Alasan Orang Dengan Gangguan Jiwa Tidak Bisa Dipenjara, Menurut Kriminolog

Kasus kriminal acap kali terjadi akibat adanya gangguan jiwa. Seperti kasus ibu yang diduga memiliki gangguan kejiwaan menganiaya tiga anaknya di Brebes, Jawa Tengah hingga salah satunya meninggal dunia.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 30 Mar 2022, 18:00 WIB
Diterbitkan 30 Mar 2022, 18:00 WIB
Ilustrasi penjara
Ilustrasi penjara. (Sumber Pixabay/AlexVan)

Liputan6.com, Jakarta Kasus kriminal acap kali terjadi akibat adanya gangguan jiwa. Seperti kasus ibu yang diduga memiliki gangguan kejiwaan sehingga menganiaya tiga anaknya di Brebes, Jawa Tengah hingga salah satunya meninggal dunia.

Terkait kasus ini, kriminolog Haniva Hasna M.Krim mengatakan, jika pelaku adalah Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ), perlu dilakukan penyidikan dan penyelidikan. Tidak cukup hanya dari keterangan pelaku saja.

“Untuk membuktikannya, perlu dokter khusus yang memeriksa kondisi jiwanya,” kata kriminolog yang akrab disapa Iva kepada Disabilitas Liputan6.com belum lama ini.

Ia menambahkan, Pasal 44 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyatakan, pengidap gangguan jiwa tidak bisa dipenjara.

“Ketika pelaku memang mengalami gangguan jiwa maka ada enam tahap, pertama kepolisian, kedua kejaksaan, ketiga pengadilan, keempat dikembalikan kejaksaan, kelima ke lapas, dan terakhir proses persidangan. Ketika dalam persidangan terbukti ODGJ, maka baru bisa dibebaskan.”

Simak Video Berikut Ini

Asesmen ODGJ

Dalam memastikan bahwa pelaku mengalami gangguan jiwa maka ada peran psikolog yang terlibat. Psikolog bisa memberikan pendapat dan melakukan asesmen yang terdiri dari:

-Wawancara

-Observasi

-Tes dari segi konsistensi gejala

-Kesesuaian diagnostik

-Melihat banyak sudut pandang serta riwayatnya.

“Biasanya, jika terbukti mengalami gangguan jiwa maka, diminta untuk melakukan pengobatan.”

Hukum Sudah Canggih

Iva menambahkan, hukum di Indonesia sudah canggih karena menghadirkan dokter dan spesialis gangguan kejiwaan, sehingga status gangguan jiwa sampai saat ini sulit untuk disalahgunakan.

“Jika berbohong pun akan dibuktikan dalam persidangan.”

Namun, bila hasilnya menunjukkan gangguan kepribadian seperti emosional,  anti norma, moral, pemarah, maka tidak masuk ke dalam Pasal 44 KUHP. Dalam pasal itu dijelaskan, pengidap gangguan jiwa tak dapat mempertanggungjawabkan semua tindakannya.

Bila pelaku masih memiliki kesadaran saat melakukan dan menyadari hukuman yang akan diterima maka akan tetap dijerat dengan pidana sebagai hukuman atas perbuatan yang dilakukan.

“Perlu diketahui pula sejauh mana kesadaran pelaku sebelum melaksanakan pembunuhan, benarkah karena halusinasi atau memang sudah terjadi perencanaan.”

Unsur berencana memiliki tiga syarat: (1) memutuskan kehendak dengan tenang; (2) ada ketersediaan waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak; dan (3) pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang. Unsur berencana dinyatakan terpenuhi jika telah terpenuhi tiga syarat tersebut.

 

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta

Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta
Infografis Tunjangan Khusus Penyandang Disabilitas di Jakarta. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya