Butuh Rp 45 Triliun Buat Jalankan Proyek Prabowo Campuran Sawit B50

Biodiesel dapat diandalkan untuk menjadi alternatif mengganti bahan bakar fosil yang mulai terbatas pasokannya, dan biodiesel berperan strategis karena memiliki pengaruh positif dalam berbagai aspek khususnya aspek lingkungan.

oleh Tira Santia diperbarui 04 Sep 2024, 16:20 WIB
Diterbitkan 04 Sep 2024, 16:20 WIB
Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)  Joko Supriyono menilai untuk mengimplementasikan biodisel 50 (B50) secara massal diperlukan anggaran yang besar. (Tira/Liputan6.com)
Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI)  Joko Supriyono menilai untuk mengimplementasikan biodisel 50 (B50) secara massal diperlukan anggaran yang besar. (Tira/Liputan6.com)

Liputan6.com, Jakarta Presiden terpilih Prabowo Subianto mengungkapkan bahwa ia akan menerapkan kewajiban pencampuran biodiesel berbasis minyak kelapa sawit sebesar 50 persen pada awal tahun depan.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) menilai ide Prabowo tersebut sulit terwujud. Untuk mengimplementasikan biodisel 50 (B50) secara massal diperlukan anggaran yang besar.

Dewan Pembina GAPKI Joko Supriyono, mengatakan untuk mengimplementasikan B50 berdasarkan perhitungannya dibutuhkan anggaran sebanyak Rp 45 triliun.

Sementara untuk memperoleh anggaran sebanyak itu harus dibarengi dengan peningkatan ekspor sawit. Minimal ekspor bisa mencapai 39 juta ton per tahun.

“Pemerintah baru mencanangkan B50, apakah kita bisa? Bisa. Tapi pertanyaannya supaya kita bisa B50 kita butuh duitnya Rp45 triliun, supaya kita punya duit Rp45 triliun kita harus ekpsor 39 juta ton per tahun,” kata Joko dalam Bedah Buku GAPKI, di Jakarta, Rabu (4/9/2024).

Sebelumnya, pada Agustus 2024 lalu Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman melakukan soft launching Biodiesel B50 di Kalimantan Selatan dan mencatatkan sejarah kemandirian energi nasional yang menjadi mimpi besar Indonesia untuk 5-10 tahun kedepan.

Peluncuran tersebut sebagai komitmen Pemerintah yang terus berupaya mewujudkan kemandirian energi nasional, salah satunya dengan mengakselerasi implementasi pengembangan biodiesel B50.

Pasalnya, Biodiesel dapat diandalkan untuk menjadi alternatif mengganti bahan bakar fosil yang mulai terbatas pasokannya, dan biodiesel berperan strategis karena memiliki pengaruh positif dalam berbagai aspek khususnya aspek lingkungan.

Sawit Sumbang Rp 88,7 Triliun ke APBN 2023, Bagaimana Kebalikannya?

Potret Pekerja Perkebunan Kelapa Sawit di Aceh
Seorang pekerja sedang menebang pohon di perkebunan kelapa sawit di Sampoiniet, provinsi Aceh (7/3/2021). Kelapa sawit merupakan tanaman perkebunan yang memiliki produksi terbesar di Kabupaten Aceh. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

Sebelumnya, Analis Kebijakan Madya Pusat Kebijakan Pendapatan Negara (PKPN) Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nursidik Istiawan mengungkapkan, sektor kelapa sawit telah menyumbang Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara (APBN) sebesar Rp 32,4 triliun dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Pungutan Ekspor (PE) pada 2023.

Sedangkan untuk pajak, industri sawit telah menyumbang sebesar Rp 50,2 triliun untuk APBN dan Bea Keluar (BK) sebesar Rp 6,1 triliun. Nursidik menjelaskan, kontribusi perkebunan sawit pada APBN akan menjadi feedback bagi pelaku industri di lapangan.

“APBN menyediakan fasilitas perpajakan dan penerimaan PE ke sektor sawit (BPDKS). Dana BPDPKS digunakan untuk sawit dalam bentuk insentif tarif seperti biodiesel, peremajaan sawit rakyat (PSR), dan lainnya,” kata Nursidik dalam acara Press Tour Belitung 2024, Kontribusi Sawit untuk APBN dan Perekonomian, Selasa (27/8/2024).

Nursidik menuturkan dukungan APBN untuk perkebunan sawit pada 2023 yaitu berupa insentif biodiesel senilai Rp 18,5 triliun, Peremajaan senilai Rp 1,7 triliun, Riset senilai Rp 0,1 triliun, dan lainnya Rp 0,5 triliun.

Pergeseran Ekspor

Tandan buah segar di pabrik pengolahan kelapa sawit (Foto: PT Austindo Nusantara Jaya Tbk/ANJT)
Tandan buah segar di pabrik pengolahan kelapa sawit (Foto: PT Austindo Nusantara Jaya Tbk/ANJT)

Pada kesempatan yang sama, Nursidik menyebut ada pergeseran dari sisi ekspor yaitu ekspor didominasi oleh produk turunan sejak 2011 dan semakin meningkat dari tahun ke tahun.

“Ini menunjukkan hilirisasi sawit di Indonesia berkembang dengan baik sebagai perbandingan di 2023 Sawit ekspor sawit 10 persen sedangkan produk turunan 90 persen,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya