Liputan6.com, Jakarta - Nilai Yuan China merosot ke level terendah dalam dua tahun menyusul pernyataan Ketua Federal Reserve (The Fed) Jerome Powell terkait situasi inflasi di Amerika Serikat.Â
Dilansir dari CNN Business, Selasa (30/8/2022) yuan menyusut sekitar 0,5 persen terhadap dolar pada Senin (29/8) dalam perdagangan di luar China.Â
Baca Juga
Yuan kini diperdagangkan 6,9277 terhadap dolar AS, menandai level terendah sejak Agustus 2020. "Kekuatan dolar AS yang luas kemungkinan akan tetap didukung oleh pesan The Fed yang hawkish dan perbedaan pertumbuhan yang mendukung dolar AS," kata analis Citi dalam sebuah catatan kepada klien.Â
Advertisement
Analis Citi menambahkan, pelemahan yuan yang terjadi baru-baru ini juga didorong oleh"data ekonomi dan penurunan suku bunga yang lebih buruk dari perkiraan.
Saham di Asia juga merosot setelah pernyataan Powell. Nikkei 225 (N225) Jepang turun 2,7 persen, Kospi Korea (KOSPI) turun 2,1 persen, dan Hang Seng (HSI) Hong Kong turun 0,8 persen. Adapun saham Shanghai Composite (SHCOMP) di China yang juga turun 0,1 persen.
Sementara The Fed telah menyatakan perang terhadap inflasi dan terus menaikkan suku bunga, otoritas China memprioritaskan pencegahan resesi dan memangkas suku bunga secara agresif.
Awal bulan ini, People's Bank of China secara tak terduga memangkas suku bunga, setelah data baru menunjukkan adanya kekurangan tenaga kerja bulan lalu karena lockdown Covid-19 dan penurunan drastis di sektor properti.
Analis juga khawatir pada dampak gelombang panas dan kekeringan di China terhadap pertumbuhan negara ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Beberapa perusahaan internasional, salah satunya Tesla dan Toyota, telah menghadapi gangguan di pabrik karena pemadaman listrik di sana.
Bos The Fed Blak-blakan, Akui Inflasi AS Sulit Diredam
Ketua Federal Reserve Jerome Powell mengungkapkan bahwa upaya meredam inflasi di Amerika Serikat tidak akan cepat atau mudah.Â
Dalam pidato tahunan di Jackson Hole Economic Symposium, Powell menyebut, upaya meredam inflasi AS kemungkinan akan mengakibatkan beberapa pelemahan ekonomi dan pasar kerja.
"Sementara suku bunga yang lebih tinggi, pertumbuhan yang lebih lambat, dan kondisi pasar tenaga kerja yang lebih lemah akan menurunkan inflasi, hal itu juga akan membawa penderitaan bagi rumah tangga dan bisnis," kata Powell dikutip dari CNN Business, Senin (29/8/2022).Â
Dalam pernyataan sebelumnya, Powell telah menyerukan urgensi stabilitas harga untuk menjaga ekonomi."Tanggung jawab kami untuk mengupayakan stabilitas harga tidak bersyarat," katanya.
Sementara itu, Powell tidak memberikan indikasi apakah kenaikan suku bunga The Fed yang tinggi, hingga 75 basis poin akan kembali dilakukan pada pertemuan penetapan suku bunga bulan depan.Â
"Ini jelas meningkatkan kemungkinan naik 75 (poin) lagi ", kata Jay Hatfield, pendiri dan CEO Manajemen Modal Infrastruktur.
"Dia jelas menyiratkannya," ujar Hatfield.
"Powell dengan jelas menyatakan bahwa saat ini, memerangi inflasi lebih penting daripada mendukung pertumbuhan," kata Jeffrey Roach, Kepala Ekonom di LPL Financial, dalam sebuah catatan penelitian.
Drew Matus, kepala strategi pasar di MetLife Investment Management mengatakan bahwa yang menjadi pertanyaan saat ini adalah seberapa besar dampak yang dapat ditoleransi oleh The Fed ketika berupaya mengurangi inflasi dengan menaikkan suku bunga dan mensurutkan permintaan konsumen.
"Kita harus melihat apakah keyakinan mereka masih kuat. Jika kita terus melihat inflasi lebih moderat, sementara ada beberapa kelemahan di pasar tenaga kerja," ucap Matus.
Advertisement
Para Ekonom Ramal Resesi AS Terjadi di Pertengahan 2023
Ekonom memprediksi Federal Reserve akan sulit menjinakkan inflasi tanpa melindungi ekonomi Amerika Serikat dari jurang resesi.Â
Prediksi resesi AS diungkapkan dalam survey yang dilakukan asosiasi ekonom internasional terbesar, National Association of Business Economics (NABE).Â
Dilansir dari CNN Business, Selasa (23/8/2022) 72 persen ekonom yang disurvei NABE melihat resesi AS berikutnya akan terjadi pada pertengahan tahun depan, jika belum dimulai.
Temuan itu mencakup hampir satu dari lima ekonom (19 persen) yang mengatakan ekonomi AS sudah dalam resesi, sebagaimana ditentukan oleh organisasi penelitian swasta Amerika, NBER.
Sementara itu, 20 persen ekonom lainnya tidak memperkirakan resesi akan terjadi sebelum paruh kedua tahun depan.
"Hasil survei mencerminkan banyak pendapat yang berbeda di antara para panelis," kata Presiden NABE David Altig dalam sebuah pernyataan.
"Ini dengan sendirinya menunjukkan ada kejelasan yang kurang dari biasanya tentang prospek," ungkapnya.Â
Survei NABE, yang dilakukan antara 1 Agustus dan 9 Agustus, menampilkan tanggapan dari 198 anggota asosiasi ekonom tersebut.
Bulan lalu, Ketua Fed Jerome Powell menyatakan dalam konferensi pers bahwa masih ada jalan untuk mengendalikan inflasi tanpa memicu penurunan.
Namun, bahkan Powell mengakui bahwa jalan itu semakin sempit karena The Fed terpaksa menggunakan kenaikan suku bunga drastis untuk menurunkan inflasi.
Hampir tiga dari empat peramal ekonomi, atau 73 persen dalam survei NABE mengatakan mereka sama sekali tidak yakin atau tidak terlalu yakin bahwa The Fed dapat menurunkan inflasi kembali ke sasaran 2 persesn tanpa menyebabkan resesi dalam dua tahun ke depan.
Hanya 13 persen ekonom yang disurvei NABE mengatakan mereka yakin atau sangat yakin The Fed dapat melakukan langkah tersebut.Â