Awas Terjerat Hukum, YLKI Minta Konsumen Tak Asal Sebar Keluhan di Media Sosial

Masyarakat diminta untuk tidak main asal menyebarluaskan atau viral di media sosial apabila menerima barang/jasa tidak sesuai dan ingin mengajukan keluhan. Langkah ini dilakukan agar masalah yang ada dapat terselesaikan dengan baik tanpa implikasi hukum terhadap konsumen.

oleh Septian Deny diperbarui 25 Sep 2024, 11:44 WIB
Diterbitkan 25 Sep 2024, 11:44 WIB
Media sosial sebelum tidur
Masyarakat diminta untuk tidak main asal menyebarluaskan atau viral di media sosial apabila menerima barang/jasa tidak sesuai dan ingin mengajukan keluhan. Langkah ini dilakukan agar masalah yang ada dapat terselesaikan dengan baik tanpa implikasi hukum terhadap konsumen. (Foto: Freepik.com)

Liputan6.com, Jakarta Masyarakat diminta untuk tidak main asal menyebarluaskan atau viral di media sosial apabila menerima barang/jasa tidak sesuai dan ingin mengajukan keluhan. Langkah ini dilakukan agar masalah yang ada dapat terselesaikan dengan baik tanpa implikasi hukum terhadap konsumen.

"Nah untuk media sosial itu merupakan langkah terakhir apabila tidak bisa diselesaikan secara internal," kata Ketua Bidang Pengaduan Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Rio Priambodo dikutip Rabu (25/9/2024)..

Rio menjelaskan bahwa ada tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam mengajukan keluhan sebelum konsumen bisa mengunggah di media sosial. Dia melanjutkan, tahapan pertama adalah mengadukan melalui jalur resmi atau pengaduan konsumen dalam bentuk hotline hingga customer care via nomor aduan atau admin media sosial.

Dia meneruskan, langkah ini penting untuk diambil lebih dulu agar masalah yang ada bisa terselesaikan dengan baik dan tidak semakin buruk. Dia melanjutkan, mengeluh ke layanan internal perusahaan juga akan dikonfirmasi lembaga konsumen apapun, termasuk YLKI apabila menerima laporan dari masyarakat.

"Mengadukan kepada internal perusahaan ini paling penting. Bahkan kalau YLKI menerima pengaduan, kami juga akan menanyakan sudah ada suatu korespondensi kepada pelaku usaha belum? sudah ada sudah mengadu ke pelaku usaha belum? itu yang harus diklarifikasi sehingga ada check and balance," katanya.

Rio mengatakan, ketika sudah mengadu dan tidak ada respon atau jawaban atau penyelesaian sengketa yang diharapkan konsumen baru bisa ditindaklanjuti. Dia menambahkan, apabila hal itu terjadi baru konsumen bisa memilih menyebarluaskan di media sosial atau naik ke tahap arbitrase.

"Bahkan YLKI beberapa kali menangani kasus yang itu digugat balik oleh pelaku usaha karena memang tidak mengikuti alur dan memilih untuk di viralkan dulu," katanya.

 

Dampak Hukum

Ilustrasi hukum, keadilan
Ilustrasi hukum, keadilan. (Image by Freepik)

Rio mengatakan, dampak hukum inilah yang YLKI tidak inginkan menimpa setiap konsumen yang mengadu atas masalah produk/jasa. Dia mengatakan, menyebarluaskan masalah di media sosial bisa dianggap oleh pelaku usaha sebagai komplikasi tersendiri.

"Jadi langkah awal ini sangat penting agar konsumen tidak salah langkah, sebelum akhirnya eskalasi ke tahap yang lebih tinggi yakni pengadilan dan alternatif terakhir adalah medsos," katanya.

Advokat LKBH FH UPN Veteran Jakarta, Amodra Mahardika menjelaskan bahwa aduan terhadap pelaku usaha juga harus berdasarkan bukti-bukti yang kuat. Dia melanjutkan, fakta-fakta ini juga bisa diunggah ke dunia maya nantinya apabila aduan tidak direspon oleh pelaku usaha.

"Nah jika sudah mengadu 3 kali dan tidak ditanggapi, mungkin baru lah kita boleh upload di media sosial. Memang butuh waktu tapi itu perlu dilakukan," katanya.

Amodra mengatakan, unggahan yang dilakukan ke media sosial nantinya juga harus menggunakan bahasa yang santun dan tidak merendahkan pelaku usaha. Dia melanjutkan, aduan di media sosial memang merupakan cara instan bagi konsumen untuk mendapat keadilan. Namun langkah ini tidak selalu dipandang positif oleh pelaku usaha.

"Memang hak itu perlu diperjuangkan tetapi harus dilakukan dengan cara-cara yang semestinya atau ada SOP-nya (standar operational procedure), jadi medsos cara terakhir," katanya.

Subsidi KRL Jabodetabek Bakal Berbasis NIK, YLKI: Kebijakan Absurd!

FOTO: PPKM Level 4, Jumlah Penumpang KRL Naik 25 Persen
KRL melintas di Stasiun Jatinegara, Jakarta, Selasa (27/7/2021). VP Corporate Secretary KAI Commuter Anne Purba mengungkapkan jumlah penumpang KRL mengalami peningkatan hingga 25 persen sejak penerapan PPKM Level 4. (merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti wacana pemerintah untuk mengubah skema subsidi KRL Jabodetabek berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK). Wacana tersebut dinilai kurang tepat bahkan absurd.

Pengurus Harian YLKI, Agus Suyatno, menegaskan bahwa kebijakan itu kurang tepat untuk diterapkan.

"Terkait penggunaan NIK untuk penyaluran subsidi KRL, ini adalah kebijakan yang absurd, kebijakan yang aneh menurut YLKI," kata Agus kepada Liputan6.com, Jumat (30/8/2024).

Dia juga memandang bahwa kebijakan itu akan sulit diterapkan serta akan menimbulkan kekacauan di kalangan pengguna layanan.

"Selain akan sulit diimplementasikan di lapangan, juga potensi terjadinya chaos akan terbuka," tegasnya.

Agus menilai, jika tujuannya adalah menaikkan tarif, seharusnya pemerintah secara gamblang mengungkap rencana tersebut. Dengan begitu, akan ada sosialisasi yang tepat sasaran.

 

Potensi Risiko

Ada Pergantian Wesel, KRL Beroperasi Hanya Sampai Stasiun Manggarai
Kereta commuter line melintas di Stasiun Manggarai, Jakarta, Kamis (13/2/2020). PT KCI melakukan rekayasa perjalanan KRL Bogor dan Bekasi terkait penggantian wesel atau persimpangan rel di stasiun Gambir dan Jakarta Kota. (merdeka.com/Magang/Muhammad Fayyadh)

Dia menyayangkan skema tersebut menjadi pilihan. Kekhawatirannya adalah munculnya dua tarif berbeda, padahal masyarakat menggunakan layanan yang sama.

"Jadi kalau pemerintah, dalam hal ini Kemenhub, ingin melakukan penyesuaian tarif, sebaiknya memang dengan terbuka menyatakan akan ada penyesuaian tarif daripada menggunakan sistem dua tarif berbeda," jelasnya.

"Yang satu menggunakan NIK kemudian mendapat subsidi, sementara yang lain tidak. Ini kan satu layanan, satu moda, tetapi dengan tarif yang berbeda, itu justru akan membingungkan konsumen," sambungnya.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya