Liputan6.com, Jakarta - Rebound ekonomi global pasca-pandemi dan lonjakan inflasi di berbagai negara tahun lalu mendorong penurunan pertama jumlah utang dalam dolar sejak 2015.
Hal itu diungkapkan dalam laporan yang disusun oleh asosiasi perdagangan untuk industri jasa keuangan global, Institute of International Finance (IIF).
Baca Juga
Mengutip US News, Kamis (23/2/2023) laporan tersebut memperkirakan bahwa nominal utang global turun sekitar USD 4 triliun atau Rp. 60,7 kuadriliun, menjadikannya sedikit kembali di bawah ambang batas USD 300 triliun pada tahun 2021.
Advertisement
Dengan biaya pinjaman yang meningkat, terutama untuk pasar negara berkembang, penghematan didorong sepenuhnya oleh negara-negara maju, yang secara keseluruhan melihat penurunan total utang sekitar USD 6 triliun menjadi USD 200 triliun.
Sementara itu, jumlah utang negara berkembang mencapai rekor tertinggi baru sebesar USD 98 triliun dengan Rusia, Singapura, India, Meksiko, dan Vietnam yang mencatat kenaikan terbesar.
Namun, peningkatan tersebut didorong oleh pasar negara maju yang secara keseluruhan mengalami penurunan 20 poin persentase menjadi 390 persen. Rasio utang pasar negara berkembang naik sebesar 2 poin persentase menjadi 250 persen dari PDB, sebagian besar didorong oleh China dan Singapura.
IIF juga memperkirakan bahwa rasio utang pemerintah terhadap PDB negara berkembang naik menjadi hampir 65 persen dari PDB pada tahun 2022 dari hanya di bawah 64 persen.
"Beban utang publik luar negeri banyak negara berkembang memburuk karena kerugian tajam dalam mata uang lokal (tahun 2022) terhadap dolar," jelas IIF, menambahkan bahwa hal itu telah mendorong permintaan investor internasional untuk utang mata uang lokal ke posisi terendah, "tanpa tanda pemulihan segera".
Pandangan JPMorgan
Sementara itu, JPMorgan memiliki pandangan yang berbeda terhadap situasi utang global.
Bank investasi itu menyoroti analisis bahwa, meskipun utang pasar negara maju mengalami penurunan moderat tahun lalu, kenaikan sejak krisis keuangan global 15 tahun lalu masih menjadi kekhawatiran.
JPMorgan menghitung bahwa utang sektor publik dari PDB pasar negara maju telah melonjak menjadi 122 persen dari 73 persen sesaat sebelum lonjakan dan lebih dari 30 poin persentase PDB di 13 dari 21 negara ekonomi utama.
"Langkah perubahan utang hanya dalam 15 tahun menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan," kata analis JPMorgan, merujuk pada isu di pasar keuangan Inggris ketika pemerintah Liz Truss mengeluarkan rencana pemotongan pajak yang tidak didanai.
Berdasarkan kerangka keberlanjutan utang, JPMorgan juga memperkirakan bahwa keseimbangan primer--pinjaman bersih tidak termasuk bunga--pasar negara maju perlu ditingkatkan rata-rata 3,8 persen-poin dari level saat ini, 3,4 persen dari PDB hanya untuk menjaga agar utang tidak meningkat.
Stabilitas utang di Amerika Serikat juga memerlukan pengetatan kebijakan sebesar 4,4 persen poin, sementara di Jepang, yang sejauh ini memiliki tingkat utang tertinggi di antara negara-negara ekonomi utama, hambatannya jauh lebih tinggi sebesar 9 persen poin.
Advertisement
Utang Luar Negeri Indonesia Tembus Rp 6.037 Triliun di Akhir 2022
Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada triwulan IV 2022 tetap terkendali. Posisi ULN Indonesia pada akhir triwulan IV 2022 tercatat sebesar USD 396,8 miliar atau Rp 6.037 triliun (kurs 15.216 / dolar AS)
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono, menjelaskan, melalui perkembangan tersebut, pertumbuhan ULN Indonesia pada triwulan IV 2022 secara tahunan mengalami kontraksi sebesar 4,1 persen (yoy), melanjutkan kontraksi pada triwulan sebelumnya sebesar 6,7 persen (yoy).
"Kontraksi pertumbuhan ini terutama bersumber dari ULN Pemerintah dan sektor swasta. Perkembangan posisi ULN pada triwulan IV 2022 juga dipengaruhi oleh faktor perubahan akibat pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global," kata Erwin dikutip dari laman resmi BI, Selasa (14/2/2023).
Kontraksi
Lebih lanjut, Erwin mengatakan ULN Pemerintah melanjutkan tren kontraksi pertumbuhan. Posisi ULN Pemerintah pada triwulan IV 2022 tercatat sebesar USD 186,5 miliar atau secara tahunan mengalami kontraksi sebesar 6,8 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan kontraksi pada triwulan sebelumnya sebesar 11,3 persen (yoy).
Perkembangan utang luar negeri tersebut didorong oleh peningkatan investasi portofolio di pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik seiring dengan sentimen positif kepercayaan pelaku pasar global yang tetap terjaga.
Disisi lain, terdapat penarikan neto pinjaman luar negeri yang digunakan untuk mendukung pembiayaan program dan proyek.
Dukung Pemulihan Ekonomi
Menurutnya, ULN pemerintah berperan penting untuk mendukung upaya pemerintah dalam pembiayaan sektor produktif serta belanja prioritas pemerintah, termasuk kelanjutan upaya akselerasi program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Oleh karena itu, Pemerintah terus berkomitmen agar ULN dikelola secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel untuk mendukung belanja, yang antara lain mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (24,4 persen dari total ULN Pemerintah), jasa pendidikan (16,5 persen ), administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (15,5 persen ), konstruksi (14,2 persen ), serta jasa keuangan dan asuransi (11,4 persen ).
"Posisi ULN Pemerintah relatif aman dan terkendali mengingat hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,8 persen dari total ULN Pemerintah," ujarnya.
Sama halnya, ULN swasta juga melanjutkan tren kontraksi pertumbuhan. Posisi ULN swasta pada triwulan IV 2022 tercatat sebesar USD 201,2 miliar, atau secara tahunan mengalami kontraksi sebesar 1,8 persen (yoy), melanjutkan kontraksi pada triwulan sebelumnya sebesar 2,0 persen (yoy).
"Perkembangan ini didorong oleh pembayaran neto utang dagang, surat utang, dan pinjaman sejalan dengan pola kuartalan pembayaran ULN," ujarnya.
Pertumbuhan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan (non financial corporations) mengalami kontraksi sebesar 1,5 persen (yoy), lebih dalam dibandingkan kontraksi pada triwulan sebelumnya sebesar 1,3 persen (yoy).
Advertisement