Liputan6.com, Jakarta - Tur pramusim sudah menjadi praktik normal dalam sepak bola modern. Klub pergi ke berbagai penjuru dunia untuk mempromosikan diri.
Tujuannya demi memperkaya diri. Klub bisa menambah pendapatan seiring meningkatnya jumlah penggemar serta minat terhadap identitas mereka.
Baca Juga
Meski baru populer di abad ke-21, kebijakan tur pramusim sebenarnya sudah terjadi beberapa dekade sebelumnya. Namun, misi utamanya tetap sama yakni mencari pemasukan ekstra.
Advertisement
Barcelona salah satunya. Sempat di ambang bangkrut, mereka pergi ke Meksiko dan Amerika Serikat. Uang yang didapat dari lawatan tersebut kemudian menyelamatkan klub hingga jadi salah satu nama terbesar saat ini.
Ada pula klub AS Dallas Tornado yang pergi ke Vietnam. Melakoni 32 laga di lima benua dan 26 negara pada tur berdurasi tujuh bulan, mereka berusaha mendongkrak nama klub.
Selain dua klub itu, ada cerita unik lain melibat nama lain saat melakoni tur pramusim. Kisah ini melibatkan Vasas asal Hungaria.
Saksikan Video Pilihan Berikut Ini
Godaan Dunia Barat
Vasas merupakan klub yang didirikan pekerja baja dan besi di Budapest. Mereka pergi ke Prancis pada 1961 untuk melakoni sejumlah uji coba. Datang sebagai juara baru Hungaria, Vasas berhadap membawa rekening klub membengkak seusai perjalanan ini.
Datang dari Eropa Timur dengan ideologi komunisme kental, kunjungan ke barat sebenarnya memiliki risiko besar. Pemain atau staf klub berpotensi terpapar godaan liberalisme.
Namun, petinggi Vasas sudah mengantisipasi. Mereka mengurung skuat di tempat terpencil dan melarang rombongan keluar, sekalipun untuk cuci mata, saat tidak bertanding. Kalaupun berwisata, rencana perjalanan telah diatur sebelumnya.
Advertisement
Kunjungan ke Mougins
Vasas memilih Nice sebagai basis. Pada satu hari libur, pemain diberi tahu bakal diajak pergi ke Cannes.
Namun, bus justru tiba di Mougins, sedikit di luar resor Cote d’Azur. Mereka dibawa mengunjungi rumah besar yang ditempati orang tua eksentrik yang diperkenalkan sebagai penggemar sepak bola dan pemerhati sosialis.
Bagi pemain yang sebelumnya berharap bisa belanja di Rue d’Antibes atau menikmati pemandangan di La Croisette, kunjungan ini jelas mengecewakan.
Taruhan Fatal
Pemain mulai kehilangan minat setelah mengobrol dengan pemilik rumah selama sejam. Mereka juga hanya tersenyum sopan ketika tuan rumah memberi hadiah perpisahan berupa vas bagi setiap individu.
Beberapa hari kemudian, rombongan Vasas menempuh perjalanan panjang untuk kembali ke Budapest menggunakan kereta api. Berusaha mengusir kebosanan, pemain kemudian bertaruh siapa yang melempar vas keluar paling jauh.
Namun, ada salah satu pemain yang tidak berpartisipasi. Jozsef Raduly melewatkan kans memenangkan uang karena sudah berjanji kepada istri membawa oleh-oleh. Maka, ketika kereta api tiba di Hungaria, dia menjadi satu-satunya pemain yang memiliki vas.
Nyatanya, Raduly bisa jadi pemain Vasas paling kaya sepulang dari Prancis. Pasalnya, orang tua yang mereka kunjungi dan memberikan cindera mata bernama Pablo Picasso. Para pemain Vasas ternyata tidak tahu atau tidak mengenali salah satu seniman terbesar sepanjang sejarah itu karena kukungan sosialisme.
Advertisement