Liputan6.com, Baghdad Krisis di Suriah dan Irak terkait pemberontakan ISIS telah semakin panas dengan adanya serangan udara Suriah terhadap ISIS di dalam wilayah Irak. Namun kejadian ini juga mempersatukan pihak-pihak yang sebelumnya berseberangan dalam dua kutub yang semakin jelas: Sunni dan Syiah.
Perdana Menteri Nouri al Maliki membenarkan suatu kabar kepada BBC Arabic bahwa Suriah telah melakukan serangan udara terhadap kaum militan di dalam wilayah Irak minggu ini.
Ia mengatakan bahwa pesawat-pesawat tempur telah menjatuhkan bom ke posisi-posisi kaum militan di kota perbatasan Qaim di hari Selasa lalu.
Advertisement
Meskipun Irak tidak mengundang serangan itu, ia menambahkan bahwa Irak “menyambut baik” serangan apapun terhadap kelompok ISIS.
ISIS dan sekutu muslim Sunni di Irak telah menguasai sebagian besar wilayah Irak dalam sebulan belakangan ini temasuk kota terbesar ke dua di Irak, yakni Mosul.
Serangan udara oleh Suriah membuktikan bahwa pertikaian di Suriah dan Irak telah membaur, dengan ISIS sebagai biang kerok bersama. Para pejuang di Qaim (di sisi Suriah) yang tadinya berseberangan dengan ISIS sekarang menyatakan keberpihakan kepada ISIS, sehingga mereka menguasai kedua sisi di perbatasan.
Seandainya drone Amerika Serikat belum terlibat, maka keterlibatan itu tinggal menunggu waktu saja, sehingga mempertegas bagaimana ancaman ISIS telah mempersatukan berbagai pihak yang sebelumnya saling berseberangan.
Demikian juga halnya dengan Iran, yang sangat khawatir dengan kekacauan yang mendadak di Irak. Iran telah memperkuat posisinya di perbatasan bagian barat, di mana beberapa penjaga perbatasan telah tewas dalam sebuah serangan.
Ada beberapa laporan bahwa Iran telah menghujani perbatasan di pegunungan Kurdi dengan tembakan-tembakan meriam. Lokasi jatuhnya tembakan meriam itu merupakan basis bagi oposisi Kurdi Iran.
Pemerintah Irak bersusah payah menahan majunya militan dari utara dan barat, bahkan dengan bantuan dari Iran. Pemerintah Syiah di Irak memiliki hubungan dekat dengan Iran.
Amerika Serikat, yang juga mendukung pemerintahan yang akrab dengan Iran itu, menekankan bahwa kaum militan hanya bisa ditumpas oleh kekuatan Irak sendiri.
Maliki mencari cara membentuk pemerintahan baru namun menolak seruan untuk membentuk koalisi darurat yang mencakup seluruh kelompok agama dan golongan etnik.
Menteri Luar Negeri Inggris, William Hague, telah tiba di Baghdad untuk menemui para pemimpin politik dan pemimpin masyarakat.
“Sebagai kawan bagi Irak, Inggris percaya bahwa prioritas utama haruslah berupa pembentukan pemerintahan inklusif yang mendapat dukungan dari seluruh rakyat Irak dan menghentikan ISIS,” katanya.
Pesawat-pesawat Rusia
Berbicara kepada BBC dalam wawancara pertamanya untuk pemancar mancanegara setelah dimulainya krisis itu, Maliki mengatakan bahwa mereka telah membeli pesawat pembom bekas pakai dari Rusia dan Belarus.
Menurutnya, pesawat-pesawat itu akan segara melakukan kegiatan dinas terbang di Irak “dalam beberapa hari.” Ia melanjutkan bahwa Amerika Serikat telah menunda-nunda penjualan pesawat F-16 kepada Irak.
Presiden Rusia, Vladimir Putin, membahas krisis ini dengan Maliki melalui telepon hari Jumat lalu, demikian dilaporkan oleh situs resmi Kremlin pada saat itu.
Putin menegaskan “dukungan penuh” kepada upaya pemerintah untuk membersihkan wilayah Irak dari “para teroris”, demikian disebutkan di situ tanpa perincian lanjutan apapun.
Maliki mengatakan pada hari Rabu bahwa pembentukan pemerintahan darurat berlawanan dengan pemilihan parlemen di bulan April lalu yang dimenangkan oleh kelompok partai-partai Syiah.
Lawan politiknya, Ayad Allawi, telah mengajukan pembentukan pemerintahan penyelamatan nasional.
Laporan-laporan menyebutkan bahwa Nusra Front di Suriah, yang terkait dengan Al Qaeda, menyatakan berpihak kepada ISIS di kota Albu Kamal di dekat perbatasan dengan Irak.
Nusra Front, bersama-sama dengan beberapa kelompok pemberontak lain, selama ini berperang di Suriah melawan ISIS, yang dianggap telah merusak cita-cita mereka karena kekejiannya. (Ein)
Advertisement