Liputan6.com, Jakarta - "Nenek moyangku seorang pelaut. Gemar mengarung luas samudera,
.........
Baca Juga
Angin bertiup, layar terkembang. Ombak berdebur di tepi pantai."
Advertisement
Bait lagu tersebut mungkin masih familiar di telinga sebagian besar masyarakat. Potongan lirik dari bait kedua juga seakan mengisahkan kalau Indonesia dibangun oleh seorang nelayan. Bisa dibilang, menangkap ikan jadi pekerjaan yang tak henti dilakukan guna menyambung hidup.
Ya, lagu anak tersebut menegaskan posisi Indonesia sebagai negara maritim, dimana 2/3 luas wilayahnya adalah lautan. Ternyata, pemerintah menyadari peluang besar dalam pengembangan ekonomi nasional berbasis maritim yang disebut 'Ekonomi Biru'.
Bukan kaleng-kaleng, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mencatat, potensi ekonomi dari konsep tersebut mencapai USD 1.338 miliar per tahun atau setara Rp 20.000 triliun. Mayoritas dari potensi itu didapat dari sektor perikanan dengan taksiran ekonomi USD 787 miliar per tahun, atau setara Rp 12.255 triliun per tahun.
Nyatanya, angka keuntungan dalam hitungan uang tak jadi satu-satunya alasan. Ada kewajiban untuk menjaga keberlanjutan kawasan hingga sumber tangkapan ikan yang perlu juga jadi perhatian.
Melihat itu, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono tak patah arang. Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota pun segera diterapkan. Rencana terakhir, kuota penangkapan ikan akan dimulai pada musim penangkapan tahun 2025.
"PIT kita terapkan untuk kemajuan sektor perikanan tangkap dan juga menjaga keberlanjutan ekologi," ungkap Menteri Trenggono belum lama ini.
Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 28 tahun 2023 sebagai turunan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur. KKP juga mengeluarkan Surat Edaran Men-KP Nomor 1569 tentang Tahapan Pelaksanaan Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur pada 2 Oktober 2023.
Pada konteks kuota penangkapan ikan ini, ada 3 kategori yang diatur. Yakni, kuota industri, kuota nelayan lokal, dan kuota tangkapan bukan untuk tujuan komersial. Basis kuota ini akan jadi satu variabel dalam evaluasi secara kontinyu kedepannya.
"Kuota penangkapan saya pastikan utamanya untuk nelayan dan pelaku usaha perikanan dalam negeri. Maka dari itu saya minta teman-teman juga siap dengan mekanisme penangkapan yang baru ini. Perizinannya, kewajiban PNBP-nya, peralatannya seperti VMS, saya harap dilengkapi semuanya," tegas Menteri Trenggono.
Mengenai kuota penangkapan selama setahun, sambung Trenggono, mekanismenya pelaku usaha yang akan mengajukan jumlahnya. Sedangkan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang harus dibayar pelaku usaha nantinya berdasarkan hasil tangkapan, bukan berdasarkan kuota yang disetujui.
"Kalau kuota setahunnya 100 ribu ton misalnya, terus yang didapat 80 ribu ton, ya berarti PNBP yang dibayar ya 80 ribu ton itu," beber dia.
Contoh di Beberapa Wilayah
Berkaca pada potensi tangkapan ikan dan ekonomi biru, Pengamat Maritim dari Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas Strategic Center, Marcellus Hakeng Jayawibawa mencatat ada sejumlah daerah yang sudah bergerak dan mendulang untung.
Menurutnya, praktik berkonsep ekonomi biru sudah berjalan di berbagai wilayah di Indonesia, termasuk di Kota Bitung, Sulawesi Utara. Di Kota Bitung, industri pengolahan ikan berkembang pesat dan menjadi salah satu tujuan investasi bagi investor.
"Hal ini menunjukkan bahwa konsep ekonomi biru dapat menjadi peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian nasional," ungkapnya kepada Liputan6.com.
Sementara itu, pada sektor perikanan, ada industri pengolahan ikan di Kota Bitung, Sulawesi Utara hingga pengembangan perikanan budidaya di Nusa Tenggara Barat.
Ini baru sebagian kecil dari banyaknya wilayah Indonesia yang menyimpan potensi serupa. Sebagai negara kepulauan, laut digadang-gadang jadi penopang ekonomi di berbagai daerah pesisir Indonesia.
Kelompok nelayan pun ikut bersuara. Ketua Umum Front Nelayan Bersatu (FNB) Kajidin berharap kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota bisa berpihak pada nelayan lokal. Utamanya, meningkatkan kesejahteraan nelayan, menghidupkan industri perikanan, serta menjaga keberlanjutan ekologi.
“Harapannya KKP terbuka sesuai dengan komitmennya bahwa Menteri Kelautan dan Perikanan adalah Menteri Nelayan untuk memajukan nelayan. FNB akan selalu bersuara apabila dirasa ada hal yang perlu disuarakan,” kata dia saat berbincang dengan Menteri Trenggono.
Advertisement
Berkaca pada Kesuksesan Amerika Serikat (AS)
Terpisah, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita punya contoh sukses penerapan pembatasan tangkapan ikan di Amerika Serikat. Kebijakan ini punya pola yang mirip jika dibandingkan dengan poin-poin dalam PIT.
Dia mengisahkan, ada pembatasan penangkapan Ikan Tuna Sirip Biru di Amerika karena populasinya yang sudah mulai sedikit. Dengan kebijakan itu, supply dan demand Tuna disesuaikan, tidak boleh menangkap lebih dari quota nasional yang ditetapkan setiap tahunnya. Akibatnya, secara teknis, para nelayan tuna hanya boleh menangkap satu ekor ikan tuna (sirip biru) dalam sehari.
Pemerintah melakukan edukasi dan sosialisasi secara masif dan konsisten tentang bahaya punahnya ikan tuna sirip biru, sampai akhirnya menjadi konsensus publik bahwa populasi Tuna Sirip Biru memang harus dikendalikan secara baik.
"Bahkan nelayan akhirnya pun sangat mendukung karena sekalipun hidup mereka tergantung pada tangkapan Tuna Sirip Biru, tapi sustainability dan regenerasi ikan tuna sirip biru dianggap jauh lebih signifikan ketimbang pertimbangan teknis ekonomi semata, karena akan berimbas pada mata pencarian mereka di masa depan jika ikan tuna sirip biru punah," urai Ronny kepada Liputan6.com.
Adanya kebijakan itu menelurkan hitung-hitungan baru bagi keuntungan yang didapat nelayan. Nelayan mengincar ikan tuna sirip biru dengan ukuran 200-500 pon dengan harga berlaku USD 10-20 per pon. Hitungan ini dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan saat berlayar.
"Dengan asumsi sehari dapat satu ekor dengan berat median 250 pon dan harga median USD 15, maka hasil yang akan didapat bisa sekitar USD 3.750, dengan kurs Rp 15.500 per dolar AS, hasilnya sekitar Rp 58 juta. Di negara yang taraf hidup dan pendapatan perkapita tinggi seperti Amerika, angka tersebut terbilang cukup baik, yang berarti kehidupan nelayan di sana juga sangat baik," paparnya.
Nilai cuan itu perlu dipersiapkan secara matang, untuk mendapat tangkapan ukuran kakap, kapalnya harus kapal modern, dilengkapi dengan teknologi radar ikan dan alat pancing yang mumpuni. Artinya, pemerintah harus mendukung dan mendorong lahirnya inovasi teknologi kelautan yang ramah lingkungan, inovasi pembiayaan untuk nelayan agar bisa mendapatkan kapal-kapal modern tersebut, dan inovasi supply and demand agar pembatasan tangkapan Tuna Sirip Biru tetap layak secara ekonomi bagi kehidupan nelayan.
Pancing Investasi Negara Adidaya
Namun, tak bisa dipungkiri kalau pada periode awal sosialisasi aturan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, ada kekhawatiran investasi ke sektor maritim Indonesia bakal menurun. Tapi, hal itu langsung dipatahkan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono.
Trenggono bilang kalau ada dua negara adidaya yang tertarik menanamkan investasinya ke Indonesia menyusul penerapan PIT yang dinilai punya dampak positif terhadap keberlangsungan ekologi.
"Kalau investor, terus terang, dari Amerika pernah mengapresiasi kita, mereka mengatakan wah kalau Indonesia menerapkan kebijakan penangkapan terukur basisnya kuota, mereka suka," kata dia dalam Konferensi Pers di kantornya, Selasa (28/2/2023).
Tak hanya itu, Menteri Trenggono berujar kalau AS juga terkesan dengan aturan turunan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang memperhatikan ukuran penangkapan ikan. Dia menegaskan, beberapa jenis ikan, ukuran yang ditangkap telah disesuaikan.
"Lalu mempertanyakan juga, 'apakah kalau misalnya kapal yang menangkap ikan ukurannya juga diatur?' Saya katakan iya, kita ada peraturan menteri turunan daripada PP itu, yang mengatakan bahwa untuk ikan jenis tertentu yang ukurannya masih kecil harus dilepas kembali. Mereka senang, karena kalau itu terjadi mereka nanti rahun berikutnya lagi, ikan itu sudah besar dan sudah bisa ditangkap," paparnya.
Tak hanya AS, nyatanya China juga diakui menunjukkan ketertarikannya untuk menanam investasi di Indonesia. Kuota penangkapan ikan sendiri telah dilakukan oleh China di wilayah perairan yang dikuasainya. Hal ini terungkap pasca Menteri Trenggono melakukan pertemuan dengan pengusaha dari China.
"Mereka justru sudah tertib sekali bagaimana ekonomi biru atau menjaga laut ini supaya tidak barbar dan seterusnya, mereka mau masuk investasi di sektor perikanan dengan model dan cara seperti itu," paparnya.
Advertisement