Negara Eropa Siap-siap, OECD Ramal Ekonomi Wilayah Ini Paling Terpukul Perlambatan Ekonomi Global

OECD mengatakan bahwa Eropa akan menjadi kawasan yang paling terdampak perlambatan ekonomi global.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 23 Nov 2022, 12:30 WIB
Diterbitkan 23 Nov 2022, 12:30 WIB
Jerman Larang Pesta Kembang Api saat Malam Tahun Baru
Lampu di gedung-gedung distrik perbankan di Frankfurt, Jerman, Rabu (29/12/2021). Kembang api tidak akan diizinkan di kota pada Malam Tahun Baru untuk menghindari penyebaran virus corona. (AP Photo/Michael Probst)

Liputan6.com, Jakarta - Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) mengatakan bahwa ekonomi global diharapkan menghindari resesi tahun depan tetapi krisis energi terburuk sejak 1970-an akan memicu perlambatan tajam, dengan Eropa yang diprediksi akan paling terdampak.

Dilansir dari US News, Rabu (23/11/2022) OECD memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi global akan melambat dari 3,1 persen tahun ini menjadi 2,2 persen tahun depan, sebelum meningkat menjadi 2,7 persen pada 2024.

"Kami tidak memprediksi resesi, tetapi kami pasti memproyeksikan periode kelemahan yang nyata," kata kepala OECD Mathias Cormann pada konferensi pers terkait Economic Outlook terbaru organisasi tersebut.

OECD menjelaskan bahwa perlambatan ekonomi global membuat pertumbuhan tidak merata, dengan Eropa menanggung beban imbas perang Rusia-Ukraina yang memukul aktivitas bisnis dan mendorong lonjakan biaya energi.

Badan internasional itu memperkirakan ekonomi zona euro, yang mencakup 19 negara Eropa akan tumbuh 3,3 persen tahun ini kemudian melambat menjadi 0,5 persen pada tahun 2023 sebelum pulih hingga 1,4 persen pada tahun 2024.

Namun, perkiraan terbaru ini sedikit lebih baik daripada prediksi OECD pada bulan September 2022, ketika zona euro diramal tumbuh 3,1 persen untuk tahun ini dan 0,3 persen pada tahun 2023.

Selain itu, OECD memperkirakan kontraksi 0,3 persen tahun depan di Jerman, yang ekonominya sangat bergantung pada ekspor energi Rusia.

Bahkan Prancis, yang jauh lebih sedikit bergantung pada gas dan minyak Rusia, diperkirakan akan tumbuh hanya 0,6 persen tahun depan. Sementara Italia terlihat mengalami pertumbuhan 0,2 persen, yang berarti diperkirakan akan mengalami beberapa kontraksi.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Prediksi Terbaru OECD Soal Ekonomi AS dan China

Kereta di Paris tak Beroperasi
Komuter menunggu di peron stasiun Metro Saint-Lazare di Paris selama aksi pemogokan massal, Kamis (10/11/2022). Operator transportasi umum ibu kota Prancis, RATP, mengatakan hampir setiap jalur akan ditutup atau beroperasi hanya dengan layanan jam sibuk terbatas. (Bertrand GUAY / AFP)

Sementara itu, ekonomi Amerika Serikat diprediksi akan bertahan lebih baik, ungkap OECD, dengan pertumbuhan diperkirakan melambat dari 1,8 persen tahun ini menjadi 0,5 persen pada 2023 sebelum naik menjadi 1,0 persen pada 2024.

OECD sebelumnya memperkirakan pertumbuhan AS hanya akan mencapai 1,5 persen tahun ini.

Kemudian China, yang bukan anggota OECD, adalah salah satu dari sedikit negara ekonomi besar ang diperkirakan akan mengalami peningkatan pertumbuhan tahun depan, setelah gelombang lockdown COVID-19.

OECD mengatakan, pertumbuhan ekonomi China diprediksi meningkat dari 3,3 persen tahun ini menjadi 4,6 persen pada tahun 2023 namu menurun menjadi 4,1 persen pada tahun 2024, dibandingkan dengan perkiraan sebelumnya sebesar 3,2 persen pada tahun 2022 dan 4,7 persen untuk tahun 2023.

Ketika kebijakan moneter yang lebih ketat mulai berlaku dan tekanan harga energi mereda, inflasi di negara-negara OECD terlihat turun dari lebih dari 9 persen tahun ini menjadi 5,1 persen pada tahun 2024.

"Pada kebijakan moneter, pengetatan lebih lanjut diperlukan di sebagian besar ekonomi maju dan di banyak ekonomi pasar berkembang untuk menopang ekspektasi inflasi dengan kuat," kata Ketua OECD Mathias Cormann.

Sementara banyak pemerintah telah menghabiskan banyak uang untuk meringankan tekanan inflasi dengan pembatasan harga energi, pemotongan pajak dan subsidi, menurut OECD, harus ditargetkan dengan lebih baik ke depan.


OECD : Ekonomi Inggris Bakal Menurun Lebih Buruk Diantara Negara G7 di 2023

Inflasi Inggris Naik ke Level Tertinggi dalam 41 Tahun
Seorang pria berjalan keluar dari gerai pakaian diskon di Oxford Street di London, Rabu (16/11/2022). Inflasi telah membuat pasar tenaga kerja Inggris tertekan. Diperkirakan para buruh akan meminta kenaikan gaji demi bisa mengimbangi inflasi. (AP Photo/Alastair Grant)

Badan internasional Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) memprediksi bahwa ekonomi Inggris akan mengalami pukulan terbesar dari krisis energi global daripada negara-negara maju lainnya. 

Dilansir dari BBC, Rabu (23/11/2022) OECD meramal ekonomi Inggris akan berkontraksi lebih besar daripada negara lain di kelompok G7 (AS, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang) pada tahun 2023 mendatang.

OECD memperkirakan ekonomi Inggris bakal menyusut 0,4 persen pada 2023 diikuti oleh pertumbuhan yang hanya di 0,2 persen pada 2024.

Selain itu, pertumbuhan ekonomi di AS dan zona euro akan melemah, tetapi Jerman adalah satu-satunya negara ekonomi utama lainnya yang diperkirakan akan menyusut. 

Produk domestik bruto (PDB) Jerman diperkirakan akan menurun 0,3 persen

Sementara itu, laporan terbaru OECD memprediksi kekuatan negara-negara berkembang, ekonomi dunia akan tumbuh sebesar 2,2 persen tahun depan.

Tetapi OECD memperingatkan, perang Rusia-Ukraina akan mempengaruhi ekonomi secara tidak merata, dengan negara-negara Eropa menanggung beban terberat dari dampak pada bisnis, perdagangan dan lonjakan harga energi.

Sebaliknya, Office for Budget Responsibility (OBR) pekan lalu memperkirakan ekonomi Inggris akan menyusut 1,4 persen tahun depan, meskipun juga memperkirakan pertumbuhan yang lebih kuat, sebesar 1,3 persen pada tahun 2024.

Produk domestik bruto (PDB) Jerman diperkirakan akan menurun 0,3 persen

Dari kelompok negara-negara G20, Rusia, yang dikenai sanksi ekonomi oleh Barat, diprediksi bernasib lebih buruk daripada Inggris, sebut OECD.

"Penargetan yang lebih baik dari langkah-langkah untuk meredam dampak dari harga energi yang tinggi akan menurunkan biaya anggaran, mempertahankan insentif yang lebih baik untuk menghemat energi, dan mengurangi tekanan pada permintaan pada saat inflasi tinggi," kata badan itu.


Inggris Masih Yakin Ekonominya Bakal Tumbuh Tercepat Diantara Negara G7

Inflasi Inggris Naik ke Level Tertinggi dalam 41 Tahun
Seorang pengendara sepeda berjaket kuning melewati ruang ritel kosong di Oxford Street di London, Rabu (16/11/2022). Mengutip data resmi, inflasi Inggris didorong oleh melonjaknya harga energi, makanan, dan transportasi dalam krisis biaya hidup yang memburuk. (AP Photo/Alastair Grant)

Sementara itu, Inggris akan mengambil pendekatan yang berbeda terkait krisis di sektor energi.

"Kami mengambil pendekatan yang berbeda pasca April untuk dukungan pada sektor energi, menargetkannya ke arah yang paling rentan," katanya.

Berbeda dengan perkiraan OECD, jubir PM Inggris mengatakan tahun ini negara itu diperkirakan menjadi ekonomi dengan pertumbuhan tercepat di antara negara G7.

"Ini adalah tantangan yang mempengaruhi negara yang berbeda pada waktu yang sedikit berbeda," jelasnya.

"Kami pulih dari pandemi lebih cepat daripada banyak negara lain di Eropa. Tetapi masih ada beberapa tantangan," tambahnya.

OECD mengatakan inflasi Inggris - yang sudah mencapai level tertinggi dalam 41 tahun sebesar 11,1 persen pada Oktober 2022, kemungkinan akan mencapai puncaknya pada akhir tahun ini tetapi tetap di atas 9 persen pada awal 2023, melambat menjadi 4,5 persen pada akhir tahun depan.

Badan itu juga memperkirakan suku bunga Inggris akan naik dari level saat ini 3 persen menjadi 4,5 persen pada bulan April mendatang dan angka pengangguran bakal naik menjadi 5 persen pada akhir 2024.

Infografis Harapan & Langkah Nyata G20 Jadi Katalis Pemulihan Ekonomi
Infografis Harapan & Langkah Nyata G20 Jadi Katalis Pemulihan Ekonomi (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya