Dihantui Krisis Listrik, China Diramal akan Sedot Lebih Banyak Batu Bara Dunia

Dilanda krisis listrik, China kemungkinan harus meningkatkan konsumsi batu bara di wilayahnya.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 19 Okt 2021, 19:20 WIB
Diterbitkan 19 Okt 2021, 19:20 WIB
FOTO: Corona Mereda, Kota Terlarang China Kembali Dibuka
Para pengunjung mengenakan masker saat berjalan di Kota Terlarang, Beijing, China, Jumat (1/5/2020). Kota Terlarang kembali dibuka setelah ditutup lebih dari tiga bulan karena pandemi virus corona COVID-19. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

Liputan6.com, Jakarta - Para analis mengatakan bahwa China kemungkinan harus mengesampingkan rencana ambisiusnya untuk mengurangi emisi karbon setidaknya dalam jangka pendek untuk mengatasi krisis listrik yang memburuk.

"Seperti pasar lain di Asia dan Eropa, China harus melakukan tindakan penyeimbangan antara kebutuhan mendesak untuk tetap menyalakan listrik — melalui lebih banyak batu bara — dan menunjukkan komitmennya terhadap target dekarbonisasi yang semakin ambisius,” kata Gavin Thompson, wakil ketua Asia-Pasifik di konsultan energi Wood Mackenzie, seperti dikutip dari CNBC, Selasa (19/10/2021).

"Tetapi realitas jangka pendek adalah bahwa China dan banyak negara lain tidak punya banyak pilihan selain meningkatkan konsumsi batu bara untuk memenuhi permintaan listrik," tulis Thompson dalam sebuah laporan.

Krisis pemadaman listrik dengan berbagai tingkat telah dilaporkan di 20 provinsi di seluruh China sejak pertengahan Agustus 2021.

Beberapa faktor berkontribusi terhadap krisis listrik di China, termasuk kekurangan pasokan batu bara, mandat pemerintah yang lebih keras untuk mengurangi emisi dan permintaan yang lebih besar dari produsen.

Krisis energi menyebabkan penghentian produksi di banyak pabrik di China - dan mendorong bank-bank besar untuk memangkas perkiraan PDB mereka untuk negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu.

Upaya Pengurangan Emisi Karbon di  China

Presiden China Xi Jinping mengumumkan pada 2020 jika emisi karbon negara itu akan mulai menurun pada 2030.

Kemudian akan mencapai netralitas karbon pada tahun 2060 yang menandai seimbangnya emisi karbon di China dengan menghilangkan jumlah yang setara dari atmosfer, menghasilkan nol bersih. 

Untuk memenuhi tujuan tersebut, China memperkenalkan kebijakan "kendali ganda" yang mengharuskan provinsi untuk membatasi penggunaan energi dan mengurangi intensitas energi - yang didefinisikan sebagai jumlah energi yang digunakan per unit PDB.

Pada pertengahan bulan Agustus, badan perencanaan ekonomi China mengumumkan bahwa 20 provinsi gagal memenuhi setidaknya satu dari dua target pada paruh pertama tahun 2021.

Bulan lalu, badan tersebut memperbarui kebijakan "kendali ganda" dengan langkah-langkah yang lebih ketat - dan sebagian berkontribusi pada pembagian kewenangan yang meluas di seluruh wilayah.

Menerapkan target tersebut secara ketat akan memangkas pertumbuhan ekonomi China antara 1 dan 3 poin persentase pada kuartal keempat tahun 2021 dan kuartal pertama tahun 2022, menurut perkiraan Barclays Research.

Jadi, otoritas China kemungkinan akan melonggarkan dua target tahun ini, kata para ekonom di Barclays.

"Dengan tiga bulan tersisa sebelum akhir tahun, kami pikir akan sangat sulit untuk mencapai target 'kendali ganda' tahun ini," tulis para ekonom tersebut dalam sebuah laporan.

"Kami pikir pemerintah China kemungkinan akan mengadopsi pendekatan yang lebih fleksibel terhadap targetnya terutama mengingat pertumbuhan yang sudah melambat dan potensi musim dingin yang lebih dingin dari biasanya," tambah mereka.

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

China Bakal Longgarkan Pembatasan Impor Batu Bara

FOTO: Corona Mereda, Kota Terlarang China Kembali Dibuka
Para pengunjung mengenakan masker saat mengunjungi Kota Terlarang, Beijing, China, Jumat (1/5/2020). Kota Terlarang kembali dibuka setelah ditutup lebih dari tiga bulan karena pandemi virus corona COVID-19. (AP Photo/Mark Schiefelbein)

China, yang merupakan salah satu penghasil karbon terbesar di dunia, sangat bergantung pada batu bara untuk pembangkit listrik.

Pada bulan Januari hingga Agustus tahun ini, batu bara menyumbang 62 persen dari total pembangkit listrik negara itu, menurut perkiraan Barclays.

Jumlah itu diikuti oleh tenaga air sebesar 14 persen, serta gas dan minyak nasional sebesar 10 persen, kata bank Inggris tersebut.

Pejabat pemerintah China dilaporkan telah mendesak perusahaan energi milik negara agar mengamankan pasokan energi untuk musim dingin dengan segala cara.

Langkah tersebut kemungkinan termasuk pelonggaran pembatasan impor batu bara dari Australia, menurut beberapa analis.

"Larangan impor batu bara dari Australia ... telah memperburuk kekurangan batu bara domestik," kata ekonom di Barclays.

Australia adalah pemasok batu bara utama China pada 2019 dan menyumbang 39 persen dari total impor batu bara ke negara itu, kata bank tersebut.

Barclays memperkirakan China "meningkatkan secara substansial" impor batu baranya pada kuartal keempat, terutama dari negara-negara pengekspor batu bara utama.

China berhenti membeli batu bara dari Australia tahun lalu. Hubungan bilateral antara kedua negara memburuk setelah Australia mendukung seruan untuk penyelidikan internasional terhadap penanganan COVID-19 di China.

Dalam beberapa pekan terakhir, China telah mulai melepaskan impor batu bara dari Australia yang terdampar di pelabuhannya karena larangan impor, menurut laporan kantor berita Reuters.

Sekitar satu juta ton batu bara Australia telah disimpan di gudang di sepanjang pantai China, menurut kantor berita itu.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya