Liputan6.com, Jakarta Pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar USD 386 juta atau setara Rp 6,1 triliun (1 USD = Rp 15,859) untuk penanaman kembali kelapa sawit pada tahun 2023, guna memenuhi permintaan minyak nabati yang terus meningkat.
"Untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, Indonesia telah melakukan penanaman kembali seluas 200.000 hektar sejak tahun 2007 dan 180.000 hektar sedang dilakukan penanaman kembali tahun ini dengan alokasi anggaran sebesar USD 386 juta," kata Menko Airlangga dalam Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) 2023, di BICC, The Westin Resort Nusa Dua Bali, Kamis (2/11/2023).
Baca Juga
Sejauh ini, Pemerintah Indonesia telah menerapkan kebijakan pengelolaan hutan lestari yang mencakup sekitar 120,6 juta ha kawasan hutan, yang merupakan 63 persen dari total lahan yang tersedia.
Advertisement
Adapun kata Airlangga, Indonesia telah melakukan beberapa upaya untuk melestarikan kawasan hutan, yakni laju deforestasi Indonesia tahun 2019-2020 turun 75 persen menjadi 115 ribu hektar, terendah sejak tahun 1990 dan terus menurun.
Upaya selanjutnya, yaitu restorasi juga dilakukan pada area konsesi seluas kurang lebih 3,4 juta hektar pada tahun 2019 dan 3,6 juta hektar pada tahun 2020.
Minyak Nabati
Lebih lanjut, Airlangga menyampaikan, populasi dunia diperkirakan akan mencapai 9,8 miliar pada tahun 2050, yang memerlukan tambahan 200 juta ton produksi minyak nabati.
Menurutnya, kelapa sawit dapat memenuhi kebutuhan tersebut karenamenghasilkan 5 Metricton per Hectare (MT/Ha) dan hanya membutuhkan lahan seluas 40 juta Ha.
"Luas lahan yang dibutuhkan jauh lebih sedikit dibandingkan minyak nabati lainnya, seperti kedelai dan kanola, yang masing-masing membutuhkan lahan seluas 445 juta Ha dan 290 juta Ha," ujarnya.
Oleh karena itu, minyak sawit merupakan cara yang berkelanjutan dan efisien untuk memenuhi permintaan minyak nabati yang terus meningkat.
Selain itu, kelapa sawit juga mendukung penyediaan bahan bakar transportasi yang lebih ramah lingkungan, seperti Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan. Indonesia telah mengembangkan SAF yang dikenal dengan BioAvtur 2.4 persen atau J2.4.
Indonesia Tanam Kembali Lahan Sawit Seluas 180 Ribu Ha Tahun Ini
Industri kelapa sawit yang merupakan bagian integral dari ekonomi global sekaligus berperan penting dalam perekonomian nasional telah berhasil berkontribusi dalam penciptaan lapangan kerja produktif dan kesempatan kerja, ketahanan pangan, ketahanan energi, serta penyediaan barang-barang konsumsi. Hal tersebut turut berdampak pada penurunan tingkat kemiskinan di kalangan petani pedesaan termasuk bagi petani kecil.
Lebih jauh lagi, dengan perkiraan bahwa populasi dunia akan mencapai 9,8 miliar jiwa pada tahun 2050, dunia akan memerlukan tambahan 200 juta ton produksi minyak nabati pada saat tersebut.
“Minyak sawit merupakan cara yang berkelanjutan dan efisien untuk memenuhi permintaan minyak nabati yang terus meningkat. Kelapa sawit juga mendukung penyediaan bahan bakar transportasi yang lebih ramah lingkungan, seperti bahan bakar penerbangan berkelanjutan. Indonesia telah mengembangkan SAF yang dikenal dengan BioAvtur 2.4% atau J2.4,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat memberikan sambutan secara virtual dalam The 19th Indonesian Palm Oil Conference (IPOC) and 2024 Price Outlook, Kamis (2/11/2023).
Untuk meningkatkan produktivitas kelapa sawit, Indonesia telah melakukan penanaman kembali seluas 200.000 hektar sejak tahun 2007 dan seluas 180.000 hektar sedang dilakukan penanaman kembali di tahun ini dengan mengalokasikan anggaran sebesar USD386 juta.
Di tingkat global, inisiatif Uni Eropa melalui kebijakan European Union Deforestation Regulation (EUDR) untuk membatasi deforestasi yang disebabkan oleh kegiatan kehutanan dan pertanian di seluruh dunia, akan memberikan dampak langsung pada komoditas utama Indonesia yakni kelapa sawit, kopi, kakao, karet, kedelai, sapi, dan kayu.
“Terlepas dari kekhawatiran kami, Pemerintah siap berkolaborasi dengan Uni Eropa dalam membangun kerangka kerja yang mendorong pertanian berkelanjutan, termasuk produksi minyak nabati, dengan cara yang inklusif, holistik, adil, dan tidak diskriminatif. Sangat penting bagi Uni Eropa untuk mengakui dan menyadari sepenuhnya bahwa standar keberlanjutan nasional negara-negara produsen dapat memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk mengakses pasar Uni Eropa,” tegas Menko Airlangga Hartarto.
Advertisement
CPOPC
The Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC) juga telah menjalin komunikasi intensif dengan komisi Uni Eropa untuk mengatasi tekanan tersebut dan telah menghasilkan enam tim kerja termasuk inklusivitas petani kecil, skema sertifikasi yang relevan, ketertelusuran, data ilmiah mengenai deforestasi dan degradasi hutan, serta perlindungan data privasi.
Pemerintah juga telah mengembangkan clearing house untuk memastikan seluruh komoditas perkebunan yang akan diekspor dapat ditelusuri untuk menjamin pasar global bahwa produk-produk tersebut dihasilkan dari perkebunan yang berkelanjutan.
Pada kesempatan tersebut, Menko Airlangga juga menjelaskan bahwa pengembangan kelapa sawit berkelanjutan turut didorong melalui Indonesia Sustainable Palm Oil Plantation Certification System (ISPO).
Sertifikasi ISPO
Sertifikasi ISPO menjamin praktik produksi yang dilakukan oleh perusahaan dan petani kelapa sawit mengikuti prinsip dan kaidah keberlanjutan. Selain ISPO, Pemerintah Indonesia juga mendukung sertifikasi sukarela melalui skema Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).
“Industri kelapa sawit berkontribusi dalam menopang pemulihan ekonomi, serta aspek sosial dan lingkungan masyarakat. Dengan bekerja sama, kita dapat mencapai tujuan untuk perkebunan kelapa sawit yang berkelanjutan, pembangunan rendah karbon, berketahanan iklim dan berkelanjutan, serta penguatan industri minyak sawit dalam negeri,” pungkas Menko Airlangga.
Advertisement