Menakar Tantangan Investasi Ketenagalistrikan di Tengah Upaya Transisi Energi

Investasi sektor ketenagalistrikan mencapai USD 5,75 miliar dari target USD 6,64 miliar pada 2023, alias hanya tercapai 87 persen dari target. Nilai ini tercatat setara dengan capaian 2022 dan turun dari periode 2021 yang nilainya USD 6,71 miliar.

oleh Tira Santia diperbarui 29 Jan 2024, 08:53 WIB
Diterbitkan 27 Jan 2024, 11:31 WIB
Ilustrasi tarif Listrik Naik
Ilustrasi tarif Listrik Naik (Liputan6.com/Andri Wiranuari)

Liputan6.com, Jakarta Investasi sektor ketenagalistrikan di Indonesia dinilai telah memasuki titik jenuh. Para investor dinilai sangat hati-hati untuk mengeksekusi investasi. Tercatat banyak persoalan yang menghambat aliran investasi seperti ketidakpastian.

Investasi sektor ketenagalistrikan mencapai USD 5,75 miliar dari target USD 6,64 miliar pada 2023, alias hanya tercapai 87 persen dari target. Nilai ini tercatat setara dengan capaian 2022 dan turun dari periode 2021 yang nilainya USD 6,71 miliar. 

Kepala Peneliti Center of Food, Energy, and Sustainable Development Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra Talattov, mengatakan  investasi sektor energi di Indonesia cukup menantang. “Ini ikut jadi perhatian investor, apalagi buat mereka yang akan bergerak di EBT. Ketidakpastian bukan hanya dari regulasi belum jelas, tapi juga dari banyak faktor," ujar Abra Talattov.

Di sisi lain, Abra menekankan bahwa tantangan yang paling mendasar mengenai investasi sektor ketenagalistrikan adalah persoalan kondisi eksisting. Saat ini, kondisi demand tidak mampu menyerap produksi listrik yang sangat agresif dalam 10 tahun terakhir.

"Kondisi oversupply pada 2022 sekitar 6-7 GW, kemudian di 2023 masih ada sekitar 4 GW. Ini tercermin juga dari beberapa kali revisi RUPTL, di mana awalnya target pertumbuhan konsumsi listrik bisa tumbuh 8,7% per tahun, tapi realisasinya hanya 3,5% per tahun," ujarnya.

Indef pun mencatat kapasitas suplai listrik dengan energi listrik yang terjual itu surplus sekitar 25% dalam satu dekade terakhir, terutama setelah dicetuskannya mega proyek pembangkit listrik 35.000 MW.

Karena itu, menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional sekaligus perkembangan industri pengolahan merupakan kunci agar investasi ketenagalistrikan keluar dari titik jenuh. Terlebih, buat investasi terkait independent power plant (IPP), terkhusus lagi buat investor pembangkit EBT.

"Jadi jangan melihat isu investasi IPP, terutama pembangkit EBT, itu secara parsial. Harus lihat juga dari sisi demand, kemudian kebutuhan dari industri dan sektor-sektor unggulan. Ketika memasuki era transisi energi, kalau sisi demand tidak dioptimalkan, nantinya hanya akan menambah beban biaya pokok penyediaan listrik," tambahnya.

 

Kian Menantang

Ilustrasi pembangkit listrik panas bumi
Ilustrasi pembangkit listrik panas bumi

 

Terpisah, Pengamat Ekonomi Energi UGM Fahmy Radhi menilai bahwa saat ini investasi sektor ketenagalistrikan semakin menantang karena tren transisi energi. Di sisi lain, IPP batu bara pun masih dibutuhkan dan beberapa masih berproses untuk memulai operasi.

"Memang tata kelola dalam pembangkit listrik di Indonesia memungkinkan banyak pihak berebut kepentingan. Parahnya lagi, ketidakpastian itu banyak yang datang dari pengambil keputusan atau pengambil kebijakan. Hal ini pula yang ikut membuat investasi pembangkit EBT di Indonesia jadi kurang menantang," tutup Fahmy.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya