Liputan6.com, Palmyra - Milisi ISISÂ dilaporkan membunuh 3 tawanan di situs kuno Palmyra, Suriah. Mereka mengikat ketiganya di pilar bangunan tersebut kemudian meledakkannya. Demikian informasi dari para aktivis di sana.
Identitas mereka yang tewas pada hari Minggu 25 Oktober 2015 waktu setempat belum dipublikasikan. Tetapi mereka dianggap yang pertama telah tewas dengan cara itu, sejak kelompok militan tersebut menyita bangunan bersejarah Palmyra tersebut pada Mei.
Baca Juga
"Pada Minggu 25 Oktober 2015, ISIS menggantung 3 tahanan ke pilar bangunan era Romawi dan kemudian meledakkan struktur dengan bahan peledak," ungkap sebuah kelompok berbasis di Inggris yang memantau konflik di Suriah, Syrian Observatory for Human Rights mengutip sumber lokal di Palmyra seperti dikutip dari BBC, Rabu (28/10/2015).
Advertisement
Seorang aktivis dari Palmyra, Khaled al-Homsi menjelaskan, ISIS tak mengatakan mengapa mereka dibunuh selain merahasiakan identitas ketiganya.
"Tidak ada seorang pun di sana yang boleh melihat (eksekusi). Pilar-pilar bangunan kuno (di Palmyra) hancur dan ISIS melarang warga menuju lokasi," kata Khaled.
Aktivis lain, Mohammed al-Ayed, mengatakan ISISÂ melakukan tindakan tersebut untuk mendapat perhatian media.
Baca Juga
Setelah menduduki reruntuhan Palmyra dan kota modern yang berdekatan yang juga dikenal sebagai Tadmur, ISIS menggunakan teater kuno untuk membunuh 25 tentara Suriah. Mereka juga memenggal arkeolog Khaled al-Asaad yang menjaga situs itu selama 40 tahun, setelah ia dilaporkan menolak untuk mengungkapkan di mana artefak disembunyikan.
Awal pekan ini, ISIS juga memposting foto secara online yang konon menunjukkan militan mengemudikan tank dari tentara yang ditangkap.
Sebelumnya, ISIS telah menghancurkan 2 candi berusia 2.000 tahun, menara pemakaman di Palmyra, salah satu pusat kebudayaan kuno paling penting di dunia. Mereka percaya bahwa struktur tersebut adalah berhala yang harus dihancurkan.
Palmyra merupakan salah satu pusat kebudayaan kuno paling penting di dunia. Badan Kebudayaan PBB (UNESCO) mengutuk tindakan tersebut, menyebutnya sebagai kejahatan perang.
(Tnt/Rie)*