BI Pastikan Deflasi 3 Bulan Berturut-turut Bukan Tanda Resesi

Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono, menyebutkan deflasi biasanya dipengaruhi oleh koreksi komponen harga pangan bergejolak.

oleh Tira Santia diperbarui 26 Agu 2024, 08:07 WIB
Diterbitkan 26 Agu 2024, 08:07 WIB
BI Pastikan Deflasi 3 Bulan Berturut-turut Bukan Tanda Resesi
Bank Indonesia (BI) menjelaskan, terjadinya deflasi selama tiga bulan terakhir bukan tanda ada resesi.(Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta - Bank Indonesia (BI) menjelaskan, terjadinya deflasi selama tiga bulan terakhir bukan tanda ada resesi. Melainkan, deflasi yang dialami Indonesia dalam kurun waktu tersebut disebabkan oleh penurunan inflasi pada komponen harga pangan bergejolak.

Diketahui, resesi dapat terjadi lantaran disebabkan oleh beberapa hal di antaranya guncangan ekonomi mendadak, perubahan ekonomi, inflasi tinggi, pengelolaan utang yang tidak sehat, gelembung aset, dan tingkat deflasi yang signifikan.

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI, Juli Budi Winantya, mengatakan meskipun komponen volatile food terkoreksi di bawah 5 persen, padahal sebelumnya mencapai 9 persen. Namun, inflasi inti tetap stabil lantaran ekspektasi yang terjaga dan kapasitas ekonomi yang mencukupi.

"Kalau terkait daya beli segala macam itu dikaitkan dengan inflasi inti. Tapi dalam press conference kemarin inflasi inti kalau kami lihatnya dari ekspektasi yang terjaga, dari kapasitas perekonomian yang masih cukup dan dari imported inflation yang terkendali,” kata Juli dalam diskusi bersama media, di Bali, ditulis Senin (26/8/2024).

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono, menyebutkan deflasi biasanya dipengaruhi oleh koreksi komponen harga pangan bergejolak. Bahkan beberapa waktu lalu inflasi harga pangan yang tinggi telah menyebabkan kekhawatiran terhadap masyarakat terkait ketahanan pangan dalam negeri.

Oleh karena itu, baik inflasi harga pangan maupun deflasi juga menjadi perhatian Bank Indonesia untuk menjaga dinamika perekonomian dan inflasi dalam negeri tetap stabil.

 

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.


Deflasi pada Juni 2024

Inflasi
Pembeli membeli sayuran di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya deflasi 0,08 persen pada Juni 2024 jika dihitung secara bulanan, atau terjadi penurunan indeks harga konsumen dari 106,37 pada Mei 2024 menjadi 106,28 pada Juni 2024. Deflasi bulan Juni 2024 lebih dalam dibandingkan Mei 2024, dan merupakan deflasi kedua pada 2024. Kemudian, pada Juli 2024 juga terjadi deflasi secara bulanan dari Juni 2024 ke Juli 2024.

Besaran deflasi tercatat sebesar 0,18 persen di Juli 2024. Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan deflasi ini diakibatkan oleh penurunan indeks harga konsumen dari bulan sebelumnya. "Pada Juli 2024 terjadi deflasi sebesar 0,18 persen secara bulanan atau terjadi penurunan indeks harga konsumen dari 106,28 pada Juni 2024 menjadi 106,09 pada Juli 2024," kata Amalia dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis, 1 Agustus 2024.


BPS: Indonesia Deflasi 0,18 Persen di Juli 2024

Inflasi
Pedagang melayani pembeli di pasar, Jakarta, Jumat (6/10). Dari data BPS inflasi pada September 2017 sebesar 0,13 persen. Angka tersebut mengalami kenaikan signifikan karena sebelumnya di Agustus 2017 deflasi 0,07 persen. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat adanya deflasi secara bulanan dari Juni 2024 ke Juli 2024. Besaran deflasi tercatat sebesar 0,18 persen di Juli 2024.

Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti menyampaikan deflasi ini diakibatkan oleh penurunan indeks harga konsumen dari bulan sebelumnya.

"Pada Juli 2024 terjadi deflasi sebesar 0,18 persen secara bulanan atau terjadi penurunan indeks harga konsumen dari 106,28 pada Juni 2024 menjadi 106,09 pada Juli 2024," kata Amalia dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis (1/8/2024).

Dia juga mencatat, angka deflasi ini lebih dalam ketimbang deflasi pada Mei dan Juni 2024 lalu. Ini menjadikan deflasi ketiga selama 2024 ini.

"Deflasi bulan Juli 2024 ini lebih dalam dibandingkan Juni 2024 dan merupakan deflasi ketiga pada 2024," ungkapnya.

Sementara itu, jika dilihat secara tahunan, Juli 2024 ini mengalami inflasi 2,13 persen dari Juli 2023 lalu.

"Sementara itu secaya year on year terjadi inflasi 2,13 persen dan secara tahun kalender year to date terjadi inflasi sebesar 0,89 persen," paparnya.

Kelompok Pengeluaran Penyumbang Deflasi

Kelompok pengeluaran penyumbang deflasi bulanan terbesar adalah makanan minuman dan tembakau dengan deflasi sebesar 0,97 persen dan memberikan andil deflasi sebesar 0,28 persen.

Namun, dicatatkan juga ada komoditas yang memberikan andil inflasi secara bulanan. Antara lain cabai rawit dan beras dengan andil inflasi masing-masing sebesar 0,04 persen.

"Emas perhiasan, kopi bubuk, kentang, sigaret kretek mesin dan sigaret krekek tangan dengan andil inflasi masing-masing sebesar 0,01 persen. Catatan lainnya adalah kelompok pendidikan juga memberikan andil inflasi terbesar yaitu 0,04 persen atau mengalami inflasi sebesar 0,69 persen," Amalia menambahkan.

 


Data BPS: 32 Provinsi Alami Deflasi, Sumatera Barat Terdalam pada Juli 2024

Dipengaruhi Beragam Faktor, Daya Beli Masyarakat Menengah Menurun
Penurunan daya beli dipengaruhi sejumlah faktor yaitu deflasi tiga bulan berturut-turut, menurunnya kinerja industri manufaktur. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sebanyak 32 provinsi di Indonesia mengalami deflasi pada Juli 2024. Catatan deflasi terdalam terjadi di Sumatera Barat dengan deflasi 1,07 persen.

Plt Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti menuturkan, 32 provinsi dari 38 provinsi di Indonesia mengalami deflasi. Sementara itu, 6 provinsi lainnya mengalami inflasi pada Juli 2024 ini.

"Sebanyak 32 dari 38 provinsi Indonesia mengalami deflasi sedangkan 6 lainnya mengalami inflasi," kata Amalia dalam konferensi pers, di Jakarta, Kamis (1/8/2024).

Adapun, 6 provinsi yang mengalami inflasi antara lain Papua Barat Daya dengan angka 0,25 persen, Papua Barat dengan 0,13 persen, Papua Tengah dengan 0,12 persen. Lalu, Bali dengan 0,10 persen, Jawa Barat dengan 0,06 persen, dan Jawa Timur dengan 0,04 persen.

"Deflasi terdalam sebesar 1,07 persen terjadi di Sumatera Barat. Sementara itu, inflasi tertinggi terjadi di Papua Barat Daya sebesar 0,25 persen," ucap Amalia.

Jika dilihat dari sebaran wilayahnya, di Pulau Sumatera deflasi terdalam dialami Sumatera Barat dengan 1,07 persen, sementara deflasi terendah terjadi di Aceh dengan 0,11 persen.

Lalu, di Pulau Jawa, deflasi terdalam dialami Provinsi Banten dengan 0,24 persen dan inflasi tertinggi di Jawa Barat dengan 0,06 persen.

Kawasan Bali-Nusa Tenggara mencatatkan deflasi terdalam di Nusa Tenggara Barat sebesar 0,35 persen dan inflasi tertinggi di Bali dengan 0,10 persen.

Kalimantan mencatatkan deflasi terendah di Kalimantan Utara dengan 0,01 persen dan deflasi terdalam di Kalimantan Tengah 0,68 persen. Di Sulawesi, tercatat deflasi terendah di Sulawesi Utara dengan 0,11 persen dan deflasi terdalam di Gorontalo dengan 0,95 persen.

Serta, Maluku-Papua mencatatkan inflasi tertinggi di Papua Barat Daya dengan 0,25 persen dan deflasi terdalam di Papua Selatan dengan 0,92 persen.

 

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya