Duh, Negara Berpotensi Kehilangan Rp 53 Triliun Gara-Gara Ini

Estimasi potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal adalah sebesar Rp 53,18 triliun

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Apr 2022, 10:19 WIB
Diterbitkan 04 Apr 2022, 10:15 WIB
Ilustrasi Anggaran Belanja Negara (APBN)
Ilustrasi Anggaran Belanja Negara (APBN)

Liputan6.com, Jakarta Kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 12 persen pada 2022 dinilai cukup eksesif dan sangat memberatkan kelangsungan usaha industri hasil tembakau (IHT) legal di tanah air. Akibatnya, peredaran rokok ilegal dinilai kian marak dan berpotensi membuat penerimaan negara hilang.

Sebelumnya pada tahun 2020, saat awal pandemi Covid-19, Pemerintah menaikan CHT rata-rata 23 persen, Harga Jual Eceran (HJE) naik 35 persen. Kemudian, tahun 2021 di masa pandemi Covid-19, CHT naik rata-rata 12,5 persen.

Ketua umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan, menegaskan kenaikan tarif cukai yang sangat eksesif secara berturut-turut menyebabkan disparitas harga rokok legal dibanding rokok ilegal makin lebar.

Hal ini sebagaimana hasil kajian lembaga riset Indodata tahun 2021, dimana dinyatakan bahwa peredaran rokok ilegal mencapai 26,30 persen, atau estimasi potensi besaran pendapatan negara yang hilang akibat peredaran rokok ilegal adalah sebesar Rp 53,18 triliun.

Menurut Henry Najoan, kebijakan cukai yang sangat eksesif selama 3 tahun ini, tidak selaras dengan kebijakan pembinaan industri hasil tembakau nasional yang berorientasi menjaga lapangan kerja, memberikan nafkah petani tembakau, dan menjaga kelangsungan investasi.

“Implikasi kebijakan cukai yang sudah berlangsung 3 tahun berturut-turut ini berdampak negatif bagi kelangsungan industri rokok yang legal, potensi PHK tenaga kerja, petani tembakau, dan bahkan kesehatan yang dijadikan  tirani oleh kebijakan cukai,” jelas Henry Najoan dikutip Senin (4/4/2022).

Kondisi IHT yang sangat tidak baik ini, menurut Henry, memerlukan keseimbangan dari Pemerintah dalam memandang industri ini. Semestinya, perlakuan yang diberikan atas industri hasil tembakau itu bukan dilarang, melainkan dengan edukasi. Ia juga mendorong Pemerintah terus menindak rokok ilegal secara extraordinary.

Selain itu, Pemerintah juga perlu membuat roadmap industri hasil tembakau yang berkeadilan dan komprehensif bagi para pemangku kepentingan.

“Kami memandang perlu arah kebijakan cukai hasil tembakau yang memberikan kepastian iklim usaha yang sehat demi kelangsungan industri hasil tembakau nasional,” kata Henry Najoan. 

 

 

* Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Kenaikan Cukai

FOTO: Uang Beredar pada November 2020 Capai Rp 6.817,5 Triliun
Petugas menata tumpukan uang di Cash Pooling Bank Mandiri, Jakarta, Rabu (20/1/2021). BI mencatat likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) tetap tinggi pada November 2020 dengan didukung komponen uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang kuasi. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Anggota Komisi XI DPR-RI, Andreas Eddy Susetyo, mengatakan kenaikan cukai hasil tembakau 12 persen diyakini akan memberatkan kelangsungan IHT. Pasalnya, laju industri rokok terus melambat dalam dua tahun terakhir.

Legislator PDI Perjuangan ini mengingatkan agar Pemerintah jangan hanya memikirkan soal penerimaan negara saja, tetapi harus memperhatikan nasib tenaga kerja yang terlibat di dalam industri tembakau. Karena industri ini melibatkan tenaga kerja yang sangat besar. Ada sekitar 6 juta orang yang terlibat di dalam rantai industri tembakau.

“Jangan bergantung pada industri rokok. Di sini pentingnya sebuah roadmap industri rokok, perlu sebuah kesepakatan yang dapat dijadikan pegangan,” ujarnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya