HEADLINE: Garuda Indonesia di Jurang Kebangkrutan, Strategi Penyelamatannya?

Garuda Indonesia menjadi salah satu maskapai di dunia yang nasibnya kini di ujung tanduk.

oleh Maulandy Rizky Bayu KencanaArief Rahman HTira SantiaNatasha Khairunisa Amani diperbarui 11 Nov 2021, 14:04 WIB
Diterbitkan 11 Nov 2021, 00:03 WIB
Pesawat Airbus A330 Garuda Indonesia
Pesawat Airbus A330 Garuda Indonesia mendarat di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda di Blang Bintang, Provinsi Aceh pada 13 Juli 2021. (CHAIDEER MAHYUDDIN / AFP)

Liputan6.com, Jakarta Siapa yang tak kenal Garuda Indonesia, maskapai first class andalan Indonesia. Terbaru, maskapai ini membawa terbang Presiden Joko Widodo (Jokowi) ke tiga negara yakni Italia, Inggris Raya, dan Persatuan Emirat Arab untuk menunaikan tugas negara.

Dulu, bukan sembarang orang bisa naik Garuda Indonesia. Hanya mereka yang berduit. Imej ini pun masih melekat hingga sekarang di masyarakat.

Tidak hanya imej di masyarakat, bagi para pekerja di lingkungan maskapai penerbangan pun juga demikian. Bekerja di Garuda Indonesia, telah jadi impian para flight attendant.

Besarnya penghasilan pilot hingga pegawai lain yang di atas rata-rata perusahaan sejenis jadi magnet Garuda Indonesia jadi incaran.

Garuda Indonesia bahkan terus dinobatkan sebagai maskapai bintang 5 dari Skytrax. Di dunia, hanya ada 9 maskapai yang memiliki predikat itu.

Maskapai tersebut yaitu All Nippon Airways (ANA), Asiana Airlines, Cathay Pasific, Hainan Airlines, Qatar Airways, Singapore Airlines, Lufthansa, EVA Air dan Garuda Indonesia.

Sayangnya itu Garuda Indonesia yang dulu. Sekarang, maskapai ini masuk dalam deretan maskapai di dunia yang nasibnya diujung tanduk.

Bagaimana tidak, maskapai berkode emiten GIAA mencatatkan rugi sebesar USD 1,33 miliar atau sekitar Rp 18,95 triliun (kurs Rp 14.249 per USD) hingga kuartal III 2021.

Rugi ini jauh lebih baik dibandingkan posisi per akhir Desember 2020 yang tercatat minus USD 2,5 miliar atau sekitar Rp 35,62 triliun.

Sayangnya, jika dibandingkan dengan periode sama tahun lalu, kerugian Garuda Indonesia bertambah dari USD 1,07 miliar atau sekitar Rp 15,24 triliun per September 2020.

Hingga September 2021, Garuda Indonesia mencatatkan total pendapatan sebesar USD 568 juta atau sekitar Rp 8,09 triliun. Turun dari pendapatan periode sama pada 2020 sebesar USD 1,13 miliar.

Pada periode yang sama, total ekuitas mencapai USD 2,83 miliar. Liabilitas tercatat sebesar USD 9,76 miliar. Lebih besar dibandingkan aset Perseroan hingga September 2021 yang hanya sebesar USD 6,93 miliar.

"Neraca Garuda sekarang mengalami negatif ekuitas USD 2,8 miliar, ini rekor. Dulu rekornya dipegang Asuransi Jiwasraya, sekarang sudah disalip Garuda," kata Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI.

Ia mengatakan, drop-nya tingkat neraca keuangan Garuda Indonesia disebabkan juga oleh adanya PSAK 73 yang dilakukan perusahaan pada 2020-2021. Ini yang menyebabkan dampak penurunan ekuitas semakin dalam, karena pengakuan utang masa depan lessor.

"Dalam kondisi ini dalam istilah perbankan sudah technically bankrupt, tapi legally belum, ini yang sekarang saat ini kita sedang upayakan gimana keluar dari posisi ini," kata Tiko.

Anggapan bangkrut tersebut, karena secara praktik sebagian kewajiban Garuda Indonesia sudah tak dibayar, bahkan ia menyebut gaji pun sudah sebagian ditahan.

"Jadi kita harus pahami bersama situasi Garuda sebenarnya secara technical sudah mengalami bangkrut. Karena kewajiban-kewajiban jangka panjangnya sudah tidak ada yang dibayarkan, termasuk global sukuk, termasuk himbara dan sebagainya," jelas dia.

Progres Restrukturisasi

Direktur Utama Garuda Indonesia, Irfan Setiaputra mengungkapkan, selain berbagai masalah yang sudah disebutkan Tiko, ada masalah internal mendasar yang juga menjadi pemicu Garuda Indonesia berada di ujung tanduk. Hal itu adalah gengsi.

“Yang bikin masalah adalah ada excitement yang berlebihan. Gaya-gayaan, kalau istilah Pak Erick (Menteri BUMN) untuk terbang ke tempat-tempat yang gak jelas keuntungannya,” kata dia dalam rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI.

Tingginya gengsi, ditambah badai pandemi Covid-19, belum lagi masalah korupsi, membuat Garuda Indonesia tak lagi segagah dulu.

Irfan mengatakan, saat ini pihaknya tengah melakukan proses restrukturisasi. Diakuinya, proses ini akan memakan waktu yang cukup panjang, mengingat ada 800 lessor yang harus dihadapi.

"Dari awal kami menyadari bakal panjang. Bukan berarti ribet, tapi bakal panjang karena ada 800 kreditur yang kita harus hadapi. Dan kita menyadari paling sulit adalah lessor,” ungkap Irfan.

Irfan mengaku, Perseroan telah negosiasi sejak tahun lalu dengan asumsi pandemi akan cepat selesai. Namun, kenyataannya berbeda, pandemi belum usai dan maskapai pelat merah itu belum bisa beroperasi secara maksimal. Sehingga meskipun sudah diturunkan biaya sewanya, Garuda Indonesia tetap tidak mampu mengeksekusinya.

"Kita belum bisa eksekusi karena memang jumlah trafik tidak sampai ke kondisi sebelum pandemi. Inilah yang membuat persoalan jadi berkepanjangan,” kata Irfan.

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan

Gaung Opsi Penyelamatan

Desain masker baru pesawat Garuda Indonesia pada armada B737-800 NG
Desain masker baru pesawat Garuda Indonesia pada armada B737-800 NG (dok: GIA)

Menteri BUMN Erick Thohir terlihat juga tidak mau berdiam diri. Dia memastikan meski upaya restrukturisasi masih terus berjalan, pihaknya masih membuka opsi-opsi lain untuk menyelamatkan Garuda Indonesia.

"Upaya restrukturisasi terus berjalan. Negosiasi utang-utang Garuda yang mencapai USD 7 miliar karena leasing cost termahal yang mencapai 26 persen dan juga korupsi lagi dinegosiasikan dengan para lessor. Meski demikian, kita tetap berusaha membuka opsi-opsi lain, paling tidak, agar bisa membantu pemulihan Garuda," jelas dia, Kamis (4/11/2021).

Adapun beberapa opsi penyelamatan maskapai ini yang sempat mencuat antara lain. Pertama, pemerintah akan terus mendukung Garuda Indonesia melalui pemberian pinjaman dan suntikan ekuitas. Hal ini mencontoh Singapore Airlines, Cathay Pacific, dan Air China.

Meski demikian opsi ini memiliki catatan antara lain, berpotensi meninggalkan Garuda Indonesia dengan utang warisan yang besar akan membuat situasi yang menantang di masa depan.

Kedua, menggunakan hukum perlindungan kebangkrutan untuk merestrukturisasi Garuda Indonesia. Menggunakan legal bankruptcy process untuk merestrukturisasi kewajiban seperti utang, sewa, kontrak kerja.

Opsi yurisdiksi yang akan digunakan: US Chapter 11, foreign jurisdiction lain, dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Contohnya antara lain LATAM, Malaysia Airlines dan Thai. Namun, catatan dari opsi ini adalah tidak jelas apakah undang-undang kepailitan Indonesia mengizinkan restrukturisasi.

Opsi ketiga, merestrukturisasi Garuda Indonesia dan mendirikan perusahaan maskapai nasional baru. Garuda Indonesia dibiarkan melakukan restrukturisasi.

Di saat bersamaan, mulai mendirikan perusahaan maskapai domestik baru yang akan mengambil alih sebagian besar rute domestik Garuda dan menjadi national carrier di pasar domestik.

Contoh yang memakai opsi ini Sabena dan Swissair. Namun, catatan pada opsi ini dieksplorasi lebih lanjut opsi tambahan agar Indonesia tetap memiliki nasional flag carrier. Perkiraan modal dibutuhkan USD 1,2 miliar.

Opsi keempat, Garuda Indonesia dilikuidasi dan sektor swasta dibiarkan untuk mengisi kekosongan. Mendorong sektor swasta untuk meningkatkan layanan udara, misalkan dengan pajak bandara/subsidi rute yang lebih rendah.

Maskapai yang memakai opsi ini VARIG dan Malev. Meski demikian, catatan untuk opsi ini Indonesia tidak lagi memiliki national flag carrier.

Dari sekian pilihan, Kementerian BUMN dan Direksi Garuda Indonesia tengah menajalankan opsi restrukturisasi. Saat ini langkah tersebut paling masuk akal dan butuh waktu yang paling singkat.

Meski demikian, ada beberapa skenario terburuk yang sudah disiapkan jika restrukturisasi ini gagal, seperti salah satunya menutup Garuda Indonesia, dan mengembangkan Pelita Air sebagai National Flag Carrier.

Hal inipun mendapat pujian dari Mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan. “Menteri BUMN memang cerdas: memilih Pelita sebagai pengganti Garuda Indonesia, kalau memang diperlukan, mungkin itu tidak perlu,” tulisnya, mengutip disway.id.

Dahlan kemudian menyebutkan bahwa dengan menjadikan Pelita Air sebagai pengganti Garuda Indonesia persoalan manajemen akan menjadi lebih mudah karena tak memiliki beban masa lalu.

“Saat ini Pelita masih sangat langsing, bisa cari pesawat yang lebih murah, bisa cari tenaga yang lebih selektif, asal penyakit lama Garuda tidak terulang di Pelita,” kata Dahlan.

Hanya saja, penggantian Garuda Indonesia dengan Pelita Air ini dinilai tak akan mudah. Seperti yang diungkapkan Pengamat penerbangan Arista Atmadjati.

“Posisi Garuda Indonesia tidak mudah digantikan dengan Pelita Air. Hal tersebut lantaran Garuda Indonesia memiliki sarana prasarana yang sangat besar termasuk jumlah pesawat dan rute yang dilayani yang tidak sebanding dengan Pelita Air saat ini,” katanya.

Dengan adanya tantangan yang meliputi tersebut, ia menaksir proses penggantian untuk bisa sampai pada level Garuda Indonesia saat ini perlu waktu yang tidak sebentar.

“Kemudian Pelita Air juga belum memiliki citra perusahaan (branding) sebaik maskapai Garuda Indonesia. Perlu waktu bertahun tahun untuk mendatangkan pesawat maupun mengembangkan rute penerbangan internasional. Selain itu, terkait citra dan branding, hal tersebut juga bukanlah hal yang mudah,” katanya.

Minta Modal Negara dan Opsi Jual Saham

Wakil Menteri BUMN II, Kartika Wirjoatmodjo mengatakan saat ini ia akan negosiasi dengan Kementerian Keuangan untuk mencairkan dana Rp 7,5 Triliun.

Dana untuk suntikan modal ke Garuda Indonesia ini bersumber dari dana investasi pemerintah dalam rangka pemulihan ekonomi nasional (IP-PEN) tahun 2020 yang disiapkan untuk maskapai pelat merah itu.

“Dari yang disampaikan pada beberapa rapat yang lalu, sebenarnya masih ada program IP PEN sebesar RP 7,5 triliun yang masih ada di rekening sementara di Kementerian Keuangan. Dulu kan di awal 2020 itu sebesar RP 8,5 triliun yang sempat cair Rp 1 triliun,” katanya dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Selasa (9/11/2021).

Namun, ia mengatakan, pencairan dalam bentuk obligasi wajib konversi (OWK) itu tidak lagi cair karena Garuda Indonesia tak lagi bisa memenuhi parameter yang dibuat pemerintah.

“Ini kita negosiasi dengan Kemenkeu, pokoknya Rp 7,5 triliun ini bisa nego parameternya dan skemanya. Sebab kalau menggunakan parameter dan skema yang tahun 2020 itu gak ketemu sama sekali,” katanya.

“Ini kami sedang nego bagaimana bisa manfaatkan rekening IP-PEN yg sudah di disburse (disbursement) tapi belum dimanfaatkan, namun tentunya dengan skema dan dengan KPI yang berbeda. Ini tentunya kami mohon dukungan,” tambanya.

Dalam proses restrukturisasi yang tengah dijalankan, Tiko juga membuka kemungkinan untuk pemegang saham baru terhadap Garuda Indonesia. Syaratnya, restrukturisasi sukses.

"Kami memang membuka opsi apabila restrukturisasi berhasil dan kewajibannya turun untuk adanya pemegang saham baru," kata dia.

Tiko memohon dukungan dari Komisi VI mengenai rencana tersebut. "Apabila ada pemegang saham baru, apakah kita diperbolehkan lakukan dilusi dari pemerintah tidak akan jadi mayoritas lagi di Garuda ke depannya,” tutur dia.

 

Suara Dukungan Garuda Indonesia Bangkit

Garuda Indonesia meluncurkan livery khusus yang menampilkan visual masker pada bagian depan (hidung) pesawat Airbus A330-900 Neo yang merupakan livery masker pesawat pertama yang ada di Indonesia.
Garuda Indonesia meluncurkan livery khusus yang menampilkan visual masker pada bagian depan (hidung) pesawat Airbus A330-900 Neo yang merupakan livery masker pesawat pertama yang ada di Indonesia.

Permasalahan yang sedang dialami Garuda Indonesia ini ternyata mengundang rasa simpatik para pejabat negara. Mereka bahkan menyatakan siap mendukung apapun demi Garuda Indonesia tetap terbang.

Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto meminta kadernya untuk bisa menyelamatkan nasib PT Garuda Indonesia (Persero). Hal itu disampaikan oleh Sekjennya Ahmad Muzani saat menghadiri Rakorda Gerindra Sumatera Selatan Minggu 31 Oktober di Palembang.

Menurut dia, Prabowo meminta agar Garuda Indonesia tidak bangkrut dan tetap bertahan sebagai maskapai penerbangan kebanggaan negara.

"Utang Garuda diprediksi kurang lebih Rp 70 triliun dan diperkirakan perusahaan yang dibanggakan ini akan bangkrut. Saya kemarin mendapat pesan dari Pak Prabowo, agar Gerindra tidak boleh diam mengahadapi ancaman ini. Kami dititipi untuk melakukan semua cara guna menyelamatkan Garuda agar perusahaan ini tetap selamat dari kebangkrutan sebagai perusahaan negara," kata Muzani dalam keterangannya.

Menurut dia, Garuda Indonesia salah satu perusahaan penerbangan yang membanggakan, mempersatukan wilayah Indonesia, memiliki sejarah bersamaan dengan perjuangan bangsa dan dibangun atas dasar kegotongroyongan dari sumbangan rakyat Aceh, sehingga wajib diselamatkan.

"Gerindra akan melakukan semua tindakan yang dibutuhkan pemerintah untuk menyelamatkannya. Kalau perlu anggota parlemen Gerindra di semua tingkatan songkongan untuk itu. Meskipun hal itu bukan jalan keluar," jelas Muzani.

Di kesempatan terpisah, Wakil Ketua DPR RI, Abdul Muhaimin Iskandar sepakat jika ada anggota dewan yang mengusulkan pembentukan Panitia Kerja (Panja) atau Panitia Khusus (Pansus) untuk mencari solusi penyelamatan PT Garuda Indonesia Tbk.

“Saya sangat setuju DPR untuk mengambil langkah cepat, efektif, dan tepat sasaran untuk membersihkan Garuda, menyelamatkan Garuda,” ujar Gus Muhaimin.

Meski terbilang cukup terlambat menangani permasalahan Garuda, namun Muhaimin Iskandar mendesak untuk menyelamatkan aset-asetnya terlebih dahulu. “Yang kedua, follow up dari ancaman pailit. Pailitnya sudah di depan mata,” tegas Politisi PKB tersebut.

Hal senada juga diungkapkan Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Sandiaga Uno yang mengatakan Garuda Indonesia perlu diselamatkan dengan cara apapun. Menurutnya, maskapai pelat merah itu harus bisa bangkit dari kondisinya saat ini.

Mengutip unggahan Instagram pribadinya, @sandiuno, ia juga mengatakan bahwa banyak lapangan kerja yang bergantung pada Garuda Indonesia. Hal itu ia sampaikan pada Weekly Press Briefing Kemenparekraf.

“Bagaimanapun @garuda.Indonesia harus kita selamatkan, banyak LAPANGAN KERJA yang bergantung di sini. Garuda adalah National Flag Carrier, kebanggaan bagi Bangsa Indonesia!,” tulisnya.

Ia mengaku optimistis upaya penyelamatan melalui restrukturisasi bisa terwujud. Hal itu, kata Sandi, seiring dengan pulihnya penerbangan domestik maupun internasional dan juga kondisi pandemi yang mulai terkendali.

 

Sulit Diselamatkan?

Seragam Pramugari Garuda Indonesia
Seragam Pramugari Garuda Indonesia rancangan Anne Avantie (Dok. Anne Avantie)

Ekonom yang menjabat sebagai Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira mengatakan, dengan beban utang yang terlalu besar, Garuda Indonesia sulit untuk diselamatkan. Menurutnya, biaya restrukturisasi dalam rangka penyelamatan Garuda Indonesia terlalu mahal.

"Sudah tidak bisa diselamatkan ya karena sangat kronis masalah Garuda ini. Sebaiknya force closure saja, full pelepasan saham pemerintah dan masuk proses pengajuan pailit sehingga sisa aset bisa digunakan untuk pembayaran ke kreditur," kata Bhima kepada Liputan6.com, Rabu (10/11/2021).

Bhima menyarankan, pemerintah baiknya memulai lagi bisnis penerbangan dengan model bisnis yang berbeda, brand yang berbeda sebagai fresh start.

"Misalnya fokus untuk logistik dan rute domestik dengan kapasitas pesawat yang lebih kecil. Jadi ada fresh start yang baik," jelasnya.

Bhima menyebutkan, menyelamatkan bisnis Garuda membutuhkan biaya yang terlalu mahal, juga jumlah utang yang terlalu besar.

"Jumlah utang yang jatuh tempo terlalu besar untuk diselamatkan karena mencapai Rp 100 triliun dan terus bertambah, jika dilanjutkan negosiasi belum tentu menyelesaikan permasalahan," kata Bhima.

"Problemnya terletak pada beban operasional Garuda yang terlalu gemuk," sebutnya.

Bhima mengutip data Bloomberg, yang menunjukkan bahwa porsi sewa pesawat dibanding pendapatan Garuda mencapai 24,3 persen - jauh diatas rata rata maskapai di negara lain yang berkisar 5-8 persen.

"Alhasil opsi bailout jelas merugikan keuangan negara. Belum tentu bisa comeback dengan dividen yang besar, tapi negara harus keluar dana yang sangat besar. Itu jelas sulit sekali, terlebih pemerintah perlu alokasi dana lain yang lebih urgen di tahun 2022," papar Bhima.

Pengamat Investasi Global dan Pasar Modal Edhi Pranasidhi menegaskan, pemerintah wajib menyelamatkan Garuda Indonesia.

Pasalnya, selain sebagai maskapai penerbangan flag carrier yang menjadi salah satu identitas Indonesia di kancah internasional, mayoritas kepemilikan saham Garuda juga dikuasai oleh negara, dengan porsi lebih dari 60 persen.

Jika Garuda dibiarkan bangkrut, lanjut Edhi, salah satu kerugiannya adalah bisa menghilangkan kepercayaan investor asing kepada pemerintah Indonesia.

Karena, kreditur dan lessor Garuda itu berinvestasi di Indonesia. Bila kepercayaan investor hilang, ke depannya akan menambah country risk investment bagi Indonesia.

Jadi, risiko berinvestasi di Indonesia bisa meningkat di mata investor asing. Selain itu, akan menimbulkan multiplier effect kepada industri di dalam negeri. Sebab, Garuda bukan hanya punya utang kepada lessor (prinsipal sewa pesawat), tapi juga ke sejumlah BUMN.

Keyakinan Karyawan

Ketua Harian Serikat Karyawan Garuda Indonesia Tomy Tampatty optimistis maskapai Garuda Indonesia bisa pulih kembali meski kini terlilit utang super besar. Keyakinan itu bakal menguat jika perseroan berhasil melakukan restrukturisasi utang dengan baik.

"Kami optimis. Kalau memang restrukturisasi itu terlaksana dengan baik, dan yang mengelola Garuda itu memahami potensi bisnis yang ada, dalam hal ini para direksi, kami optimis Garuda akan berangsur-angsur membaik ke depan," ujarnya kepada Liputan6.com, Rabu (10/11/2021).

Tomy lantas mengambil contoh Singapore Airlines yang berdarah-darah akibat terhantam pandemi Covid-19. Namun, Pemerintah Negeri Singa tidak gentar memberikan asupan kepada maskapai dengan kode IATA SQ tersebut.

"Singapura saja begitu pede memperbaiki, mem-build up semua utang SQ. Mereka saja enggak ada kepulauan, penduduknya tidak banyak, mobile-nya tidak seperti kita, full concern hanya di internasional, tapi pemerintahnya mendukung," ungkapnya.

Begitu pun dengan Garuda Indonesia, yang menurutnya bakal bisa kembali sehat jika ditopang secara moril dan dana oleh pemerintah.

"Satu kuncinya, restrukturisasi terkait dengan utang ini, kami dari awal konsisten meminta pemerintah harus menjamin utang itu. Dalam hal negosiasi itu akan mempertinggi posisi Garuda di mata lessor," tegas Tomy.

Berikutnya, ia pun meminta publik tidak terlalu terpaku pada utang Garuda Indonesia yang disebutnya jadi beban masa lalu. Dalam kasus ini, Tomy menyatakan pemerintah pun turut terlibat di dalamnya.

"Maka dari itu, sudah sewajarnya pemerintah harus ikut membantu menyelesaikan permasalahan Garuda sekarang ini, baik dari dampak pandemi Covid-19 maupun beban masa lalu utang," ujar Tomy.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya