Liputan6.com, London - Bumi kini dilanda masalah: Tidak banyak BAB yang tersedia.
Menurut penelitian, punahnya hewan raksasa, baik di daratan maupun laut mengakibatkan kurangnya kotoran.
Apa akibatnya? Pada saat ini, siklus daur ulang nutrisi dan pembusukan alami menjadi terhambat. Jumlah nutrisi dari kotoran untuk lautan maupun daratan, berkurang secara drastis.
Advertisement
"Siklus yang terhambat melemahkan kesehatan ekosistem, kelautan, dan agrikultur," ungkap periset Joe Roman kepada Live Science, 30 Oktober 2015. Roman, yang mengepalai studi ini, merupakan biologis di Universitas Vermont.
Krisis BAB
Krisis BAB
Walau terdengar jorok, kotoran baik dihasilkan hewan atau manusia, sedikit diketahui memberikan cara efektif menyebarkan nutrisi yang diperlukan alam. Hewan seperti mammoth, mastodon, dan kukang raksasa merupakan makhluk paling 'jago' dalam menyuburkan tanah.Â
Kini, karena hewan-hewan tersebut sudah punah, pergerakan pemupukan alami berkurang drastis, hanya 8 persen dibanding pada akhir zaman es, Roman dan kolega menulis laporan ini dalam jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences.
Dampak ini membuat situasi lebih buruk di lautan, nutrisi penting ekosistem pada kotoran kini sebesar 5% dibanding pada zaman es. Manusia melakukan perburuan besar-besaran terhadap paus raksasa, sehingga kini hanya tersisa 34% di perairan.
Kotoran dari hewan laut terdalam ini menyebarkan zat phosporous yang kaya nutrisi. Namun, karena sekarang paus ke laut yang lebih dangkal-- pergerakan nutrisi di lautan terdalam berkurang, sehingga nutrisi tidak diserap oleh sedimen laut.Â
Secara keseluruhan, ilmuwan menemukan kemampuan ikan hiu dan makhluk laut lainnya dalam menghasilkan zat phosphorous menurun sejauh 77% dibanding masa-masa sebelum paus diburu besar-besaran.
Pada sejumlah daerah, statistik bahkan lebih buruk. Di lautan Atlantik Utara, contohnya, penyebaran nutrisi paus terbatas hanya 14 persen dari nilai historis. Sementara di Laut Pasifik Utara hanya 10%, dan di Laut Selatan 2%.
Nutrisi hewan daratan juga tidak seimbang. Di Afrika, tempat hewan raksasa masih terbilang banyak, penyebaran nutrisi kotoran hanya berada pada tingkat 46% dari satu juta tahun lalu. Dan 5% di benua lainnya-- bahkan di Amerika Selatan hanya 1 persen.
Advertisement
Dari lautan ke daratan
Dari lautan ke daratan
Jatuhnya perikanan dan menurunnya jumlah burung laut membahayakan siklus dari-laut ke-darat. Pergerakan zat phosphorous dari burung maupun ikan menurun sebanyak 96%.
Periset membuat jumlah estimasi tersebut dengan metode matematika berdasarkan estimasi sejarah, dengan statistik populasi saat ini dan dari International Union for Conservation of Nature.
Namun, ilmuwan belum bisa memberikan bukti nyata bahwa jumlah kotoran yang berkurang berpengaruh pada menurunnya tingkat kesuburan lahan; data yang menentukan hal tersebut belum ada.
Bagaimanapun, penemuan menunjukkan bahwa penurunan kesuburan di sejumlah daerah memang memungkinkan.
"Awalnya, tidak terpikir bahwa hewan memliki peran penting dalm memberikan nutrisi," ungkap Christopher Doughty, ekologis dari Universitas Oxford, Inggris.
Bagaimanapun, kesalahpahaman ini bisa terjadi karena alasan yang mendukung. Pada saat manusia mulai belajar mengenai perpindahan nutrisi, sebagian besar mamalia yang memiliki peran besar sudah punah.
"Dunia ini pernah memiliki paus 10 kali lebih banyak, ikan anadromous 30 kali lebih banyak; memperbanyak burung laut dua kali lipat, dan 10 kali lebih banyak herbivora--kukang raksasa, mastodon, dan mammoth," ungkap Roman. Sedangkan, pada saat ini, hewan domestik seperti sapi terlalu dikekang untuk keperluan pertanian.
Menurut Roman, dalam meningkatkan kembali sistem perpindahan nutrisi ini, pengembangbiakkan alami perlu dilakukan. Spesies bison besar bisa dilestarikan di Dataran Tinggi AS, dan dengan perlindungan hewan laut. (Ikr/Rcy)