Â
Liputan6.com, Jakarta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, meminta Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) bisa segera dirampungkan.
Baca Juga
Hal itu diutarakan oleh Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, usai mengikuti rapat pimpinan (rapim) perdana bersama Bahlil Lahadalia di Kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (20/8/2024).
Advertisement
"Tadi tuh masalah undang-undang, RUU nih harus segera diselesaikan, RUU EBET. Ini masih belum terjadwalkan untuk sidang lagi. Tadi beliau juga meminta itu dipercepat," kata Eniya.
Dengan akselerasi tersebut, pemerintah saat ini ingin agar masa pemerintahan berikutnya di bawah Prabowo Subianto tak lagi kerepotan dalam menyusun regulasi terkait energi hijau.
"Kalau UU ada, agar pemerintahan berikutnya itu tidak terhambat membaca lagi atau mengidentifikasi lagi RUU-nya," ujar Eniya.
Didesak Banyak Pelaku Usaha
Selain itu, penyelesaian RUU EBET ini juga didorong lantaran pihaknya banyak mendapat desakan dari para pelaku usaha agar bisa mengikuti perdagangan karbon.
"Karena begitu RUU disahkan, kita bisa lari ke carbon market trading di sektor energi. Sudah banyak sekali yang minta bisa trading. Karena dengan investasi renewable, harapannya mereka tuh trading carbon. Itu kita fasilitasi di undang-undang yang ada. Itu yang paling banyak," ungkapnya.
Padahal sebelumnya, Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, memperkirakan bahwa RUU EBET tidak dapat disahkan dalam masa sidang DPR periode sekarang.
Â
Sulit Selesai Tahun Ini?
Mulyanto, yang juga anggota Panja RUU EBET, pesimistis RUU tersebut dapat diselesaikan tahun ini, karena relatif berjalan lambat dan alot, khususnya terkait dengan pasal power wheeling.
"Jangankan disahkan di tingkat Paripurna DPR RI, tahap pengambilan keputusan di tingkat I Pleno Komisi VII saja belum," kata Mulyanto beberapa waktu lalu.
Terkait substansi, menurut Mulyanto, Fraksi PKS sendiri menolak dimasukkannya aturan power wheeling dalam RUU EBET tersebut. Aturan tersebut membolehkan pihak pembangkit swasta untuk menjual listrik EBET yang diproduksinya secara langsung kepada masyarakat dengan menyewa jaringan transmisi/distribusi milik negara.
"Norma ini secara langsung akan mereduksi peran PLN," sebut Mulyanto.
Ia menegaskan penolakan ini soal prinsip, karena bertabrakan dengan norma yang telah ada. Pihak swasta tidak dapat menjual listrik yang diproduksinya secara langsung kepada masyarakat, sebab listrik dikuasai negara dan pengusahannya dilakukan oleh badan usaha milik negara/daerah.
PLN merupakan single buyer listrik dari pembangkit yang ada, sekaligus menjadi single seller listrik kepada para pengguna. Ini adalah prinsip monopoli negara atas sektor kelistrikan sebagai amanat konstitusi agar listrik tidak dikuasai orang per orang, yang akhirnya harganya ditentukan oleh mekanisme pasar.
"Menjadikan pihak swasta dapat menjual listrik yang diproduksinya secara langsung kepada masyarakat jelas-jelas adalah liberalisasi sektor kelistrikan," tegasnya.
Â
Â
Advertisement
Soal Power Wheeling
Untuk diketahui, DIM Pemerintah terkait power wheeling dalam pasal 24A ayat (2) adalah pemenuhan kebutuhan konsumen akan penyediaan tenaga listrik yang bersumber dari Energi Baru/Energi Terbarukan.
Sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dilaksanakan berdasarkan rencana usaha penyediaan tenaga listrik yang memprioritaskan Energi Baru/Energi Terbarukan dan dapat dilakukan dengan pemanfaatan bersama jaringan transmisi dan/atau jaringan distribusi melalui mekanisme sewa jaringan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.