Wacana Beda Tarif KRL Sudah Muncul Sejak 2018

Pemerintah tengah mengkaji pemisahan tarif KRL bagi orang kaya dan orang miskin.

oleh Arief Rahman Hakim diperbarui 04 Jan 2023, 11:49 WIB
Diterbitkan 04 Jan 2023, 10:14 WIB
Rencana Subsidi Silang Tarif KRL
Rangkaian kereta listrik Commuter Line atau KRL saat melintas di Stasiun Jatinegara, Jakarta, Senin (2/1/2023). Pemerintah pusat melalui Kementerian Perhubungan (Kemenhub) berencana untuk menerapkan subsidi silang dalam tarif KRL Jabodetabek. Wacana ini dituturkan oleh Menhub Budi Karya Sumadi yang mengatakan tarif KRL akan disesuaikan supaya subsidi lebih tepat sasaran. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah tengah mengkaji pemisahan tarif KRL bagi orang kaya dan orang miskin. Tujuannya disebut-sebut agar subsidi yang digelontorkan menjadi tepat sasaran.

Perlu diketahui, kontrak PSO (public service obligation) untuk KRL Jabodetabek tahun 2022 sebesar Rp 1,8 triliun dan menurun di tahun 2023 menjadi Rp 1,6 triliun. Demikian pula total PSO tahun 2022 sebesar Rp 2,8 triliun, turun di tahun 2023 menjadi Rp 2,5 triliun. Sebanyak 64 persen dari nilai total PSO Perkeretaapian diberikan untuk PSO KRL Jabodetabek.

Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno menyampaikan, usulan perbedaan tarif sebelumnya sudah muncul dalam kajian awal di 2018 lalu. Narasinya, berbicara mengenai subsidi tepat sasaran untuk pengguna KRL.

Dia menyebut, pada kajian tahun 2018 yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Perkeretaapian, pengguna KRL Jabodetabek di akhir pekan yang bekerja hari Sabtu 5 persen dan di hari Minggu 3 persen. Sisanya bepergian tujuan perjalanan sosial, seperti berwisata, kunjungan keluarga, seminar, ke pusat perbelanjaan.

"Pada tahun yang sama juga telah ada usulan mekanisme usulan subsidi tepat sasaran bagi pengguna KRL Jabodetabek. Namun, belum ditanggapi dengan serius oleh pemerintah saat itu. Tidak ada salahnya jika sekarang perlu dipertajam lagi kajiannya, sehingga pada saat yang tepat dapat diterapkan setelah dilakukan beberapa sosialisasi ke masyarakat," terang Djoko dalam keterangannya, Rabu (4/1/2023).

Melihat besaran subsidi yang dikucurkan pemerintah, dikaitkan dengah pola perjalanan di hari libur, Djoko menilai hal itu bisa menghemat anggaran. Caranya, dengan melepas subsidi bagi pengguna KRL yang bepergian untuk tujuan wisata.

"Dalam setahun bisa lebih 100 hari di akhir pekan dan hari libur. Jika dikurangi subsidinya, dapat menghemat sepertiga (dari total subsidi). Anggaran yang dihemat itu dapat dialihkan untuk subsidi angkutan umum feeder dari kawasan perumahan menuju stasiun," bebernya.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Biaya Transportasi

Rencana Subsidi Silang Tarif KRL
Calon penumpang saat menaiki KRL Commuter Line di Stasiun Jatinegara, Jakarta, Senin (2/1/2023). Pemerintah pusat mengalokasikan subsidi pada kebijakan tarif yang sudah berlaku sekitar lima tahun terakhir sehingga pengguna KRL di Jabodetabek hanya perlu membayar Rp3.000 untuk 25 km pertama, dan Rp1.000 untuk setiap 10 km berikutnya. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Lebih lanjut, Djoko menerangkan kalau subsidi bagi KRL Jabodetabek saja jauh lebih tinggi dari subsidi ke angkutan perintis hingga angkutan perkotaan di 10 kota. Artinya, dana tersebut cukup besar hanya untuk KRL Jabodetabek.

Padahal, dalam menghitung komponen biaya transportasi, tak sebatas pada tarif KRL. Sebut saja ada angkutan pengumpan atau feeder dari titik tempat tinggal calon penumpang ke stasiun, atau dari stasiun ke lokasi tujuan. Djoko memandang, pada dua bagian itu biaya transportasi membengkak. Alasannya karena masih belum sepenuhnya terintegrasi.

"Yang perlu diperhitungkan, ada ongkos total perjalan dari rumah hingga ke tempat tujuan tidak lebih dari 10 persen penghasilan bulanan. Policy Research Working Paper 4440 World Bank, belanja transportasi yang tepat bagi masyarakat adalah maksimal 10 persen dari upah bulanannya. Kajian World Bank itu berdasarkan riset dari negara-negara di Amerika Latin dan negara di Kepulauan Karibia 2007," paparnya.

Sedangkan, Survei Badan Litbang Perhubungan tahun 2013, ketika ditetapkan tarif KRL Jabodetabek satu harga dan murah, total ongkos transportasi yang dikeluarkan pengguna KRL Jabodetabek masih 32 persen dari pendapatan bulanan. Saat itu layanan transportasi last mile belum sebaik sekarang.

"Sekarang setiap stasiun KRL yang berada di Jakarta sudah terintegrasi dengan Bus Trans Jakarta dan Jak Lingko. Namun, layanan transportasi first mile belum banyak perubahan dan cenderung angkutan ke stasiun makin berkurang jumlahnya. Belum ada perbaikan yang berarti, baru ada Bus Trans Pakuan di Bogor dan Bus Tayo di Tangerang. Ciptakanlah transportasi umum seperti di Bogor dan Tangerang untuk di Kota Bekasi, Kab. Bekasi, Kota Depok, Kab. Tangerang, Kab. Bogor dan Kota Tangerang Selatan," bebernya.

"Kita jangan fokus hanya pada tarif KRL Jabodetabek, namun bagaimana kita merancang ongkos transportasi warga bisa kurang dari 10 persen dari pendapatan bulanan. Perancis dan Singapura sudah bisa menekan hingga 3 persen, sedangkan China 7 persen," pungkas Djoko.

 


Dikaji Kemenhub

Rencana Subsidi Silang Tarif KRL
Rangkaian kereta listrik Commuter Line atau KRL saat melintas di Stasiun Jatinegara, Jakarta, Senin (2/1/2023). Pemerintah pusat mengalokasikan subsidi pada kebijakan tarif yang sudah berlaku sekitar lima tahun terakhir sehingga pengguna KRL di Jabodetabek hanya perlu membayar Rp3.000 untuk 25 km pertama, dan Rp1.000 untuk setiap 10 km berikutnya. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Menteri Perhubungan (Menhub) Budi Karya Sumadi memastikan tarif KRL Commuter Line tidak akan naik pada 2023 mendatang. Namun, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) bakal mengubah sistem pembayaran KRL dengan tarif berbeda antara golongan mampu dan tak mampu.

Juru Bicara Kemenhub Adita Irawati mengatakan, dalam rangka memastikan bahwa pembiayaan public service obligation (PSO) dapat betul-betul dimanfaatkan oleh masyarakat yang membutuhkan, maka Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kemenhub sedang melakukan kajian mengenai skema subsidi subsidi yang lebih tepat sasaran.

"Saat ini kami tengah mengkaji pilihan-pilihan kartu perjalanan yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai dengan kemampuan membayar," kata Adita melalui keterangan tertulis, Rabu (28/12/2022).

 


PSO

Rencana Subsidi Silang Tarif KRL
Rangkaian kereta listrik Commuter Line atau KRL saat melintas di Stasiun Jatinegara, Jakarta, Senin (2/1/2023). Sebagai informasi, tarif asli KRL adalah sekitar Rp 10.000-Rp 15.000 untuk sekali perjalanan. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Adita menyampaikan, sejauh ini masih tetap diperlukan penyesuaian besaran subsidi PSO, untuk memastikan tarif KRL tetap terjangkau oleh masyarakat. Pasalnya, tarif KRL masih disubsidi oleh negara dengan biaya operasional tak sedikit.

"Dengan adanya kenaikan biaya operasional dan belum ada rencana kenaikan tarif, maka perlu dilakukan berbagai upaya agar besaran PSO tetap dapat dikelola dengan baik dan tepat sasaran untuk masyarakat yang membutuhkan," terangnya.

Terkait kepastian tarif KRL, Adita pun meminta masyarakat bersabar sembari memantau informasi resmi yang dikeluarkan pemerintah.

"Kami menghimbau masyarakat untuk menunggu informasi lebih lanjut sampai kajian selesai dilakukan. Masukan dan saran yang disampaikan oleh masyarakat akan menjadi bahan pertimbangan kami," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya