Liputan6.com, Jakarta - Perbankan di Indonesia dinilai mampu bertahan di tengah gejolak perbankan global yang dipicu dari efek penutupan Silicon Valley Bank (SVB) atau SVB effect dan Signature Bank.
Pengamat ekonomi dan perbankan Universitas Bina Nusantara, Moch.Doddy Ariefianto menuturkan, penyelesaian Silicon Valley Bank terkendali. Namun, krisis perbankan di Amerika Serikat itu berdampak ke Eropa. Meski demikian, Doddy menilai, perbankan di Indonesia mampu bertahan di tengah goncangan perbankan global.
Baca Juga
"SVB terkendali, sekarang Deustche Bank goncang yang bermula dari Silicon Valley Bank dan Signature Bank, tetapi bank sentral negara asal (bank-red) itu dari the Fed, bank sentral Swiss, Jerman dan Euro sudah tangani sehingga terkendali. Perbankan Indonesia resilient,” ujar dia saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (5/4/2023).
Advertisement
Doddy menambahkan, perbankan Indonesia mampu bertahan lantaran tidak memiliki eksposure langsung di Silicon Valley Bank. Ia menilai, eksposure bank di Indonesia ke Deutsche Bank dan Credit Suisse ada tetapi tidak terlalu besar. Karena itu, ia menilai, krisis perbankan global yang terjadi tidak terlalu berdampak terhadap perbankan Indonesia.
“(perbankan-red) resilient. Sumber gejolak ditangani baik. Bank-bank di Indonesia punya benteng cukup kuat. Permodalan 23 persen, likuiditas 88-89 persen, dan Bank Indonesia tidak agresif,” ujar dia.
Doddy menuturkan, salah satu penyebab krisis perbankan di Amerika Serikat karena bank sentral Amerika Serikat atau the Federal Reserve yang agresif menaikkan suku bunga. Pada pertemuan bank sentral AS, Rabu, 22 Maret 2023, the Fed memutuskan menaikkan suku bunga acuan 0,25 persen. Kenaikan suku bunga itu ke-sembilan kali dalam setahun terakhir. Kenaikan suku bunga tersebut membawa suku bunga naik di kisaran 4,75 persen-5 persen.
“Beda dengan bank di Indonesia.Meski ada isu inflasi tinggi tetapi terkendali. Pengetatan moneter di Indonesia tidak seagresif (di Amerika Serikat-red) sehingga dampak (krisis bank di AS-red) kepada Indonesia tidak signifikan,” ujar dia.
Silicon Valley Bank Kolaps, Sri Mulyani Pelototi Krisis Perbankan di AS dan Eropa
Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan bahwa pihaknya memantau dengan cermat pada situasi krisis perbankan di Amerika Serikat dan Eropa.
Hal itu disampaikan Menkeu dalam acara Gala Seminar ASEAN 2023: “Enhancing Policy Calibration for Macro Financial Resilience” pada Rabu sore (29/3).
Sekarang kita mengerti bahwa situasi di Amerika Serikat dan Silicon Valley Bank, di mana bank yang memegang obligasi pemerintah, tingkat suku bunga yang sangat curam oleh Federal Reserve memengaruhi harga. Jadi market to market pasti akan menggerus neraca mereka," kata Sri Mulyani dalam paparannya di Bali Nusa Dua Convention Center 1 (BNDCC 1), Nusa Dua, Bali pada Rabu (29/3/2023).
"Jadi Bank Indonesia, Menteri Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan dan lembaga penjaminan simpanan kita melihat dengan kewaspadaan tinggi pada episode yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa," jelasnya.
Menkeu mengatakan, pihaknya terus melakukan diskusi dan stress test, bahwa masalah ini tidak akan sampai menjadi kejutan potensi risiko yang mungkin datang dari dinamika yang sangat berbeda.
"Dan itulah mengapa dalam kalibrasi kebijakan, ketika kami memiliki waktu untuk berkonsolidasi, kami harus berkonsolidasi, melakukannya dengan cara yang sangat kredibel dan transparan, sehingga kami dapat membuat buffer karena kami benar-benar tidak tahu apakah 6 bulan atau 12 bulan ke depan situasinya tidak akan menguntungkan dan Anda membutuhkan semua kekuatan untuk menghadapi ketidakpastian," imbuhnya.
Advertisement
Pentingnya Koordinasi
Dilanjutkan Sri Mulyani, kebijakan memainkan peran yang sangat penting sebagai shock absorber counter cyclical policy.
"Masalah ekonomi mana pun akan berada dalam situasi yang sangat sulit, ketika kebijakan Anda menjadi prosiklikal. Saat ada cycle down malah bikin tambah parah, saat cycle up malah bikin overheat," ujarnya.
Pentingnya Koordinasi
Maka dari itu, penting untuk terus melakukan koordinasi antara semua otoritas.
Sri Mulyani mengungkapkan, bahwa dia terus menjalin relasi baik dengan Gubernur BI Perry Warjiyo, dan itu sangat membantu karena pada saat krisis, pasar dan ekonomi membutuhkan jangkar kepercayaan.
"Kami belajar banyak tentunya, Pak Perry adalah seorang veteran dan dia pernah di IMF dan di World Bank. Sehingga kami tahu bahwa di saat krisis, kami harus (bekerja) bersama," ujar dia.
Imbas Jatuhnya Silicon Valley Bank, Nasabah di AS Kurangi Simpanan di Bank Kecil
Jumlah simpanan nasabah di bank-bank kecil Amerika Serikat (AS) turun menyusul kolapsnya Silicon Valley Bank pada 10 Maret 2023. Penurunan itu diungkapkan melalui data yang dirilis oleh Federal Reserve (The Fed).
Mengutip CNN Business, Senin (27/3/2023) simpanan nasabah di bank kecil AS menurun hingga USD 119 miliar atau Rp 1,8 kuadriliun menjadi USD 5,46 triliun dalam pekan yang berakhir pada 15 Maret 2023.
Penurunan tersebut juga lebih besar dua kali lipat dari rekor penurunan sebelumnya dan penurunan terbesar sebagai persentase dari keseluruhan simpanan sejak 16 Maret 2007.
Sedangkan pinjaman di bank kecil, terkecuali di 25 bank komersial terbesar AS, meningkat sebesar USD 253 miliar ke rekor USD 669,6 miliar, menurut data mingguan The Fed.
"Akibatnya, bank-bank kecil memiliki USD 97 miliar lebih banyak uang tunai di akhir pekan, menunjukkan bahwa sebagian dari pinjaman itu untuk membangun peti perang sebagai tindakan pencegahan jika para deposan meminta untuk menebus uang mereka," kata analis Capital Economics, Paul Ashworth.
Sementara itu, simpanan di bank-bank besar AS naik hingga USD 67 miliar dalam sepekan menjadi USD 10,74 triliun.
Secara keseluruhan, simpanan bank AS telah menurun setelah sempat naik tajam menyusul bantuan pandemi pada tahun 2020 dan awal 2021.
Kenaikan tersebut setara dengan sekitar setengah dari penurunan simpanan di bank-bank kecil, menunjukkan sebagian uang tunai mungkin telah masuk ke dana pasar uang atau instrumen lainnya.
Bank-bank besar juga meningkatkan pinjaman dalam seminggu, sebesar USD 251 miliar.
Advertisement
Usai Silicon Valley Bank Kolaps, Senator: Mau Kaya Jangan Kerja di Bank
Tutupnya Silicon Valley Bank (SVB) membuat resah para investor berbagai negara, termasuk China hingga ke Indonesia. Kegagalan SVB merupakan kegagalan bank terbesar nomor dua di Amerika Serikat. Tak heran jika hal tersebut mengingatkan masyarakat kepada krisis finansial 2008.
Forbes melaporkan bahwa 50 pemimpin di sektor teknologi meminta pemerintah di Washington DC agar bertindak untuk menyelamatkan SVB. Akan tetapi, Senator Elizabeth Warren memberikan kritik pedas ke dunia perbankan.
Senator Warren menyebut kolapsnya SVB akibat lobi-lobi untuk melakukan deregulasi, sehingga bank-bank lebih berani mengambil risiko.
Pada 2018, Kongres AS meloloskan UU Pertumbuhan Ekonomi, Peringanan Regulasi, dan Perlindungan Konsumen (S.2155). Aturan itu disetujui pemerintahan Donald Trump.
Situs Roosevelt Institute menyebut UU itu mengurangi ketatnya pengawasan kepada bank dengan aset besar pasca-krisis 2018. (Baca penjelasan di halaman selanjutnya.)
Setelah SVB kolaps, Elizabeth Warren pun meminta agar aturan kembali diperketat.
"Pekerjaan kita adalah memikirkan seluruh sistem. Itu artinya kita perlu Kongres bertindak. Kongres harus menggulung regulasi peringanan bank dari Trump. Kita harus membuat perubahan dalam hukum," ujar Elizabeth Warren saat wawancara dengan MSNBC, dikutip Kamis (16/3/2023).
Elizabeth Warren berkata aturan itu akan menambah pengawasan pemerintah, serta mengurangi pemikiran CEO di perbankan agar bisa "mendapat jutaan dolar, dan banyak bonus, dan pesawat jet".
Orang-orang yang ingin banyak duit pun diminta tidak bekerja di perbankan, karena sektor tersebut bukan untuk mengambil risiko.
"Perbankan seharusnya membosankan. Siapa pun yang ingin mengambil banyak risiko, dan menghasilkan banyak uang, harusnya tidak berada di perbankan," tegas Elizabeth Warren.