Liputan6.com, Jakarta Tahun 2023 ekonomi global dipastikan masih suram. Geopolitik yang tak kunjung usai telah mengakibatkan banyak risiko, salah satunya daya beli masyarakat.
Meski begitu laporan yang dibuat CORE Indonesia meramalkan konsumsi rumah tanggal Indonesia tahun depan akan tetap tumbuh kuat. Salah satunya disokong momentum tahun politik tahun depan.
"(Adanya) dorongan belanja politik menjelang pemilihan presiden dan pemilihan umum legislatif," dikutip dari Laporan CORE Economic Outlook 2023, Jakarta, Jumat (23/12).
Advertisement
CORE Indonesia memperkirakan konsumsi rumah tangga tahun 2023 secara agregat akan melampaui level pra pandemi. Namun pertumbuhannya berpotensi melambat marginal secara year to year (yoy).
Mobilitas penduduk di tahun depan akan berangsur normal. Terlebih Presiden Joko Widodo telah memberi sinyal pencabutan kebijakan Permberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM).
Selain belanja politik, faktor pendorong konsumsi rumah tangga tetap tumbuh yakni pandemi yang relatif bisa dikendalikan pemerintah. Termasuk tingkat inflasi yang lebih rendah.
"Relatif terkendalinya pandemi dan tingkat inflasi yang lebih rendah," katanya.
Hanya saja, konsumsi rumah tangga ini juga berpotensi terganggu karena pelemahan permintaan global dan rencana normalisasi kebijakan fiskal dan moneter di tahun depan.
Sebagai informasi, sepanjang tahun 2022 konsumsi rumah tangga terus mengalami perbaikan. Pada kuartal I-2022 konsumsi rumah tangga tercatat 4,34 persen (yoy), kuartal II tumbuh 5,51 persen (yoy) dan di kuartal III tumbuhh 5,39 persen (yoy). Semetara itu, di kuartall IV Segara Institute memprediksi konsumsi rumah tangga tetap tumbuh di atas 5 persen.
Awas, Tren Konsumsi Rumah Tangga Mulai Melemah
Di tengah ketidakpastian yang masih menyelimuti perekonomian dan ancaman resesi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang triwulan III 2022 yang naik hingga 5,72 persen secara year on year layak diapresiasi.
Namun di balik itu, ada satu hal yang patut dicermati, yakni melemahnya konsumsi rumah tangga yang merupakan mesin pendorong ekonomi Indonesia.
Praktisi bisnis yang juga founder IndoSterling Group William Henley mengatakan, postur perekonomian Indonesia yang ditopang oleh konsumsi rumah tangga menjadi benteng kuat yang melindungi Indonesia dari risiko ancaman resesi global.
“Market domestik adalah keunggulan utama Indonesia. Karena itu, daya beli harus diperkuat agar mesin konsumsi rumah tangga tetap bergerak dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi,” ujarnya kepada media, Rabu (30/11/2022).
Data BPS menunjukkan, dibanding triwulan II 2022, kinerja seluruh komponen pengeluaran pada triwulan III 2022 mencatat kenaikan, kecuali pada komponen konsumsi rumah tangga yang justru mengalami kontraksi atau turun 0,30 persen.
Hal ini membuat kontribusi komponen konsumsi rumah tangga yang pada triwulan II 2022 sebesar 51,47 persen, turun menjadi 50,38 persen pada triwulan III 2022.
Advertisement
Dampak Kenaikan Harga BBM
Menurut William, penurunan konsumsi rumah tangga erat kaitannya dengan dampak kenaikan harga BBM pada awal September 2022 yang kemudian mendorong inflasi dan menggerus daya beli masyarakat.
Karena itu, menurut praktisi digitalisasi UMKM ini, tantangan saat ini adalah bagaimana mengendalikan inflasi bahan pangan dan menjaga daya beli masyarakat. Misalnya, melalui operasi pasar, serta peningkatan efektivitas penyaluran program bantuan sosial untuk menopang daya beli kelompok masyarakat rentan.
“Jadi, perlu fokus memperkuat pasar domestik. Langkah ini akan bermanfaat juga untuk membantu pelaku usaha, terutama sektor UMKM,” ujarnya.
Data Bank Indonesia (BI) terkait Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) menunjukkan, pada September 2022 sempat turun dari 124,7 menjadi 117,2 akibat kenaikan harga BBM. Namun kembali merangkak naik menjadi 120,3 pada Oktober 2022 seiring meredanya dampak kenaikan harga BBM.
Harus Waspada
Meski demikian, William mengatakan, pemerintah maupun pelaku usaha harus tetap waspada terhadap potensi transmisi ancaman resesi global seperti turunnya permintaan di pasar global yang akan berdampak pada kinerja ekspor Indonesia.
Apabila terjadi penurunan tajam, ada potensi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) pada perusahaan berorientasi ekspor. Misalnya di sektor garmen maupun alas kaki yang memiliki karakter padat karya. “Dampaknya, bisa meningkatkan angka pengangguran dan ujungnya menggerus daya beli,” terangnya.
Karena itu, menurut William, perlu program yang bisa meringankan dampak transmisi resesi global ke pelaku usaha. Misalnya melalui bantuan subsidi upah untuk perusahaan padat karya. Adapun untuk pelaku usaha mikro kecil, program subsidi bunga Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang akan berakhir tahun ini sebaiknya bisa dilanjutkan tahun depan.
“Ini semua merupakan bagian dari upaya memperkuat pasar domestik agar roda perekonomian tahun depan terus berputar kencang,” pungkasnya.
Advertisement