Pengusaha Dukung Harga Acuan Sawit Indonesia, tapi Ada Syaratnya

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan meminta Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) untuk segera membentuk harga acuan kelapa sawit.

oleh Maulandy Rizky Bayu Kencana diperbarui 20 Jan 2023, 16:00 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2023, 15:10 WIB
Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja membawa cangkang sawit di sebuah perkebunan sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Liputan6.com, Jakarta - Program Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan dalam membentuk indeks atau bursa harga acuan sawit mendapat dukungan dari Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI), Sahat Sinaga. 

Sahat mendukung keras rencana tersebut, dengan catatan pengelola bursa komoditi itu berasal dari pihak independen yang tidak menggeluti bisnis kelapa sawit

"Saya sangat setuju. Itu perlu didukung. Yang persoalannya adalah kalau ada bursa komoditi ini, itu pengelolanya jangan ikut campur yang berbisnis sawit. Jadi harus ada independent party," kata Sahat saat ditemui di kantor KPPU, Jakarta, Jumat (20/1/2023).

"Kalau tidak (dikelola oleh pengusaha non-sawit), ya itu udah tidak benar. Itu yang perlu dicegah," tegas dia. 

Selain itu, Sahat menambahkan, bursa acuan sawit juga harus ikut menyimpan stok fisik, baik untuk minyak sawit mentah (CPO) maupun produk turunannya. 

"Badannya itu fisik stok. Jadi tidak hanya kertas, tapi juga aktivitas dalam hal physical transaction. Nah itu baru bisa jalan," ungkap dia. 

Sehingga, Sahat menekankan, stok simpanan tersebut bisa menjaga harga acuan sawit ketika harga CPO di pasar internasional yang mengacu kepada Malaysia (MDEX) dan Rotterdam bergejolak. 

"Nyimpen stok enggak harus nasional, tapi ada beberapa lokasi tertentu dimana dia punya tangki-tangki untuk tempat penyimpanan. Untuk jaga ketahanan harga," ujar Sahat. 

Mendag Perintahkan Bappebti Bentuk Harga Acuan Sawit

Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja membawa cangkang sawit di sebuah perkebunan sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Sebelumnya, Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan meminta Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) untuk segera membentuk harga acuan sawit. Targetnya, bursa harga acuan itu bisa didirikan sebelum Juni 2023.

Pasalnya, harga acuan komoditas sawit semisal minyak sawit mentah alias crude palm oil (CPO) masih berpatokan kepada Malaysia. Padahal, Mendag menegaskan, Indonesia merupakan produsen sawit terbesar di dunia.

"Beberapa kali di sidang kabinet disinggung, masa kita ikutnya Malaysia. Yang punya sawit kita, masa ikutnya Malaysia?" kata Mendag di Jakarta, Kamis (19/1/2023).

Oleh karenanya, Ketua Umum PAN tersebut mendesak Bappebti untuk segera mendirikan bursa harga acuan sawit.

"Kalau bisa sebelum Juni ini kita tidak ngikut Kuala Lumpur lagi. Sawitnya banyakan kita, kok ngikutnya ke sana? Kalau enggak bisa juga ya Bappebti yang akan disalahkan," tegasnya.

Tak hanya sawit, Mendag juga ingin menerbitkan harga acuan komoditas lain yang jadi sumber kekayaan alam Indonesia, seperti karet, kopi, dan lada.

"Dengan segala kewenangan yang dimiliki, kalau bisa karet, CPO, kopi itu sudah bisa di kita. Di layar itu terpampang harga kopi dan lain-lain," ujar dia.

"Jadi kalau memungkinkan Juni (2023) sudah terpampang di layar ya, bahwa kita punya patokan harga. Jadi nanti Malaysia berbalik lihat ke Indonesia dulu, gantian," seru Mendag Zulkifli Hasan. 

 

Ini Harga Referensi CPO dan Patokan Ekspor Terbaru

Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja mengangkut cangkang sawit di atas rakit di sebuah perkebunan sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) kembali mengeluarkan harga referensi CPO atau produk minyak kelapa sawit untuk penetapan bea keluar (BK) dan tarif Badan Layanan Umum Badan Pengelola DanaPerkebunan Kelapa Sawit (tarif BLU BPD-PKS) atau pungutan ekspor (PE).

Untuk periode 16–31 Januari 2023 tarid yang ditetapkan sebesar USD 920,57 per metrik ton. Nilai ini meningkat sebesar USD 61,61 atau 7,17 persen dari periode1—15 Januari 2023, yaitu sebesar USD 858,96/MT.

Penetapan ini tercantum dalam Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 53 Tahun 2023 tentang Harga Referensi Crude Palm Oil yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Layanan Badan Layanan Umum Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit periode 16-31 Januari 2023.

“Saat ini harga referensi CPO mengalami peningkatan dan kembali menjauhi ambang batas sebesar USD 680/MT. Untuk itu, merujuk pada PMK yang berlaku saat ini, maka Pemerintah mengenakan bea keluar CPO sebesar USD 74/MT dan pungutan ekspor CPO sebesar USD 95/MT untuk periode 16—31 Januari 2023,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Budi Santoso dalam keterangannya.

 

Faktor yang Mempengaruhi

Adapun besaran Bea keluar CPO periode 16─31 Januari 2023 merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 123/PMK.010/2022 sebesar USD 74/MT.

Sementara itu, pungutan ekspor CPO periode 16—31 Januari 2023 merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.05/2022 sebesar USD 95/MT.  Nilai BK CPO dan PE CPO tersebut meningkat dari BK CPO dan PE CPO untuk periode 1—15 Januari 2023.

Peningkatan harga referensi CPO dipengaruhi beberapa faktor, diantaranya perubahan kebijakan biodiesel Indonesia dari B30 menjadi B35, penguatan mata uang ringgit Malaysia terhadap dolar Amerika Serikat, dan penurunan produksi CPO karena musim hujan di Indonesia dan Malaysia. 

infografis journal
infografis 10 Daerah Penghasil Kelapa Sawit Terbesar di Indonesia pada 2021. (Liputan6.com/Tri Yasni).
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya