusif bagi dunia usaha.

Dengan mempertimbangkan pemulihan dan reformasi struktural tersebut, asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN 2022 ditargetkan pada kisaran 5-5,5 persen.

Sementara itu, inflasi akan tetap dijaga pada tingkat 3 persen. Rupiah diperkirakan bergerak pada kisaran Rp14.350 per US Dollar, dan suku bunga Surat Utang Negara 10 tahun diperkirakan sekitar 6,82 persen. Harga minyak mentah Indonesia (ICP) diperkirakan akan berkisar pada USD 63 per barel. Lifting minyak dan gas bumi diperkirakan masing-masing mencapai 703.000 barel dan 1.036.000 barel setara minyak per hari.

Febrio menyatakan, APBN berperan sentral untuk melindungi keselamatan masyarakat sekaligus sebagai motor pengungkit pemulihan ekonomi. Ini tercermin dari enam fokus utama dalam kebijakan APBN 2022 seperti yang disampaikan pada pidato Presiden Joko Widodo (Jokowi), 16 Agustus 2021.

Pertama, melanjutkan upaya pengendalian Covid-19 dengan tetap memprioritaskan sektor kesehatan. Kedua, menjaga keberlanjutan program perlindungan sosial bagi masyarakat miskin dan rentan. Ketiga, memperkuat agenda peningkatan SDM yang unggul, berintegritas, dan berdaya saing.

Keempat, melanjutkan pembangunan infrastruktur dan meningkatkan kemampuan adaptasi teknologi. Kelima, penguatan desentralisasi fiskal untuk peningkatan dan pemerataan kesejahteraan antardaerah. Keenam, melanjutkan reformasi penganggaran dengan menerapkan zero-based budgeting untuk mendorong agar belanja lebih efisien, memperkuat sinergi pusat dan daerah, fokus terhadap program prioritas dan berbasis hasil, serta antisipatif terhadap kondisi ketidakpastian.

 


Alokasi Belanja Negara

Pemeriksaan Sampel Tes PCR Covid-19 di Labkesda DKI Jakarta
Sampel disimpan di lemari pendingin sebelum diuji di laboratorium pemeriksaan Covid-19 di Labkesda DKI Jakarta, Selasa (4/8/2020). Labkesda DKI yang berjejaring dengan 47 lab se-Jakarta dalam sehari tercatat mampu menguji hampir 10.000 spesimen Covid-19 dengan metode PCR. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Untuk menjalankan enam fokus kebijakan tersebut, alokasi belanja negara dalam RAPBN 2022 direncanakan sebesar Rp 2.708,7 triliun yang meliputi, belanja pemerintah pusat sebesar Rp1.938,3 triliun serta transfer ke daerah dan Dana Desa sebesar Rp 770,4 triliun.

Anggaran kesehatan direncanakan sebesar Rp 255,3 triliun atau 9,4 persen dari belanja negara. Sedangkan anggaran perlindungan sosial dan pendidikan masing-masing dialokasikan sebesar Rp 427,5 triliun dan Rp 541,7 triliun.

Selanjutnya, pembangunan infrastruktur dianggarkan Rp 384,8 triliun, dan anggaran transfer ke daerah dan dana desa sebesar Rp 770,4 triliun. Dari sisi penerimaan, pendapatan negara pada 2022 menjadi sebesar Rp 1.840,7 triliun, yang terdiri dari penerimaan perpajakan sebesar Rp 1.506,9 triliun dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 333,2 triliun.

Dengan komposisi belanja dan penerimaan tersebut, defisit anggaran pada 2022 nanti direncanakan sebesar 4,85 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau Rp 868,0 triliun.

"Rencana defisit tahun 2022 yang lebih kecil dari outlook 2021 memiliki arti penting sebagai langkah untuk mencapai konsolidasi fiskal, mengingat tahun 2023 defisit anggaran diharapkan dapat kembali ke disiplin fiskal yaitu defisit maksimal 3 persen PDB," terang Febrio.

Lanjutkan Membaca ↓

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya