Tragisnya Cerita Pengantin Perempuan di Bawah Umur

Pernikahan anak-anak di bawah umur masih menjadi isu global. Berbagai dampak buruk timbul, seperti komplikasi kehamilan muda dan pelecehan.

oleh Indy Keningar diperbarui 24 Sep 2015, 10:29 WIB
Diterbitkan 24 Sep 2015, 10:29 WIB
Tragisnya Cerita Pengantin Perempuan di Bawah Umur
Pernikahan anak-anak di bawah umur masih menjadi isu global. Berbagai dampak buruk timbul, seperti komplikasi kehamilan muda dan pelecehan.

Liputan6.com, Washington - "Seumur hidup, saya tidak pernah merasakan cinta."

Begitu ungkapan Mejgon, gadis 16 tahun yang dijual oleh ayahnya sendiri pada pria Afghanistan 60 tahun. Demi dua kotak obat terlarang heroin. Selain dipaksa menikah, di rumah Mejgon juga kerap menjalani siksaan.

Mejgon bukanlah satu-satunya gadis muda yang menikah di bawah usia dewasa. Setiap tahunnya, di seluruh dunia ada 14,2 juta anak perempuan yang dipaksa menikah dalam usia dibawah 18 tahun. Tradisi ini merusak kesehatan mental dan fisik mereka. Hubungan rumah tangga dengan usia terpaut jauh mengantarkan para gadis menerima penyiksaan, hidup di bawah garis kemiskinan, dan meninggal saat melahirkan.

Stephanie Sinclair, fotografer dari National Geographic bertemu Mejgon di rumah persembunyian. Tempat ia memulai mendokumentasikan perjuangan dan ketidakadilan yang dihadapi para pengantin di bawah umur. Setelah mendengar bahwa Mejgon akan dikirim kembali tinggal dengan ayahnya, Sinclair terdorong untuk melanjutkan proyek inisiatif foto gagasannya, yang kini dirangkum dalam seri "Too Young To Wed". Kampanye yang bertujuan meningkatkan kepedulian dan menggalang dana untuk gadis-gadis di bawah umur yang terperangkap dalam siklus pernikahan anak di bawah umur.

Mejgon menangis tersedu di bahu seorang karyawan kesejahteraan sosial yang merawatnya. (foto: Too Young To Wed)

"Saya tidak bisa membayangkan apa yang telah dilalui Mejgon. Saya yakin tidak baik," ungkap Sinclair pada Huffington Post."Fakta bahwa saya tidak memiliki kuasa untuk menghentikan isu ini adalah alasan saya melanjutkan proyek hingga sekarang."

Sinclair mulai mendokumentasikan pengantin anak-anak di Afghanistan sejak 2003, di mana 53 persen perempuan menikah sebelum berusia 18. Walau negara sudah mengharamkan praktik ini sejak 2009, para advokat tetap memperhatikan isu lanjutannya, di mana isu ini masih terjadi pada negara-negara berkembang.

Pengantin anak di Bangladesh. (Huffington Post)

Harapan ada pada Sustainable Development Goals, gerakan baru dari UN, yang bertujuan mengeliminasi pernikahan anak di bawah umur sebagai bagian mencapai kesetaraan gender. Namun tetap saja, advokat seperti Sinclair mencari kelompok yang turun langsung, yang bekerja untuk melindungi anak-anak itu sendiri dan membantu mereka melarikan diri saat dipaksa menikah.

Sejak Selasa lalu, Sinclair menjual foto-foto jepretannya yang diambil di lebih dari 10 negara. Melalui situs Too Young To Wed, hasil penjualannya akan digunakan untuk membantu organisasi dengan tujuan sama. Sebagian dari proses adalah memberi dukungan pada kaum wanita dan anak-anak perempuan di Desa Kargati, Nepal. Lokasi yang mengalami kerusakan akibat gempa beberapa bulan lalu.

Pernikahan di bawah umur tidak mempertimbangkan kesepakatan dari sang pengantin perempuan sendiri. (foto: Too Young To Wed)

Sedikit diketahui, bencana gempa bumi juga berakibat meningkatnya resiko anak-anak dieksploitasi. Bencana gempa mengakibatkan para orangtua kehilangan segalanya. Imbasnya, mereka tidak mampu membesarkan anak-anak perempuan mereka, dan semakin terdorong menyerahkannya pada pria dewasa yang bersedia.

Niruta, seorang gadis yang menjadi subjek Sinclair, akan menjadi salah satu penerima benefit dari usaha kampanye Too Soon To Wed di Nepal. Tahun 2007 lalu, Sinclair memotret Niruta ketika ia masih berusia 14 tahun di Desa Kagati. Ia sedang hamil saat bertunangan dengan Durga, 17 tahun. Kehamilan Niruta sudah berjalan 9 bulan saat upacara pernikahannya.

Kehamilan merupakan resiko besar pada gadis muda yang tubuhnya belum siap untuk mengandung. Faktanya, komplikasi pada kehamilan dan melahirkan merupakan sebab kematian tertinggi pada anak-anak usia 15-19 tahun, menurut UNICEF.

Rumah keluarga Niruta rata dengan tanah karena gempa. Saat ini, mereka tinggal di kandang sapi. Sinclair dan organisasinya berharap dana yang berhasil mereka galang akan digunakan untuk membantu keluarga Niruta membangun rumah baru, juga sekolah di desa itu, yang sudah hancur dalam gempa bumi.

Niruta mengikuti upacara pernikahan saat masih berusia 14 tahun dan tengah hamil besar. (foto: Too Young To Wed)

Inisiatif juga mendukung Samburu Girls Foundation di Kenya, program yang menyelamatkan gadis di bawah umur dari sejumlah praktik berbahaya, termasuk pernikahan anak di bawah umur, bersama dengan mutilasi alat kelamin wanita, dan praktek beading, yakni menyerahkan anak gadis pada sanak keluarga. Saat ini, grup sudah menempatkan 125 orang gadis muda di sekolah asrama. Juga menyelamatkan total 200 gadis, yang mendapat dukungan makanan dan tempat tinggal aman.

Inisiatif Too Young To Web kini melebarkan usahanya ke Ethiopia, dimana 41 persen gadis-gadis terlibat dalam pernikahan di bawah umur. Mereka saat ini berfokus pada desa Gombat, di mana Sinclair memotret seorang gadis bernama Destaye, yang menikah di usia 11 tahun dengan pendeta usia 20-an.

Namun, target Sinclair lebih dari itu. Bukan hanya menyediakan tempat aman, ia berniat menyentuh lebih dalam mengenai efek dari pernikahan anak di bawah umur.
"Fokus utama kami adalah menuturkan kisah yang kuat dengan visual. Membawa kisah gadis-gadis kami ke seluruh dunia untuk menginspirasi gerakan mengakhiri pernikahan anak di bawah umur," ungkap Sinclair. "Kami ingin melebarkan pandangan kami melalui proyek turun langsung. Penting bagi kami, komunitas yang membagi cerita mendapatkan dukungan yang dibutuhkan." (Ikr/Rcy)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya