Melimpah di Indonesia, Biomassa Kayu jadi Solusi Tekan Emisi Karbon

Pemerintah mendukung pemanfaatan biomassa berbasis kayu dalam transisi energi. Hal ini pun dapat membuka lapangan pekerjaan baru sebab melibatkan masyarakat dalam pengadaan bahan bakunya.

oleh Septian Deny diperbarui 25 Mar 2024, 16:00 WIB
Diterbitkan 25 Mar 2024, 16:00 WIB
PLN berhasil melakukan uji coba penggunaan 75 persen biomassa Woodchips (kepingan kayu) untuk bahan bakar pengganti batu bara (cofiring) di PLTU Bolok dengan kapasitas 2x16,5 Megawatt (MW) di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). (Dok PLN)
PLN berhasil melakukan uji coba penggunaan 75 persen biomassa Woodchips (kepingan kayu) untuk bahan bakar pengganti batu bara (cofiring) di PLTU Bolok dengan kapasitas 2x16,5 Megawatt (MW) di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). (Dok PLN)

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah mendukung pemanfaatan biomassa berbasis kayu dalam transisi energi. Hal ini pun dapat membuka lapangan pekerjaan baru sebab melibatkan masyarakat dalam pengadaan bahan bakunya.

Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kemenko Marves Nani Hendiarti mengatakan, Kemenko Marves menjalankan fungsi sinkronisasi, koordinasi dan pengendalian dalam mewujudkan target biomassa berbasis kayu nasional.

"Sehingga perlu dilaksanakan rangkaian kegiatan pemberdayaan, diseminasi dan advokasi kebijakan serta mewujudkan standar produk biomassa kayu berasal dari sumber yang lestari dan berkelanjutan," kata Neni, Senin (25/3/2024).

Di samping itu, Kemenko Marves turut aktif dalam mendorong terbitnya Peraturan Menteri ESDM No 12 Tahun 2023 tentang Pemanfaatan Bahan Bakar Biomassa sebagai Campuran Bahan Bakar pada PLTU.

Peraturan menteri ini telah disampaikan pada saat COP 28 di Dubai pada Desember lalu dan segera ditindaklanjuti dengan penandatanganan MoU antara PT PLN EPI dengan salah satu pemasok bahan biomassa.

“Hal ini menunjukkan kepada masyarakat internasional bahwa pemerintah Indonesia sangat serius dalam upaya untuk mengalihkan industri yang berbasiskan batu bara ke energi terbarukan,” jelas Nani.

Nani menambahkan, pemanfaatan biomassa kayu bersumber dari pemulihan lahan kritis, terdegradasi, hingga multi usaha kehutanan. Oleh sebab itu, kata dia, diperlukan kerja bersama pemerintah, BUMN, dan asosiasi terkait untuk mengembangkan sirkuler ekonomi.

Sebagai Subholding PLN yang bertugas menyediakan energi untuk sektor kelistrikan, PT PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) pun berkomitmen memperkuat ekosistem biomassa, dengan melibatkan masyarakat dalam menyediakan bahan bakunya.

Direktur Utama PLN EPI Iwan Agung Firstantara mengungkapkan, pemanfaatan biomassa merupakan wujud nyata komitmen PLN dalam meningkatkan bauran EBT di tanah air sebesar 23 persen di tahun 2025.

“Kebijakan substitusi Co-firing Biomassa intensif dilakukan di Indonesia sebagai langkah konkret dalam mereduksi emisi karbon guna mencapai target NZE di tahun 2060 atau lebih cepat," tutur Iwan.

 

Peran Vital

Sebanyak 28 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PT PLN (Persero) menerapkan co-firing atau pencampuran biomassa dengan batu bara.
Sebanyak 28 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PT PLN (Persero) menerapkan co-firing atau pencampuran biomassa dengan batu bara.

Menurut Iwan, co-firing Biomassa juga memiliki peran yang vital dalam akselerasi transisi energi, di mana energi bersih ini akan berkontribusi sebesar 3,6 persen dari total target bauran EBT 23 persen di tahun 2025.

Iwan melanjutkan, Co-firing Biomassa memiliki keunggulan Levelized Cost of Electricity (LCOE) terendah dibanding akselerasi ke EBT lainnya. Tak hanya itu, masyarakat lokal juga akan memainkan peran penting dalam menyediakan bahan baku biomassa.

Upaya penyediaan bahan baku biomassa sebagai diversifikasi sumber energi pun mendapat dukungan dari Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X mewakili Pemerintah Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta.

"Inisiatif yang digagas oleh Kemenko Marves dan PLN Energi Primer Indonesia ini sangatlah penting dan strategis. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat menjadi kunci dalam menghadapi krisis energi ini. Kemitraan yang kuat antara sektor publik dan swasta dapat mendorong inovasi, investasi, dan pengembangan infrastruktur yang dibutuhkan untuk memperkuat sistem energi kita," ungkap Sri Sultan Hamengkubuwono X.

Asisten Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Produk Kehutanan dan Jasa Lingkungan, Mohamad Siradj Parwito menyampaikan Biomassa kayu Indonesia tidak bersumber dari deforestasi melainkan dari pemulihan lahan terdegradasi. Ini terus dikembangkan agar terwujud ekosistem ekonomi sirkuler rendah karbon dan zero waste. Salah satu contohnya adalah Green Economy Village yang dikembangkan bersama-sama dengan PT PLN EPI,

 

Target Penurunan Emisi

PT PLN (Persero) sukses menerapkan implementasi biomassa sebesar 6 persen untuk bahan bakar PLTU Paiton unit 1 dan 2. (Dok PLN)
PT PLN (Persero) sukses menerapkan implementasi biomassa sebesar 6 persen untuk bahan bakar PLTU Paiton unit 1 dan 2. (Dok PLN)

Sementara itu Direktur Biomassa PLN Energi Primer Indonesia (EPI) Antonius Aris Sudjatmiko mengatakan, untuk mencapai target penurunan emisi NDC tahun 2030 dan NZE 2060, diperlukan quickwin dari serangkaian program yang memiliki biaya produksi kompetitif.

"Co Firing Biomassa pada PLTU adalah salah satu quickwin paralel menunggu kesiapan teknologi dan industri energi terbarukan lainnya. Program ini membuka lapangan pekerjaan paling banyak dan memiliki value creation green circular economy dengan melibatkan banyak UMKM dibanding energi terbarukan lainnya," ujarnya.

Aris menjelaskan, potensi pemanfaatan sumber bahan baku pun bermunculan. Mulai dari berbagai jenis limbah baik dari pertanian, perkebunan, pertukangan, kehutanan, sampah maupun pemanfaatan lahan kering.

"Potensi itu tersebar dan tersedia untuk kebutuhan minimal 10 juta ton biomassa, namun perlu didukung dengan regulasi dari Kementerian Lembaga terkait untuk sumber biomassa yang lestari dan berkelanjutan," kata Aris.

Dia mencontohkan, PLN EPI telah bekerja sama dengan Kesultanan Yogyakarta dalam mengembangkan kawasan ekonomi hijau (green economy) untuk mendukung NZE, ESG hingga SDG's. Co Firing biomassa, kata dia, dalam hal ini memberikan porsi nilai terbesar bagi UMKM dan perusahaan lokal dalam penyediaan feedstock dan proses bahan baku biomassa.

"Lebih dari 85 persen biaya produksi berputar di UMKM dan Usaha Kecil Lainnya yang dapat menstimulasi pertumbuhan ekonomi di masyarakat sekitar," ujarnya.

Dampak berganda yang signifikan dalam pengembangan biomassa perlu dukungan dan kerjasama seluruh pemangku kepentingan dan elemen. Selain itu juga masih diperlukan standarisasi penghitungan karbon dari ekosistem biomassa dari hulu ke hilir.

"Dukungan Kemenkeu untuk pengurangan PPN penyediaan biomassa termasuk dukungan untuk ekonomi kerakyatan, pemberian subsidi/kompensasi APBN & skema pendanaan usaha mikro/kecil juga diperlukan," tutup Aris.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya